Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Dari sapi sampai kompor

Proyek biogas, kerjasama Dep. Pertanian dengan fao, membangun percontohan instalasi biogas. gas yang dihasilkan dari kotoran sapi melalui proses pengolahan jasad renik. (ilt)

26 Juni 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR satu tahun, Amin, petani di Desa Pandesari, Kecamatan Pujon, Malang, sudah tidak lagi memakai minyak tanah atau kayu bakar untuk sebagian keperluan masak dan penerangan di rumahnya. Sebagai gantinya Amin mengandalkan gas yang berasal dari kotoran sapi. Penghematannya memang lumayan. "Kalau biasanya sehari perlu 5 liter minyak tanah, sekarang cukup dengan 1,5 liter," ujar Amin puas. Amin, yang juga trampil sebagai "tukang batu", telah membangun instalasi biogas di halaman belakang rumahnya. Pernah Amin terpilih untuk melaksanakn percontohan instalasi biogas yang direncanakan Proyek Biogas. Dari kerjasama Departemen Pertanian dengan FAO (Organisasi Pangan Sedunia), proyek itu membangun empat percontohan di Sumatera Utara, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur. Tapi perkembangannya, menurut drh. Soemantri, Konsultan Proyek Biogas di Ja-Tim, hanya di Ja-Tim yang menonjol. Khusus "di Pujon proyek itu beruntung mendapat dukungan kuat dari Koperasi Susu SAE yang terkenal itu," ujar Soemantri. Kebetulan di antara penduduk Pujon banyak yang memelihara sapi perah. Menurut Kalam Tirtohardja, Ketua Koperasi Susu SAE di Pujon, saat ini di Pujon terdapat 7.000 ekor sapi, juga tentunya menghasilkan kotoran, mencapai 52.500 ton setahun. Gas yang dihasilkan dari kotoran sapi itu ialah gas metan (CH4). Sering juga disebut biogas, ia dibangkitkan oleh jasad renik yang terdapat pada bahan organis seperti kotoran ternak, unggas, tinja, maupun limbah pertanian. Dalam lingkungan yang tak berudara (oksigen) dan hangat. Ini bisa berupa tanki pencerna atau instalasi biogas sepertl yang dibikin Amin. Dalam tanki itu jasad renik mengolah kotoran itu melalui dua tahap yang jelas, menggabungkan unsur karbon (C) dengan hidrogen (H) hingga menjadi gas metan. Materi yang tersisa berupa endapan yang dinamakan sludge, merupakan pupuk kandang yang ideal. Tak berbau, tak mengandung unsur penyakit seperti telur cacing dan kuman, dan -- ini terpenting -- kaya akan zat hara seperti N-P-K. Karena melalui proses pengolahan oleh jasad renik, unsur C dan H keluar sebagai biogas. Jadi "konsentrasi NPKnya bisa berlipat per cm3," ujar Soemantri. Amin sendiri sudah membuktikan kelebihan sludge itu bila dipakai sebagai pupuk. "Jeruk saya lebih bagus tumbuhnya dan lebih lebat buahnya, dibanding pakai pupuk kandang biasa," katanya. Biogas yang dihasilkan, disalurkan melalui pipa plastik kecil ke dalam kompor dan lampu. Apinya biru, bersih, tak berasap, tak berbau. Buktinya pantat panci tak berlengas. Walhasil, istri Amin bisa lebih cepat dan praktis memasak konsentrat makanan sapi serta air dan nasi bagi keluarga. "Air dua liter bisa mendidih dalam 10 menit," kata Amin pula. Lasiah Sutanto, Menmud Urusan Wanita, sempat berkunjung ke rumah Amin, akhir Maret lalu. Bahkan Ny. Sutanto mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar pembangunan instalasi biogas di Pujon segera dilancarkan. "Kami sudah mendapat berita positif," ujar Soemantri yang juga staf Perencana Dinas Pertanian Ja-Tim. Berita positif itu berupa Banpres sebesar Rp 6 juta yang diterima langsung Koperasi Susu SAE Pujon untuk membuat 20 unit instalasi biogas. Dengan biaya sekitar Rp 300 ribu, termasuk ongkos tukang, sebuah instalasi dapat diselesaikan dalam 16 hari. Amin yang dulu mengerjakan sendiri unit biogasnya, dibantu empat tukang, kini berfungsi sebagai mandor dan drh. Soemantri sebagai pengawas teknis. Tenaga untuk mengerjakan unit biogas itu harus trampil, sabar dan teliti. Adukan semen yang dipergunakan tak bisa kira-kira saja takarannya. Perbandingan semen, pasir dan air harus tepat dan mengaduknya harus rata. Pasirnya pun harus bersih betul, demikian juga koral yang dipakai buat adukan fondasi. Konstruksi tanki pencerna itu dibangun dengan pasangan bata. Bentuknya merupakan sumur dangkal bergaris tengah hampir 3 m. Hanya dinding sumur itu melengkung ke tengah, hingga akhirnya berbentuk kubah, dan kesulitan konstruksi justru di sini. "Pembuatannya tanpa kerangka besi," tutur Soemitro. Mendekati puncaknya pasangan bata semakin miring hingga baris-baris penghabisan hampir tegak lurus arahnya pada pasangan di pangkal. Ini memerlukan kesabaran dan ketelitian dalam pemasangannya, baris demi baris dalam lingkaran yang semakin kecil. DI puncak kubah itu terdapat lubang bulat dengan penutupnya. Lubang ini untuk mengeluarkan sludge sewaktu-waktu. Sementara gas keluar melalui lubang kecil di samping kubah itu, dan kotoran masuk melalui saluran tersendiri langsung ke dasar sumur yang berkapasitas 2 m3 itu. Tipe instalasi biogas seperti ini dikembangkan di RRC. Model Cina, juga disebut model Shanghai, atau model Nepal, oleh FAO kemudian diterapkan di Bangladesh, India, Iran, Laos, Malaysia, Nepal, Pakistan, Filipina, Thailand dan sejak 1981 juga di Indonesia. Model Cina ini "selain lebih praktis karena penyimpan gas dan tanki pencerna jadi satu, juga lebih murah dan lebih sedikit makan luas tanah," ujar Soemantri. Ada juga model konvensional seperti banyak diterapkan di India (Khadi and Village Industries Commision) dan harganya sangat mahal. Belakangan ini juga pemerintah India mempromosikan model Cina itu. Di RRC sendiri sudah dibangun sekitar 7,5 juta unit berbagai ukuran, sedangkan India sudah memanfaatkan sekitar 700 ribu unit. Banyak negara, terutama di Dunia Ketiga, kejar-mengejar membangun instalasi biogas ini. Pertemuan internasional "Green Week" di Berlin, Februari lalu, antara lain membahas teknologi biogas itu. Ini juga menjadi perhatian Indonesia yang sudah menggalang kerjasama dengan pihak Jerman Barat sejak tahun 1979 di bidang teknologi dan penelitian. Juga PTP-ITB sejak 1978 sangat aktif mempromosikan instalasi biogas. Namun, menurut hasil survei PTP itu, "rakyat mau, tapi tak mau keluar uang untuk membuat instalasi biogas itu." Di Yogyakarta, Lemigas Fernah juga akti, namun tak kedengaran lagi hasilnya. Hambatan utama bagi pengembangan teknologi itu di Indonesia, kata Soemantri, karena "masih mudahnya orang memperoleh kayu bakar dan minyak tanah, sedang pupuk masih disubsidi."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus