KINI orang bicara lagi soal swa-sembada. Apalagi setelah
Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan 16 Agustus
mengungkapkan bahwa produksi beras tahun 1980 akan mencapai 20
juta ton atau 10% lebih besar dari produksi pada 1979.
Angka yang dikemukakan Presiden itu dengan demikian merupakan
angka perkiraan produksi beras yang terbaru. Sebelumnya
perkiraan produksi beras pada 1980 adalah 18,5 juta ton, lalu
diubah menjadi 19,6 juta ton. Kalau perkiraan produksi 20 juta
ton bisa tercapai di akhir Desember nanti, itu berarti rekor
baru buat produksi beras di Indonesia.
Tapi melonjaknya produksi beras tahun ini bukan tanpa masalah.
Surplus padi yang berada di tangan para petani memberi kewajiban
kepada pemerintah lewat Bulog untuk membeli padinya itu. Maka
pembelian beras dari dalam negeri oleh pemerintah -- yang
tadinya diperkirakan hanya akan mencapai 600.000 ton -- kini
sudah mencapai dua kali lipat, menjadi 1,2 juta ton. Ini juga
merupakan rekor pembelian dalam negeri oleh Bulog.
Realisasi yang berlebihan itulah menyebabkan Bulog agak
kewalahan dalam mencari gudang-gudang untuk menyimpan beras.
Akibatnya pembangunan gudang-gudang, seperti kata Ketua Bulog
Bustanil Arifin, mesti segera dilakukan untuk menampung beras
Bulog yang seluruhnya kini mencapai 2 juta ton, termasuk beras
impor.
Timbul pertanyaan, kalau produksi beras dalam negeri sudah
mencukupi, kenapa mesti terus mengimpor? Pemerintah sudah
memutuskan, swa-sembada atau tidak, Bulog harus mempunyai
persediaan minimal 2 juta ton beras. Maksudnya untuk
berjaga-jaga, kalau terjadi paceklik, panen gagal dan bencana
lain.
Beberapa pengamat mempermasalahkan: Apakah pendekatan seperti
itu tidak terlalu mahal? Menyimpan 2 juta ton beras setiap saat
di gudang-gudang Bulog yang mewah itu memang bisa merupakan
beban yang cukup mahal. "Dua juta ton beras setiap saat di
gudang, berarti sejumlah Rp 300 sampai Rp 350 milyar uahg mati
yang terbenam," kata seorang pejabat Depkeu. Artinya, uang yang
ditanam itu bukan sebagai modal kerja yang berfungsi. Seorang di
Bulog mengakui biaya gudang dan administrasi juga tak kecil.
"Belum kalau timbul kerusakan atau penyusutan akibat masa
penyimpanan yang terlalu lama," katanya.
Penyimpangan
Kalau soalnya hanya untuk berjaga-jaga, memang sulit diterima
pengeluaran biaya sebesar itu. Toh operasi pasar yang harus
dilakukan Bulog terbatas pada masa tertentu, seperti masa
paceklik dan masa menjelang Lebaran. Dalam soal pemenuhan perut
rakyat yang peka itu, pemerintah kelihatannya memang tak ingin
ambll risiko apapun, sehingga timbul kesan pemenuhan target
lebih penting dari pertimbangan biaya.
Itu pula yang membuat produksi beras tetap akan merupakan salah
satu prioritas program pemerintah. Berbagai cara untuk
meningkatkan produksi beras sudah ditempuh, sejak program Inmas
dan Bimas diperkenalkan di tahun 1968. Berbeda dengan
Intensifikasi Massal (Inmas), maka Bimas (Bimbingan Massal)
mendapat kredit dari pemerintah -- dan menimbulkan tunggakan
hampir Rp 100 milyar, di samping manipulasi seperti terjadinya
jumlah sawah fiktif: kredit keluar, tapi sawahnya tak ada.
Kemudian usaha perkebunan padi diperkenalkan. Ini sudah masuk
daftar prioritas BKPM, sekalipun sampai sekarang belum ada satu
investor pun yang berminat. Juga sebanyak 400.000 hektar sawah
pasang-surut akan dibuka selama Repelita III ini. Tapi
pendekatan terbaru yang ditempuh pemerintah adalah mendorong
terlaksananya intensifikasi khusus, yang oleh Presiden disebut
sebagai "Intensifikasi vang dilakukan petani secara berkelompok
dalam satu hamparan."
Insus ini memang sudah banyak dilakukan di berbagai tempat sejak
dua tahun lalu, dan hasilnya di luar dugaan. Produktivitas para
petani Insus per hektar itu ternyata bisa mencapai 50%-60% lebih
tinggi dari produktivitas sawah biasa yang diairi dan diberi
pupuk cara intensif.
Kelompok petani Insus itu umumnya menggarap daerah persawahan
Bimas yang terpilih, dan biasanya berada tak begitu jauh dari
prasarana jalan raya. Mereka memperoleh lebih banyak perhatian,
bahkan pelayanan dari pemerintah. Dan mereka juga memperoleh
uang perangsang sebagai hadiah. Beberapa kelompok Insus dari
Ja-Tim, yang ternyata mampu melipatgandakan produksi beras,
bahkan dipanggil ke Istana Negara untuk bertemu sendiri dengan
Presiden dan menerima hadiah-hadiah.
Belum diketahui dengan jelas faktor apa yang membuat produksi
Insus itu sangat tinggi. Beberapa kalangan seperti Dr. Rudolf S.
Sinaga, kini Ketua Survai Agronomi dan Ketua Umum Perhimpunan
Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), mengkhawatirkan
jangan-jangan uang rangsangan itulah yang menggairahkan mereka
untuk mencapai produksi sebanyak-banyaknya. Seorang ahli dari
Departemen Sosial Ekonomi IPB beranggapan sistem Insus itu
menimbulkan pilih kasih.
Maka timbul kekhawatiran produksi Insus yang sampai 6 ton
sehektar itu akan berkurang lagi setelah uang perangsang itu
ditiadakan. Menteri Muda Urusan Produksi Pangan Affandi Achmad
mengakui, apa yang terjadi pada Insus itu merupakan suatu
"anomoli" (penyimpangan). Tapi Affandl yang belakangan ini rajin
membuat kertas kerja berpendapat, kunci keberhasilan Insus itu
lebih disebabkan adanya kegiatan kelompok, yakni "tindakan
bersama dalam kegiatan usaha tani."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini