HAMPIR satu tahun, Amin, petani di Desa Pandesari, Kecamatan
Pujon, Malang, sudah tidak lagi memakai minyak tanah atau kayu
bakar untuk sebagian keperluan masak dan penerangan di rumahnya.
Sebagai gantinya Amin mengandalkan gas yang berasal dari kotoran
sapi. Penghematannya memang lumayan. "Kalau biasanya sehari
perlu 5 liter minyak tanah, sekarang cukup dengan 1,5 liter,"
ujar Amin puas.
Amin, yang juga trampil sebagai "tukang batu", telah membangun
instalasi biogas di halaman belakang rumahnya. Pernah Amin
terpilih untuk melaksanakn percontohan instalasi biogas yang
direncanakan Proyek Biogas.
Dari kerjasama Departemen Pertanian dengan FAO (Organisasi
Pangan Sedunia), proyek itu membangun empat percontohan di
Sumatera Utara, Bali, Jawa Barat dan Jawa Timur. Tapi
perkembangannya, menurut drh. Soemantri, Konsultan Proyek Biogas
di Ja-Tim, hanya di Ja-Tim yang menonjol. Khusus "di Pujon
proyek itu beruntung mendapat dukungan kuat dari Koperasi Susu
SAE yang terkenal itu," ujar Soemantri.
Kebetulan di antara penduduk Pujon banyak yang memelihara sapi
perah. Menurut Kalam Tirtohardja, Ketua Koperasi Susu SAE di
Pujon, saat ini di Pujon terdapat 7.000 ekor sapi, juga tentunya
menghasilkan kotoran, mencapai 52.500 ton setahun.
Gas yang dihasilkan dari kotoran sapi itu ialah gas metan (CH4).
Sering juga disebut biogas, ia dibangkitkan oleh jasad renik
yang terdapat pada bahan organis seperti kotoran ternak,
unggas, tinja, maupun limbah pertanian. Dalam lingkungan yang
tak berudara (oksigen) dan hangat. Ini bisa berupa tanki
pencerna atau instalasi biogas sepertl yang dibikin Amin. Dalam
tanki itu jasad renik mengolah kotoran itu melalui dua tahap
yang jelas, menggabungkan unsur karbon (C) dengan hidrogen (H)
hingga menjadi gas metan. Materi yang tersisa berupa endapan
yang dinamakan sludge, merupakan pupuk kandang yang ideal. Tak
berbau, tak mengandung unsur penyakit seperti telur cacing dan
kuman, dan -- ini terpenting -- kaya akan zat hara seperti
N-P-K.
Karena melalui proses pengolahan oleh jasad renik, unsur C dan H
keluar sebagai biogas. Jadi "konsentrasi NPKnya bisa berlipat
per cm3," ujar Soemantri.
Amin sendiri sudah membuktikan kelebihan sludge itu bila dipakai
sebagai pupuk. "Jeruk saya lebih bagus tumbuhnya dan lebih lebat
buahnya, dibanding pakai pupuk kandang biasa," katanya.
Biogas yang dihasilkan, disalurkan melalui pipa plastik kecil ke
dalam kompor dan lampu. Apinya biru, bersih, tak berasap, tak
berbau. Buktinya pantat panci tak berlengas. Walhasil, istri
Amin bisa lebih cepat dan praktis memasak konsentrat makanan
sapi serta air dan nasi bagi keluarga. "Air dua liter bisa
mendidih dalam 10 menit," kata Amin pula.
Lasiah Sutanto, Menmud Urusan Wanita, sempat berkunjung ke rumah
Amin, akhir Maret lalu. Bahkan Ny. Sutanto mengusulkan kepada
Presiden Soeharto agar pembangunan instalasi biogas di Pujon
segera dilancarkan. "Kami sudah mendapat berita positif," ujar
Soemantri yang juga staf Perencana Dinas Pertanian Ja-Tim.
Berita positif itu berupa Banpres sebesar Rp 6 juta yang
diterima langsung Koperasi Susu SAE Pujon untuk membuat 20 unit
instalasi biogas.
Dengan biaya sekitar Rp 300 ribu, termasuk ongkos tukang, sebuah
instalasi dapat diselesaikan dalam 16 hari. Amin yang dulu
mengerjakan sendiri unit biogasnya, dibantu empat tukang, kini
berfungsi sebagai mandor dan drh. Soemantri sebagai pengawas
teknis.
Tenaga untuk mengerjakan unit biogas itu harus trampil, sabar
dan teliti. Adukan semen yang dipergunakan tak bisa kira-kira
saja takarannya. Perbandingan semen, pasir dan air harus tepat
dan mengaduknya harus rata. Pasirnya pun harus bersih betul,
demikian juga koral yang dipakai buat adukan fondasi.
Konstruksi tanki pencerna itu dibangun dengan pasangan bata.
Bentuknya merupakan sumur dangkal bergaris tengah hampir 3 m.
Hanya dinding sumur itu melengkung ke tengah, hingga akhirnya
berbentuk kubah, dan kesulitan konstruksi justru di sini.
"Pembuatannya tanpa kerangka besi," tutur Soemitro. Mendekati
puncaknya pasangan bata semakin miring hingga baris-baris
penghabisan hampir tegak lurus arahnya pada pasangan di pangkal.
Ini memerlukan kesabaran dan ketelitian dalam pemasangannya,
baris demi baris dalam lingkaran yang semakin kecil.
DI puncak kubah itu terdapat lubang bulat dengan penutupnya.
Lubang ini untuk mengeluarkan sludge sewaktu-waktu. Sementara
gas keluar melalui lubang kecil di samping kubah itu, dan
kotoran masuk melalui saluran tersendiri langsung ke dasar sumur
yang berkapasitas 2 m3 itu.
Tipe instalasi biogas seperti ini dikembangkan di RRC. Model
Cina, juga disebut model Shanghai, atau model Nepal, oleh FAO
kemudian diterapkan di Bangladesh, India, Iran, Laos, Malaysia,
Nepal, Pakistan, Filipina, Thailand dan sejak 1981 juga di
Indonesia.
Model Cina ini "selain lebih praktis karena penyimpan gas dan
tanki pencerna jadi satu, juga lebih murah dan lebih sedikit
makan luas tanah," ujar Soemantri. Ada juga model konvensional
seperti banyak diterapkan di India (Khadi and Village Industries
Commision) dan harganya sangat mahal. Belakangan ini juga
pemerintah India mempromosikan model Cina itu.
Di RRC sendiri sudah dibangun sekitar 7,5 juta unit berbagai
ukuran, sedangkan India sudah memanfaatkan sekitar 700 ribu
unit. Banyak negara, terutama di Dunia Ketiga, kejar-mengejar
membangun instalasi biogas ini.
Pertemuan internasional "Green Week" di Berlin, Februari lalu,
antara lain membahas teknologi biogas itu. Ini juga menjadi
perhatian Indonesia yang sudah menggalang kerjasama dengan pihak
Jerman Barat sejak tahun 1979 di bidang teknologi dan
penelitian.
Juga PTP-ITB sejak 1978 sangat aktif mempromosikan instalasi
biogas. Namun, menurut hasil survei PTP itu, "rakyat mau, tapi
tak mau keluar uang untuk membuat instalasi biogas itu."
Di Yogyakarta, Lemigas Fernah juga akti, namun tak kedengaran
lagi hasilnya. Hambatan utama bagi pengembangan teknologi itu di
Indonesia, kata Soemantri, karena "masih mudahnya orang
memperoleh kayu bakar dan minyak tanah, sedang pupuk masih
disubsidi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini