Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dari mozambique dengan dumbo

Lele dumbo, eks impor taiwan yang kaya protein dan produktif, mulai dikembangkan di indonesia. beratnya bisa mencapai 15 kilogram. dirintis oleh pt tirto unggul, jawa tengah. (ilt)

26 Juli 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU Anda pernah makan lele, tentu yang baru Anda ketahui santapan itu tak lebih dari ikan seberat 2 ons dan panjang paling-paling 20 sentimeter. Tapi, di masa datang seekor ikan lele bisa menjadi bagian "makan besar", karena panjangnya bisa mencapai 90 sentimeter dan berat 15 kilogram. Lele ini dari jenis baru. Memang terdapat jenis lele baru, dan juga cara baru dalam membudidayakannya. Percobaannya dimulai sekitar pertengahan tahun lalu. Pertengahan tahun ini, percobaan itu membawa hasil, dan sudah mulai ramai diiklankan penjualan bibit lele jenis baru tersebut. Dalam sidang kabinet bidang ekuin, beberapa waktu lalu, lele baru ini bahkan ikut dibicarakan. "Ikan lele jenis ini mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan di Indonesia, khususnya di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur," ujar Menteri Penerangan Harmoko seusai sidang. Lele yang dimaksud: lele Dumbo. Mudah diduga, kata "Dumbo" menggambarkan besarnya lele jenis ini. Pada usia tiga bulan, Dumbo bisa mencapai ukuran 20 sentimeter dan berat 2 ons. Pada umur lima bulan, 60 sentimeter dan berat 2 kilogram. Setelah satu tahun, lele ini mencapai berat sampai 15 kilogram dengan panjang mendekati 1 meter. Lele ini bukan jenis lokal, memang. Aslinya berasal dari Mozambique, Afrika. Dalam bahasa biologi, ikan itu dikenal dengan nama Clarias Gariepanus. Lele ini kemudian dikembangbiakkan -- baik jenis maupun jumlahnya -- di Taiwan. Dari negara terakhir itu lele dumbo, khususnya jenis campuran Clarias Fuscus, diekspor ke Indonesia. Usaha ini bukan kerja sama antarpemerintah, melainkan ikhtiar beberapa pengusaha yang kebetulan tertarik pada keunggulan lele itu. Mulanya memang terdengar isu lele itu masuk secara gelap. Namun, R. Soeprapto, Direktur Jenderal Perikanan Departemen Pertanian, menyangkal. "Sangat kebetulan swasta mempunyai prakarsa semacam itu, dan pemerintah memang mengizinkan," katanya. Soeprapto bahkan langsung melaporkannya kepada menteri, yang kemudian meneruskannya ke sidang kabinet. Menurut Dirjen, hasil penelitian menunjukkan kandungan protein ikan itu sangat tinggi bila dibandingkan dengan lele lokal. Juga cara berkembang biaknya produktif sekali. Dumbo bisa dipanen empat sampai lima kali setahun, sementara lele lokal hanya dua kali. Karena itu, Departemen Pertanian akan mengembangkan budi daya lele ini dengan program PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Perusahaan swasta dibiarkan mengembangkan pembibitan, hingga banyak petani bisa memanfaatkannya. "Perusahaan-perusahaan itu intinya, dan petani ikan menjadi plasmanya," ujar Dirjen. Pembibitan lele Dumbo yang melibatkan bioteknologi memang tidak mudah. "Berbeda dengan lele lokal, lele Dumbo hanya petani berdasi yang bisa melakukannya," ujar Ir. Sukotjo Adisukresno, Kepala Dinas Perikanan Jawa Tengah, "karena perlu teknologi tersendiri." Di Jawa Tengah, pembibitan ini dilakukan PT Tirto Unggul, yang memiliki tambak di Desa Karangmalang, Kecamatan Mijen, Semarang. Pembibitan lele Dumbo, menurut Eddy Soesanto, direktur perusahaan itu, dinamakan hipofisa -- hypo adalah kelenjar bawah otak. Pada pembibitan ini, mula-mula disuntikkan hormon pada pembuluh darah di punggung lele Dumbo, baik yang jantan maupun yang betina. Ini diperlukan untuk merangsang sperma dan sel telur. Sperma dan sel telur ternyata matang dengan cepat. "Rata-rata 12 jam setelah penyuntikan," ujar Issarno, staf ahli Tirto Unggul. Setelah matang, lele jantan dipenggal kepalanya, perutnya disobek dan spermanya diambil. "Bisa juga dengan cara mengurut, tapi yang keluar hanya 10%," ujar Issarno lagi. Sementara itu, sel telur dikeluarkan dari lele betina dengan jalan diurut. Sperma dan sel telur kemudian dicampurkan dalam sebuah mangkuk dengan media tertentu hingga cair. Setelah campuran ini rata -- yang dengan sendirinya diikuti pembuahan -- ditebarkan dalam kolam pembibitan yang tidak terlampau dalam, dan di dasarnya diberi sedikit ijuk. "Dalam waktu 24-35 jam, telur-telur mulai menetas," ujar Issarno. Dengan cara itu, Tirto Unggul sudah mampu membuat produksi besar. "Pesanan 100.000 bisa kami layani," kata Eddy Soesanto, "harganya Rp 150 per ekor." Lalu, bagaimana petani membudidayakan lele raksasa itu? Menurut Eddy, mudah saja. Yang diperlukan kolam sederhana sekitar 7 X 5 meter dengan kedalaman 1 meter. Setelah diberi kapur, pupuk kandang, dan air setinggi 20-30 sentimeter dan ditunggu tiga sampai tujuh hari, bibit lele bisa dimasukkan. Makanan diberikan dua kali sehari, berupa kelapa, ampas gandum, bekicot, cacing, atau makanan ikan lainnya. Setelah dua-tiga bulan, hasilnya sudah dapat dipanen. Lele dewasa ini tak perlu dipindahkan. Kecuali sudah terjadi perkembangbiakan. Dan, lele ini bisa membuat petani ikan cepat kaya, karena sekali bertelur bisa sampai 100.000 butir, dan yang mati hanya sekitar 20%.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus