KINI telah tersedia rumus untuk membantu para pengambil kebijaksanaan energi listrik. Rumus itu, dalam bentuk program komputer, dibuat oleh Zuhal, 44, untuk mendapatkan gelar doktor dalam ilmu teknik. Tesisnya yang berjudul Optimisasi Multiobjektif Pengembangan Sistem Pembangkit Tenaga Listrik, disampaikan Zuhal di depan Senat Guru Besar Universitas Indonesia, Jakarta, bulan lalu. Dan ia dinyatakan lulus dengan predikat cum laude. Penghargaan ini tampaknya memang layak disandang Direktur Pengkajian Sumber Daya Nonmineral BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) itu. "Program Zuhal itu applicable," puji Prof. Sumitro Djojohadikusumo, salah seorang dari enam anggota tim penguji. Ekonom ini satu-satunya penguji yang bukan berasal dari disiplin ilmu teknik. Kehadiran Sumitro bukannya kebetulan. Soalnya, rumus yang dibuat Zuhal bukan sekadar perhitungan teknis belaka. "Ini adalah alat untuk membantu menentukan kebijaksanaan energi listrik," kata Prof. T.M. Soelaiman, M.Sc. E.E., penguji dari Jurusan Elektro ITB. Sebab, dengan menggunakan rumus ini, dapat ditentukan pembangkit listrik jenis apa yang paling cocok kita pakai, berapa jumlah serta kekuatannya. PLN sebetulnya sudah punya rumus seperti itu. "Tapi yan jadi pertimbangan hanya untuk mendapatkan biaya serendah mungkin," kata Zuhal. Sedangkan yang disusun lelaki kelahiran Cirebon ini juga mempertimbangkan faktor lain: penggunaan batu bara sebanyak-banyaknya, dan dampak lingkungan sekecil-kecilnya. Itulah sebabnya digunakan kata multiobjektif pada judul disertasi Zuhal. Memperkecil dampak lingkungan mungkin hal biasa. Tapi penggunaan batu bara semaksimal mungkin? "Soalnya, batu bara banyak tcrdapat di Indonesia," kata Zuhal. "Sedangkan minyak 'kan untuk diekspor." Kendati begitu, ia tak fanatik batu bara. Unsur biaya serendah-rendahnya juga merupakan tujuan. Hanya saja, biaya minimum, dampak lingkungan yang kecil, dan penggunaan batu bara maksimum mungkin tak selalu sejalan. Sementara itu, pilihan jenis pembangkit listrik yang tersedia baru tujuh macam: air, minyak, panas bumi, batu bara, gas, diesel, dan nuklir. Ketujuh jenis pembangkit listrik ini punya sifat khas yang harus diperhitungkan. Misalnya, pembangkit listrik diesel memang dapat segera dibangun, cukup stabil menghadapi permintaan yang berubah-ubah, tapi mahal pcngoperasiannya. Karena itu, jangan heran kalau rumus Zuhal terdiri atas 691 persamaan dengan 1.121 variabel dan 3.052 ketidaksamaan. "Mengerjakannya saja perlu waktu empat setengah tahun," kata Zuhal, yang pernah belajar di Jepang dan Amerika itu. Berjibunnya persamaan ini diperlukan Zuhal untuk menganalisa serta meramalkan keadaan ekonomi makro Indonesia. "Soalnya, ada korelasi antara kebutuhan listrik dan perkembangan ekonomi," kata Zuhal, ayah tiga anak itu. Analisa tersebut sempat menimbulkan serentetan pertanyaan seru dari Prof. Sumitro. Sebab, Zuhal menyimpulkan: perkiraan akan terjadi tinggal landas pada akhir Pelita VI terlalu optimistis. "Yang dimaksud tinggal landas itu, kalau peran sektor industri mencapai sekitar 30 persen," kata Zuhal. Padahal, berdasarkan perhitungannya, peran sektor industri, akhir Pelita VI, baru antara 16,9 dan 25,7 persen saja. Kedua angka itu diambil Zuhal dari batas pesimistis dan optimistis hasil perhitungannya. Artinya, secara statistik dapat dipertanggungjawabkan bahwa kenyataan dari ramalan ini akan berada di antara kedua batas tersebut. Bagi PLN, ini berarti memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) berkapasitas 1.240 MW pada tahun 2003 (optimistis) atau tak memilikinya sama sekali (pesimistis). Kesimpulan Zuhal memang berbunyi lain dengan perencanaan PLN selama ini. PLN memperkirakan kita akan memiliki PLTN berkapasitas 2.200 MW pada 1998. Tapi, dasar perhitungan PLN itU dikritik Zuhal. Perhitungan yang menggunakan rumus WASP (Wien Automatic System Planning) ini, selain cuma memperhatikan faktor biaya minimum, "Dibuat oleh orang nuklir," katanya. Dengan perkataan lain, ia mencurigai model WASP berpihak pada PLTN. "Karena belum ada modelnya, maka pada saat rencana itu dibuat, diambil saja kesimpulan bahwa kebutuhan listrik akan meningkat dua kali setiap Pelita," tambah Zuhal. Perhitungan yang terlalu optimistis ini kadang kala menyulitkan pelaksana di lapangan. Ambil contoh pemadamam listrik di Jakarta, Tangerang, dan Serang, pertengahan bulan silam. Hal itu terjadi, menurut Humas PLN, karena ada gangguan pada pembangkit listrik Suralaya, Jawa Barat. Seharusnya gangguan pada pembangkit berkapasitas 400 MW itu tak mengakibatkan listrik di Jakarta bergoyang. Rencananya, PLTU Suralaya berfungsi saat kapasitas listrik di Pulau Jawa telah mencapai lebih dari 4.000 MW. Sistem interkoneksi se-Jawa diharapkan bisa mengatasi gangguan hingga 10 persen dari kapasitas terpasangnya - sekarang masih di bawah 4.000 MW, maka gangguan itu pun tak tertahankan. Dengan rumus Zuhal, diharapkan perencanaan akan lebih mendekati kenyataan Perubahan variabel seperti harga minyak atau pun batu bara dapat segera dimasukkan ke komputer, dan program Zuhal akan menawarkan alternatif baru yang lebih sesuai. Masalahnya tinggal: berminatkah PLN menggunakannya? Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini