Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Bukan Varian Baru, AY.4.2 Ditegaskan Varian Delta yang Masih Diteliti

Saat ini dilaporkan mutasi dari varian Delta berkembang mulai dari AY.1 hingga AY.28.

29 Oktober 2021 | 06.35 WIB

ilustrasi - Dokter memegang botol ampul kaca mengandung sel molekul virus corona Covid-19 asal Inggris yang telah mengalami mutasi RNA menjadi varian baru. (ANTARA/Shutterstock/pri.)
Perbesar
ilustrasi - Dokter memegang botol ampul kaca mengandung sel molekul virus corona Covid-19 asal Inggris yang telah mengalami mutasi RNA menjadi varian baru. (ANTARA/Shutterstock/pri.)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Juru Bicara Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menegaskan AY.4.2 adalah subvarian Delta sekalipun karakteristiknya masih dalam penelitian. "Bukan varian baru, namun bagian dari varian Delta yang mengalami perubahan atau mutasi tambahan,” ujar Wiku dalam keterangan pers daring perkembangan Covid-19 harian, Kamis 28 Oktober 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wiku menjelaskan, varian Delta terus bermutasi dan berkembang. Saat ini dilaporkan mutasi dari varian Delta berkembang mulai dari AY.1 hingga AY.28. Mereka, disebutkan Wiku, masih dalam penelitian dari segi penularan, gejala, hingga respons mutasi terhadap vaksinasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

"Oleh karena itu kita belum bisa mengetahui apakah berbagai jenis varian Delta ini memiliki karakteristik khusus,” kata dia seperti dikutip dari ANTARA.

Wiku memastikan pemerintah tetap mewaspadai varian Delta. Sebagai langkah antisipasi pemerintah memaksimalkan strategi karantina perjalanan, 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, menghindari kerumunan, dan mengurangi mobilitas), dan vaksinasi.

Salain itu, penerapan 3T (Testing, Tracing, dan Treatment) demi mencegah penularan varian Delta hingga mempertahankan penurunan kasus yang saat ini tengah berlangsung. “Agar dapat mencegah masuknya semua jenis varian baru sekaligus meminimalisir pembentukan mutasi baru di dalam negeri,” kata dia.

Sebelumnya, Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekuler di Universitas Airlangga Surabaya, Chairul Anwar Nidom, bahkan mencatat sudah ada 86 mutasi varian Delta secara global. Dia mengutip data resmi melalui GISAID Initiative—organisasi nirlaba internasional yang mempelajari genetika virus.

Dia menerangkan, mutasi biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan virus dalam membaca kesalahan saat bereplikasi atau yang dikenal dengan proof reading. Sehingga, kata Ketua Tim Laboratorium Profesor Nidom Foundation (PNF) itu, adanya mutasi selalu dikaji keterkaitannya dengan fungsi biologis atau sekadar 'kontaminasi'. “Namun, sebaliknya, virus Covid-19 mampu membaca kesalahan tersebut,” katanya.

Varian Delta terdeteksi pertama di India pada Oktober 2020 lalu dan ditetapkan WHO masuk di antara Variant of Concern per Mei lalu—bersamaan dengan ledakan jumlah kasus baru Covid-19 di India. Sejak itu, hasil mutasi SARS-CoV-2 varian ini menyebar cepat di dunia.

Yang terbaru adalah Delta Plus atau atau AY.4.2 yang merupakan turunan dari varian Delta. Otoritas kesehatan masyarakat Inggris (PHE) sedang melacak varian itu karena telah menginfeksi lebih banyak orang di negara itu baru-baru ini.

Menurut laporan, AY.4.2 menggantikan Delta pada tingkat yang jauh lebih lambat daripada Delta menggantikan varian Alpha yang sebelumnya dominan. Varian Delta diperkirakan sekitar 60 persen lebih menular daripada Alpha.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus