"POKOKNYA, yang state of art, deh," ujar Menristek B.J. Habibie kepada wartawan TEMPO Bambang Harymurti di bandar udara Dulles, Washington. Habibie bicara soal superkomputer, yang pekan lalu diberitakan akan dibeli IPTN. Untuk keperluan itulah Menristek berkunjung ke Amerika Serikat. Untuk memburu superkomputer seharga US$ 4 juta itu, Menristek Habibie telah melobi Menteri Pertahanan AS Caspar Weinberger dan Menteri Perdagangan Malcolm Baldridge. "Prinsipnya, mereka menyetujui permintaan itu. Tapi, mereka menekankan perlunya jaminan pengamanan pemakaian superkomputer tersebut," ujar Habibie. Ia tampak optimistis akan mendapatkan alat canggih itu. Sebab, AS, konon, pernah menyanggupi menjual superkomputer itu secepat-cepatnya pada 1988, dan selambat-lambatnya tahun 1990. Kini, Habibie berusaha agar komputer canggih generasi keenam itu bisa segera berada di IPTN. Tahun 1990 dinilai Menteri terlampau lama, karena di tahun itu mungkin saja ada komputer yang lebih canggih. Buat apa superkomputer itu? Menurut Direktur Teknologi IPTN Dr. D. Poesponegoro, untuk keperluan pembuatan pesawat terbang model mutakhir ATRA-90, yang akan diproduksi IPTN bersama Boeing dan MBB. Dan, superkomputer diperlukan untuk menghitung data-data aerodinamik, khususnya untuk mendesain sayap dan mengukur daya tahan berbagai elemen pada pengetesan dalam terowongan angin. Ahli untuk mengoperasikan superkomputer ini sudah disiapkan IPTN. Dialah, Dr. Basuki Jamin, lulusan Imperial College, perguruan tinggi teknologi terbaik di Inggris. Jamin, yang berumur 26 tahun ketika mendapat gelar Ph.D. pada 1983, sudah 14 bulan bekerja di IPTN. Menurut Jamin, dengan superkomputer data aerodinamik bisa dihitung lebih cepat, karena superkomputer menggunakan sistem penghitungan numerik, sedangkan komputer biasa menggunakan sistem linear. "Menggunakan komputer biasa, perhitungan sebuah kasus bisa memerlukan waktu dua minggu," katanya. "Dengan superkomputer cuma sekitar 20 menit, paling lama satu hari." Dr. Sudjana Sapiie, Direktur Computing Services IPTN, membenarkan pendapat Jamin. Cepatnya penghitungan, menurut Sapiie, ada kaitannya dengan persyaratan produksi dalam mengejar keuntungan. "Karenaitu, investasi dalam pengadaan superkomputer dilihat," katanya di Bandung, pekan lalu. Untuk mendesain ATRA-90, menurut Jamin, komputer yang kini ada di IPTN terbilang tidak memadai. "Kapasitasnya tak mengizinkan untuk melakukan penghitungan aerodinamik ATRA," ujar ahli aerodinanik itu. Padahal, komputer IBM yang kini ada di IPTN sudah termasuk besar kapasitas storage-nya, yaitu 60 megabyte. Di Indonesia, komputer dengan kapasitas ini tidak banyak. Tapi, bandingkan, kapasitas superkomputer mencapai 256 megabyte. Jamin menambahkan, komputer IBM yang kini digunakan di IPTN tergolong multipurpose. Tidak spesifik. Untuk mendesain CN-235, komputer ini masih memadai, karena penghitungan aerodinamik pesawat itu tidak begitu canggih. "Untuk ATRA diperlukan komputer yang dirancang khusus bagi penghitungan desain aerodinamik, dan kekhususan inilah yang dipunyai superkomputer," ujar Jamin. Jamin mengemukakan bahwa superkomputer bukan penemuan baru. Komputer ini diperkenalkan di Amerika Serikat pada 1976 oleh perusahaan pembuatnya, Cray dan Control Data Corporation (CD Corp.). Kedua perusahaan ini memang dikenal unggul dalam pembuatan superkomputer. Produksi mutakhir mereka Cray-XMP dan Cray II dan ETA-10. Yang mana yang akan dipilih Indonesia, Jamin tak tahu pasti. Superkomputer Jepang, SX-2, yang diproduksi oleh perusahaan elektronik NEC, menurut Jamin, belum begitu hebat. "Dibandingkan dengan komputer Amerika, tingkat kecanggihan supcrkomputer Jepang sedikit di bawah," katanya. Keistimewaan superkomputer ternyata tidak terletak hanya pada perangkat kerasnya. Komputer ini juga mempunyai perangkat lunak lain, yang bukan untuk menghitung data aerodinamik pesawat. Perangkat lunak itu, simulasi untuk keperluan strategi perang. Ini sebabnya pembelian superkomputer memerlukan izin Pentagon, Departemen Pertahanan AS. Seperti dikatakan Habibie, untuk jaminan pengamanan pemakaian. "Jika suatu teknologi strategis diekspor, memang perlu diteliti dahulu pembelinya, dan juga rencana penggunaannya," ujar Poesponegoro. Simulasi perang ini, menurut Jamin, berupa pemetaan situasi medan perang berikut semua kalkulasi kemungkinannya. "Jadi, pengambil keputusan cukup memikirkan sisi strategisnya saja," katanya. Jim Supangkat, Laporan Ahmed Soeriawidjaja (Jakarta), Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini