Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK biasanya wanita suka bermain cacing. Tetapi Widiarti, 29, gadis hitam manis asal Yogyakarta, justru beternak binatang melata itu. Cacing yang dikembangbiakkannya pun bukan pula sembarang cacing, melainkan dikirim khusus dari India. Nama cacing, yang berwarna putih itu, Romanomermis. "Sampai sekarang belum ada peneliti yang menemukan jemis cacmg sepertmtu di Indonesia," kata Widiarti, yang sehari-hari dipanggil Atik, lulusan Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, 1983. Ia menambahkan, di India, cacing itu sudah diternakkan penemunya, Dr. Rajakupala, pimpinan Unit Riset Pengendalian Vektor sebuah balai penelitian di Pondicheri. Desember tahun lalu, Rajakupala mengirimkan 380 telur cacing ini ke Indonesia, yang langsung dikirim Balai Penelitian Vektor Penyakit, Ungaran, Jawa Tengah, untuk diteliti. Tugas itu diberikan pada Atik, yang lantas membiakkan cacing itu di ruang kerjanya, yang disulap menjadi laboratorium mini. Cacing Romanomermis, menurut hemat Atik, memang penting dikembangkan. "Karena akan mengurangi penyebaran penyakit yang ditularkan nyamuk," ujarnya. Dari penelitian Atik, yang sudah berialan hampir setahun, diketahui bahwa cacmg India itu mampu memakan lima jenis larva atau jentik, yaitu: aedes aegyptie, mansonia uniformis, culex lutzia, culex uinguefacciates, dan anopheles avonitus. Jentik ini, kalau dibiarkan menjadi nyamuk, akan menjadi penular utama penyakit malaria, kaki gajah, dan demam berdarah. Akan halnya malaria, seperti diungkapkan Dr. Richard Keenlyside, dosen epidemiologi tropis pada London School of Hygiene and Troplcal Medlcme, merupakan penyakit yang sampai kini belum sepenuhnya bisa ditaklukkan. Dilihat dari sudut ini, penelitian Atik memang tidak patut diremehkan. Di dalam laboratorium, menurut Atik, pengembangbiakan cacing Romanomermis tidak mengalami terlalu banyak kesulitan. Cukup ditaruh di dalam stoples berisi pasir yang lembap. Tetapi begitu telur cacing ini menetas, dalam waktu 24 jam, ia harus menemukan jentik. Kalau tidak, bayi cacing itu akan mati."Cacing itu tidak bisa memakan yang lain, kecuali larva," ujar Atik. "Itu pun larva yang berumur dua sampai enam hari." Bayi cacing itu membasmi jentik dengan cara masuk langsung di tubuh lawan Dalam tempo tiga sampai enam hari, jentik yang diserang itu akan mati, dan cacing keluar dari tubuh mangsanya, menjadi cacing dewasa yang siap kawin. Tidak sampai tiga minggu, cacing dewasa, yang panjangnya 2 cm dan besarnya sekitar 0,8 mm, segera bertelur. "Seekor cacing bertelur sekitar 300 butir," kata Atik. Kesulitan baru timbul bila cacing ini akan disebarkan di alam terbuka. Soalnya, telur cacing India ini tidak tahan terendam air. Maret lalu, misalnya, Atik pernah menyebarkan cacing peliharaannya itu ke selokan. Yang mati sampai 90%. "Penyebabnya sedang diselidiki," kata Atik, yang berharap cacing itu bisa menetas di sawah, seperti yang sudah dilakukan dengan berhasil di India. Tampaknya, usaha Atik menyebarkan cacing itu di sini masih memerlukan proses panjang. Mungkin dibutuhkan waktu yang agak lama, sebelum cacing-cacing itu betah di habitatnya yang baru di sini. Apalagi, Romanomermis tidak tahan hidup di air yang mengandung klor, misalnya air yang didistribusikan PAM. Tetapi, faktor itu pula yang membuat ia lebih efisien disebarkan di daerah pedesaan yan miskin dan tidak memenuhi syarat-syarat sanitasi, tempat yang selama ini menjadi kawasan empuk pelbagai vektor penyakit. Usaha Atik, yang tampaknya kecil-kecilan tapi membutuhkan ketekunan luar biasa ini, tak urung mendapat banyak perhatian. Secara sederhana, dan mungkin tanpa sengaja, usaha itu bisa dipandang sebagai bagian pengembangan bloteknologi, yang kini sedang digalakkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo