ISTILAH "perpustakaan" biasanya mengingatkan orang pada
sebuah ruangan yang berisikan deretan buku dan majalah. Namun
citra perpustakaan macam itu kini mulai berubah. Tidak lagi ia
terbatas pada deretan buku dan majalah. Kini berbagai media
rekaman seperti film, slide, video, mikrofilm dan bahkan
komputer melengkapi banyak perpustakaan.
Jelas ledakan teknologi yang menampung ledakan informasi di
akhir abad ini tak bisa lagi dikelola dan dikuasai pustakawan
konsepsi lama. Tuntutan terhadap kemampuannya semakin tinggi.
Agaknya pertimbangan ini yang mencetuskan gagasan untuk
meningkatkan wadah pendidikan ilmu perpustakaan dari sebuah
jurusan di Fakultas Sastra UI menjadi sebuah Fakultas Ilmu-ilmu
Informasi.
Gagasan ini --yang bersumber pada pimpinan Universitas
Indonesia--diungkapkan Dekan FS-UI, Gondomono, S.S, M.A., dalam
kesempatan peringatan HUT ke 4O Fakultas Sastra pekan lalu.
Menurut rencana, fakultas baru itu akan membawahkan Jurusan
Perpustakaan dan Dokumentasi, Jurusan Kearsipan dan Jurusan
llmu-lnformasi. "Pembentukannya ,paling cepat tahun 1985,"
ungkap Gondomono kemudian. Soalnya ialah untuk mendirikan sebuah
fakultas baru, harus dipersiapkan tenaga pengajarnya yang
lengkap.
"Kita belum punya tenaga," jelas Ny. Lily K. Somadikarta
M.Sc., Ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan FS-UI. Sambil menghela
napas ia berkata: "Sulit rasanya mencari kader, sebab pustakawan
lebih senang bekerja di swasta." Saat ini Jurusan Ilmu
Perpustakaan mempunyai sembilan tenaga pengajar tetap dan 10
tenaga pengajar luar biasa. Menjelang pembentukan fakultas baru
itu, UI akan mengirim seorang tenaga pengajar untuk meraih gelar
Ph.D. di College of Librarianship Wales di Inggris.
Perkembangan ini salah satu tonggak dalam sejarah panjang
Fakultas Sastra. Empatpuluh tahun telah berlalu, penuh gejolak
perubahan nama, struktur dan sistem pengajaran. Rabu, 4 Desember
1940, dalam upacara khidmat di gedung Rechtshogeschool --
sekarang gedung Departemen Hankam di Medan Merdeka Barat,
Jakarta --Faculteit der letteren en Wijsbegeerten diresmikan
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh
Stachouwer. Dalam upacara itu, Pejabat Direktur Pendidikan,
Pengajaran dan Agama, Prof. Dr Hoesein Djajadiningrat,
mengucapkan pidato singkat. Ahli filologi dan Islamologi
Indonesia terkemuka itu sangat berjasa dalam mempercepat
pembukaan fakultas yang telah direncanakan sejak tahun 1920-an.
Belum dua tahun umurnya, fakultas baru itu mengalami
gejolaknya yang pertama. Bersama dengan perguruan tinggi
lainnya, ia ditutup Balatentara Jepang. Tahun 1942, semua tenaga
pengajarnya --bangsa Belanda--ditawan.
Segera setelah Proklamasi Kemerdekaan, sejumlah cendekiawan
Indonesia mendirikan Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia
di Jakarta, dengan tekad menghidupkan pendidikan tinggi nasional
dalam berbagai bidang limu. Namun penjajah Belanda kembaIi
berusaha menguasai segala bidang kehidupan bangsa Indonesia.
Untuk itu di bidang pendidikan tinggi mereka mendirikan
Universitas Darurat sebagai tandingan BPT-RI. Dalam persaingan
yang ditunjang kekuatan militer itu, mereka berhasil mengalahkan
sarana pendidikan tinggi Republik, dan Fakultas Sastra kemudian
bernaung di bawah Universitas Darurat.
Dengan Ordonansi Pendidikan Tinggi tertanggal 21 Maret
1947, penguasa Belanda mengubah nama Universitas Darurat
menjadi Universiteit van Indonesie. Tapi setelah penyerahan
kedaulatan di tahun 1949, Universitas Indonesia merupakan
sarana pendidikan tinggi nasional bagi orang Indonesia.
Namun bagi Fakultas Sastra gejolak belum berakhir.
Perkembangan politik di awal tahun 60-an menyentuhnya juga.
"Para pengajar dan mahasiswa terbagi dan terpecah dalam berbagai
kelompok," ujar Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar dalam acara
peringatan HUT ke-40 itu. "Tuduhan dilancarkan kian kemari dan
Fakultas Sastra menjadi arena pertikaian politik." Menurut
Bachtiar, perpecahan itu juga dimungkinkan oleh struktur
pembagian kerja di Fakultas Sastra, yang ketika itu membawahkan
1 5 jurusan.
Merupakan Titipan
Akhir tahun 60-an, struktur disederhanakan. Digabungkan
beberapa jurusannya hingga bersisa 10 jurusan. Juga fakultas
ini membuka diri bagi tenaga ahli dan mahasiswa dari luar UI.
Maka, seperti dikemukakan Bachtiar, Fakultas Sastra UI berhasil
menyelenggarakan pendidikan tinggi tidak hanya untuk mahasiswa
sendiri saja.
Bachtiar mengakui bahwa peranan FS-UI kini masih jauh dari
harapan semula. Yaitu menjadikannya suatu pusat budaya. Namun ia
merasa yakin bahwa Fakultas Sastra kini berada di jalur
perkembangan yang benar.
Ini juga dirasakan Jurusan Ilmu Perpustakaan. Jurusan ini
tahun 1961 masuk lingkungan UI di bawah naungan Fakultas
Keguruan dan llmu Pendidikan. Dua tahun kemudian ia dialihkan ke
bawah naungan Fakultas Sastra.
Menghadapi rencana pembentukan Fakultas Ilmu-ilmu
Informasi, Ny. Somadikarta menjelaskan bahwa ilmu informasi
merupakan tingkatan lebih tinggi dari ilmu perpustakaan. Seorang
ahli ilmu informasi tidak hanya trampil mengelola perpustakaan,
tapi juga mengelola data komputer misalnya. "Ia dapat bekerja
dalam pelayanan informasi ilmiah dan pengembangan koleksi
perpustakaan dan dokumentasi," ujar Ny. Somadikarta.
Mengapa ilmu kearsipan dan ilmu informasi tidak dijadikan
seksi di bawah Jurusan llmu Perpustakaan? "Dia tidak akan
berkembang sebab terbatasnya anggaran untuk Fakultas Sastra,"
ujar Gondomono. "Karena itu dia harus menjadi fakultas
tersendiri." Dekan FSUI itu menambahkan bahwa Jurusan Ilmu
Perpustakaan sejak lama merupakan titipan. Ijazahnya pun
berbeda. Kalau pada ijazah jurusan bahasa ataupun jurusan
sejarah dan antropologi, tertulis Sarjana Sastra, pada ijazah
ilmu perpustakaan tertulis Sarjana Ilmu Perpustakaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini