ORANG merasa "menemukan" seni lukis kaca. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, perhatian ang makin besar memang diberikan oleh "kalangan seni rupa" kepada seni lukis jenis ini. Serangkaian pameran telah diselenggarakan. Belum lama berselang, sampai Jumat pekan lalu, Bentara Budaya Jakarta memamerkan lukisan kaca Cirebon. Pameran seminggu itu hampir serempak dengan acara yang sama dari Dewan Kesenian Surabaya, yang ditutup Selasa sebelumnya. Dan kedua pameran itu bukan yang pertama. Di antara yang terpenting adalah pameran oleh Lingkar Mitra Budaya Jakarta dua tahun lalu: 70 lukisan kaca -- di samping yang Indonesia, juga yang Cina, India, dan Eropa. Setahun sebelumnya, dalam pada itu, Pembangunan Jaya menerbitkan penanggalan berhiaskan reproduksi lukisan kaca. Di Jawa Timur, Amang Rachman berkeliling mengamati lukisan jenis itu di berbagai pelosok. Beberapa pelukis kita, yang modern dan didikan perguruan tinggi, mencoba pula mempraktekkannya. Sudah tentu seni lukis kaca sudah ada dari dulu, dan dikenal baik oleh penggemarnya. Bagi "kalangan seni rupa" -- kelompok modern yang tumbuh sejak tahun-tahun 30-an -- ia tak tampak. Diperlukan waktu setengah abad untuk menemukannya. Sebabnya tidak usah dicari-cari: seni lukis kaca dipraktekkan terutama di luar pusat-pusat seni rupa modern kita. Di Jawa ia terdapat di Jakarta, Bekasi, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Bantul, Surakarta, Kudus, Tuban, Madura, Pasuruan, Surabaya dan mungkin di tempat-tempat lain. Di Sumatera ia dipraktekkan di Bengkulu (terutama Tebat Monok, Keban Agung, dan Batu Bandung), Medan, Banda Aceh, dan beberapa tempat lain. Orang harus juga menyebutkan Bali. Di luar ketiga pulau itu, agaknya seni ini lebih langka. Seni lukis kaca juga jauh dari kalangan seni rupa kita dalam arti dipisahkan oleh jarak sosial. Di zaman kita, ia dipraktekkan dan dinikmati terutama di lapisan sosial di bawah lapisan tempat kalangan seni rupa kita berada. Menemukan seni lukis kaca berarti menemukan rakyat jelata. Dari mana pun asal-usulnya, ia telah menjadi milik kelompok rakyat yang membuat dan menikmatinya Citra yang digambarkannya adalah bagian dari khayal dan angan-angan kolektif. Asal-usul itu memang telah menjadi bahan duga-dugaan. Dari Cina? Dari Persia? Diketahui, yang pertama membuat lempeng kaca bening (transparan) adalah orang Italia. Mereka pula yang pertama membuat cat minyak. Lukisan cat di kaca dari abad ke-4 masih tersimpan di Italia dan Jerman. Mungkin sekali dari Italia seni lukis kaca menyebar ke berbagai negeri. Di Indonesia terdapat lukisan kaca Eropa, Cina, Arab atau Persia, India Selatan, dan Jepang. Tapi lukisan kaca Indonesia kebanyakan berhubungan dengan Islam. Kaligrafi Arab memang terdapat di mana-mana, kecuali di Bali. Burak -- yang menurut Islam tradisional merupakan kendaraan Nabi Muhammad ketika mikraj, berbentuk kuda bersayap dan berkepala manusia -- merupakan pokok yang digemari di banyak daerah (Madura, Kudus, Cirebon, Bengkulu). Begitu pula topik masjid (Tuban, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Bengkulu). Lalu ada Macan Ali kaligrafi yang membentuk sosok seekor harimau mendekam (Tuban, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon). Dan di Jawa, tentu saja tokoh-tokoh wayang kulit (Pasuruan, Tuban, Yogyakarta, Surakarta, Cirebon). Tentu masih ada motif-motif lain. Seni lukis kaca Cirebon, misalnya, kaya dengan itu. Untuk menyebut beberapa: paksi naga liman (kereta berbentuk campuran sosok burung, naga, dan gajah) banteng, insan kamil (motif bangunan di atas motif wadasan, berisi kaligrafi), penunggang kuda, Gunung Jati (bukit, dengan motif wadasan), perahu (jalinan huruf Arab), malaikat pengawal Nabi, gunungan (terbentuk dari jalinan huruf Arab). Lagi pula, di sini kaligrafi Arab digubah menJadi sosok-sosok wayang: Syiwa (Batara Guru), Ganesha, Semar, Togog, Narada, dan lain-lain. Di Cirebon, pelukis kaca terdapat bukan saja di lingkungan keraton, tetapi juga tersebar di daerah kabupaten bagian selatan, barat, dan utara. Lukisan kaca dapat dilihat di Keraton Keprabonan, Kacirebonan, Kasepuhan, dan Kanoman, juga dalam beberapa koleksi di Lemah Wungkuk. Bukan hanya di sana, tetapi juga tengahan di daerah kabupaten, di pedesaan (Losari, Ambulu, Kali Rahayu, Sumber, Trusmi, Cegesik, Surakerta, Kali Tanjung, Clancang, Gunungjati, Klayan, Kapetakan, Kali Anyar). Orang sadar akan keterbatasan Pameran Lukisan Kaca Cirebon di Gedung Bentara Budaya -- jika maksudnya hendak memberi gambaran yang lengkap. Yang dipamerkan terutama buah tangan para pelukis Gegesik. Memasuki ruang pamer, orang tidak terkesan oleh kekayaan seni lukis kaca Cirebon: terlalu banyak lukisan wayang. Di antara pelukis peserta pameran, Rastika tampak menonjol. Ia bekerja jauh lebih apik dari pelukis lain, mampu menggubah warna-warni yang kaya, bersih, meriah, selaras. Kelemahan yang umum pada pelukis lainnya ialah kecerobohan menarik garis, terutama pada rinci yang kecil-kecil, dan kelemahan dalam pewarnaan, terutama dalam tingkat-tingkat warna yang harus diberikan kepada bagian-bagian busana. Kelemahan dalam proporsi dan pewajahan tokoh wayang juga mudah dilihat. Tidak berarti bahwa para pelukis itu tidak berkemampuan: kalau mereka bekerja dengan tekun dan disiplin, siapa akan meragukan bakat pelukis seperti Bahenda, Bahendi, Karwi, dan E. Yusuf, misalnya? Bahwa 11 orang tampil dalam pameran, itu sudah menarik. Bahwa di antara mereka terdapat empat remaja (umur 17-19) dan seorang anak (12) itu sudah membesarkan hati: bahwa ada pewarisan dari angkatan ke angkatan. Apalagi lukisan yang dipajang memperlihatkan mutu yang lebih baik dari rata-rata lukisan kaca Cirebon 10 tahun lalu. Barangkali "revitalisasi" seni lukis kaca tidak dapat hanya dengan mengulangi pekerjaan para kakek. Tidakkah perlu suntikan: motif baru, tema baru, bentuk baru, sesuai dengan kehidupan sekarang sebagainana dihayati para pelukis? Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini