Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Roman Tragis Tuan Tepis

Buku Walter Spies dijual dengan harga astaga: Rp 55 juta! Apa keistimewaan seniman Rusia yang pernah tinggal di Bali itu?

3 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Walter Spies: A Life in Art & The Art of Life: Walter Spies
Penulis: John Stowell
Penerbit: Afterhours Books, Jakarta, 2012
Tebal: 334 halaman dan 400 halaman

BANYAK orang beranggapan bahwa jagat kesenimanan diwarnai oleh nasib yang ironis: lintang-pukang ketika masih hidup, gilang-gemilang setelah mati. Walter Spies agaknya tak jauh berbeda. Ia dianugerahi bakat menakjubkan. Namun kariernya banyak dihadang kondisi pribadi dan situasi di luar kehendak, seperti resesi ekonomi Eropa dan Perang Dunia. Ia berusaha keluar dari kemelut besar itu dan kemudian membabat hutan kesenimanan bagi dirinya sendiri. Namun Spies tetap terbanting-banting sampai ujung hayatnya. Baru beberapa dekade setelah mati, namanya dikerek begitu tinggi.

John Stowell, peneliti seni dari University of Newcastle, New South Wales, Australia, tiba-tiba sangat terpikat pada seluk-beluk seniman asal Rusia ini. Dikatakan tiba-tiba lantaran baru 1980 ia terperanjat dan terpana, sementara para pengamat dan peneliti seni lain telah menyimak karya-karya Spies sejak 30 tahun sebelumnya.

Alkisah, pada 1980 itu, Stowell diminta mengedit buku Walter Spies and Bali­nese Art susunan Hans Rhodius dan John Darling. Ini pengembangan dari buku susunan pengarang yang sama dalam judul berbeda, Schonheit und Reichtum des Lebens Walter Spies, yang diterbitkan di Den Haag pada 1964. Dari sini Stowell melihat betapa masih banyak sisi menarik dari Spies yang belum dieksplorasi. Bagi dia, biografi Spies tak jauh dari sifat lukisannya, yang memiliki atmosfer berlapis-lapis, acap ­diselimuti halimun, dengan dataran yang kadang menukik dan kadang mendaki. Ibaratnya, jejak-jejak Spies tampak di dasar Sungai Campuan sampai di langit berkabut di atas Pura Besakih.

Namun keterlambatan minat itu dibayar oleh Stowell dengan karya literer lengkap dan apik. Semua itu diimbuh dengan ratusan ilustrasi yang segera terduduk sebagai referensi visual langka. Kesungguhan kerja lelaki 80 tahun ini pun bersambut. Penerbit Lans Brahmantyo menanggapi dengan hasrat setengah meluap. Buku tentang Spies pun terbit dalam dua edisi. Yang pertama edisi biasa (retail edition), Walter Spies: A Life in Art, berukuran 32 x 24 sentimeter, 344 halaman, dengan hard cover. Walau retail, buku ini berharga Rp 1 juta. Yang kedua edisi istimewa (collectors edition), berukuran 50 x 40 sentimeter, yang hanya dicetak 150 eksemplar.

Buku besar ini ditempatkan dalam boks kayu, ditemani selembar reproduksi lukisan Spies di atas kanvas. Tak ketinggalan di dalamnya ada DVD berisi film pendek garapan Hans Hulscher yang pernah disiarkan NPS-TV. Film ini menceritakan kehidupan Spies di Bali. Yang bikin deg-degan, buku berberat 12 kilogram ini dijual dengan harga astaga: Rp 55 juta per eksemplar! Dalam pengamatan saya, ini buku seni rupa termahal dalam sejarah seni Indonesia.

"Ini memang buku hebat dari segi printing dan desain grafis, sehingga memperoleh Benny Award dari Amerika Serikat sebagai buku terindah di dunia," kata Lans Brahmantyo.

Saya rasa keindahan buku itu tak hanya terletak pada cetak dan desainnya, tapi juga dari materinya. Lukisan-lukisan Spies, termasuk drawing dan sketsanya, memiliki daya hias yang sangat tinggi. Semua itu ditunjang oleh ratusan foto dokumentasi yang berkualitas. Sedangkan bagian lain mengekspos alam, budaya, dan kesenian Bali, yang sudah artistik dari sono-nya.

Dalam buku ini, Stowell membagi cerita ke bab-bab yang urut. Maka, setelah menaruh introduksi, ia mengawali semuanya dengan catatan masa kelahiran, masa kanak-kanak, dan masa remaja Spies. Ia kemudian beranjak ke masa-masa pengembaraan Spies dari Batavia, Yogyakarta, sampai Bali. Hingga Spies akhirnya memasuki kancah pergumulan kreatif dalam dunia seni lukis, musik, dan drama-tari di Pulau Dewata. Hikayat romantis ini berujung pada posisi Spies dalam kemelut Perang Dunia. Paparan terperinci itu dicatat dalam bab-bab ini: Early life in Russia and Germany, Dresden and Berlin, Master of the Sultan’s Music, Guest of the Punggawa of Ubud, ­Friend of Bali, Dance and drama, Freedom and restraint, serta Return to Bali, internment and death. Lalu ditutup dengan bab Achievement and legacy.

Dari yang tertulis dalam buku, nyatalah bahwa Walter Spies adalah salah satu pelukis Hindia Belanda yang memiliki biografi penuh warna. Pria ini lahir di Moskow, Rusia, pada 1895. Pada 1918, ia pindah ke Dresden dan Berlin, Jerman, demi mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai wakil konsul Rusia di sana. Sebagai pemuda yang sehat dan kuat, Spies direkrut sebagai serdadu. Namun jiwanya lebih bertaut dengan seni, sehingga ia lantas bergabung dengan komunitas musik dan pembuat film avant-garde di era republik Weimar itu. Bahkan, di negeri itu, ia mulai produktif melukis.

Tapi Spies tak dapat mengandalkan hidupnya pada seni lukis. Ia pun bekerja sebagai kelasi pada sebuah kapal barang. Suatu kali kapal itu menuju Batavia. Sesampai di Batavia, ia seperti menemukan wilayah yang pernah dihampiri mimpi-mimpinya. Lalu Spies, yang sudah lama berkeinginan "menghirup" matahari Timur, tak ingin balik ke Jerman. Dia pun pamit kepada kapten kapal sambil berkata bahwa ia ingin berlabuh saja. Baju kelasi dilepas dan ia menjelma jadi seniman. Pada tahun-tahun pertama, Spies tinggal di Bandung. Di kota ini ia bekerja sebagai pemain piano untuk mengiringi pemutaran film bisu. Setelah itu, ia ke Yogyakarta dan bekerja di sebuah kasino, juga sebagai pemusik.

Dari sini Sultan Hamengku Buwono VIII mengundang Spies untuk menggelar orkes­tra bagi kalangan keraton. Pada masa ini ia berkenalan dengan Tjokorda Gede Agung Sukawati. Sukawati lantas menawarinya ke Ubud. Spies memang sudah lama ingin ke Pulau Dewata sejak membaca buku Bali susunan Gregor Krause. Syahdan, dalam buku itu banyak tertera gambar para lelaki yang bertelanjang dada. Spies terpikat pada pemandangan itu. Perlu diketahui, lelaki ganteng dan keren ini memang penyuka sesama jenis. Sebelum memulai hidup di Bali pada 1927, ia sempat melakukan pameran di Surabaya pada 1925.

Di Bali, Spies segera menjadi terkenal dan rumahnya jadi tempat ampiran banyak pesohor. Dari komedian asal Inggris, Charlie Chaplin; penulis buku Liebe und Tod auf Bali, Vicky Baum; sampai peneliti Meksiko yang menyusun Island of Bali, Miguel Covarrubias. Di rumah ini lukisan-lukisan Spies yang surealis romantis diciptakan. Kekagumannya pada Bali ia haturkan ke sejumlah sahabat, saudara, dan ibu yang sangat ia puja (halaman 185).

Stowell mencatat, pada 1936, Spies bersama Rudolf Bonnet dan Tjokorda Gede Agung Sukawati mendirikan perkumpulan Pita Maha di Ubud. Ia memimpin perkumpulan ini sampai 1938, kemudian mengasingkan diri ke daerah Iseh di kaki Gunung Agung.

Sebagai seniman multiminat-multibakat, Spies sangat mengagumi sejumlah tarian Bali. Dari situ, ia mengagumi I Ketut Marya, penjoget piawai yang kemudian dipanggil Mario oleh para ekspatriat (halaman 133). Minat Spies kepada tari Bali membuat dia—bersama I Wayan Limbak—tersulut membuat versi lain dari tari kecak, yang berpuluh kali ia tonton. Alhasil, tari kecak yang semula beraroma primitif menjadi cenderung modern turistis. Koreografi tari kecak gaya Spies itulah yang selalu dipentaskan di Bali sampai sekarang.

Tak ayal Spies adalah seniman yang sangat dijunjung oleh orang Bali. Ia pun memperoleh panggilan kehormatan: Tuan Tepis (sebutan yang familiar dan populer ini tak ada dalam buku Stowell). Tapi penghormatan itu terusik ketika, pada 1939, ia ditangkap dalam operasi memberangus orang-orang homo. Spies terpaksa mendekam dalam bui. Dari dalam penjara, dia menghasilkan sejumlah lukisan, seperti Scherzo fur Blechinstrumente, berukuran 40 x 80 sentimeter (halaman 238). Lukisan kesayangan Spies ini sempat dipamerkan di Batavia. Namun, setelah itu, lukisan di atas tripleks tersebut hilang dan belum ditemukan sampai sekarang.

Alkisah, Spies baru beberapa bulan menikmati udara bebas ketika terdengar kabar bahwa tentara Jerman mengobrak-abrik negeri Belanda. Pemerintah Belanda di Indonesia marah kepada orang-orang Jerman. Maka orang-orang Jerman di Jawa dan Bali diciduk untuk dimasukkan ke kamp pada 1940-1942. Spies salah satu yang dicomot. Pada 1942, para tawanan itu diangkut dengan kapal barang Van Imhoff untuk diungsikan ke Sri Lanka. Di lautan sekitar Makassar, kapal berbendera Belanda itu diintai oleh Jepang, yang akan menguasai Indonesia. Kapal Van Imhoff pun dibombardir dari udara. Bum! Sejumlah awak kapal bisa diselamatkan. Tragis, Spies bersama ratusan tawanan lain hilang ditelan samudra.

Hidup Walter Spies yang dramatis (dan filmis) itu pada ujung abad ke-20 terimbangi oleh harga lukisannya yang membelalakkan mata. Karya Spies yang berukuran tak lebih dari 1 meter terbilang sampai belasan miliar rupiah selembarnya! Pemerintah Indonesia, lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pun berencana memberikan Anugerah Kebudayaan kepada Tuan Tepis.

Agus Dermawan T., Kritikus Seni Rupa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus