Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Gas Beracun di Persemayaman Dewa

Salah satu kawah di kompleks gunung berapi Dieng bergolak dan mengeluarkan gas beracun. Berbeda dengan Merapi, letusan di Dieng tidak melibatkan aktivitas langsung magma.

6 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sarwanto dan Aziz Yuliawan turun dari sepeda motor dan menyusuri jalan setapak menuju Kawah Timbang, yang berjarak 100 meter. Saat itu masih pukul 06.30 dan udara di Dataran Tinggi Dieng serasa menggigit tulang. Rumput masih dibasahi embun yang sebagian menjadi bunga es di wilayah berketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut ini.

Pada Ahad pagi pekan lalu itu, alat pemantau Kawah Timbang mengirim sinyal ke Pos Pengamatan Gunung Api Dieng bahwa gas yang keluar meningkat. Sarwanto dan Aziz mesti melupakan gigitan dingin pagi hari untuk melihat langsung keadaan kawah yang bersama Sinila mengeluarkan gas serta menewaskan 149 warga pada 1979 itu. Mereka juga mesti memasang penguat sinyal pada alat pemantau gas beracun yang dipasang di tanah.

Dekat kawah, Aziz sudah menggunakan masker oksigen yang bisa dipakai selama setengah jam. Sarwanto belum. Saat berjongkok untuk mulai memasang penguat sinyal, ia meletakkan masker di samping mesin pemantau. Kurang dari satu menit, Sarwanto tiba-tiba merasa pusing dan mual: ia sadar sudah menghirup gas beracun.

Ia lari meninggalkan kawah dan berusaha meminum apa pun—akhirnya ia minum embun pada rumput—untuk menghilangkan efek karbon dioksida dari Kawah Timbang. ”Alhamdulillah, saya masih diberi kesempatan hidup,” katanya.

Jika Sarwanto tak waspada, nasibnya bisa berbeda. Pagi itu gas beracun dari Kawah Timbang menyusuri cekungan tanah ke selatan sampai sekitar 50 meter. Sejumlah burung dan kupu-kupu ditemukan tergeletak di wilayah itu.

Peningkatan aktivitas dimulai sepekan sebelumnya saat asap tipis putih membubung sekitar 20 meter. Sehari setelah kejadian ini, status kawah dinaikkan menjadi waspada. Status ini membuat radius 500 meter dari kawah dinyatakan berbahaya.

Tapi kejadian pada Ahad pagi itu mendorong dinaikkannya lagi status menjadi siaga. Sebanyak 1.179 warga dua kampung yang hanya berjarak dua kilometer dari kawah Timbang, Dusun Simbar dan Dusun Serang, diungsikan ke kantor Kecamatan Batur, Banjarnegara.

Hingga beberapa hari, selain gas beracun, muncul gempa beberapa kali. Gempa ini menunjukkan masih ada energi yang belum lepas menjadi letusan atau rembesan gas di Timbang. ”Karena itu, kami berharap warga tetap mengungsi hingga keadaan benar-benar aman,” kata Surono, Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi di Badan Geologi, pada Selasa pekan lalu di Dieng.

Berbeda dengan sejumlah letusan gunung berapi lainnya, kawah-kawah di kompleks gunung berapi Dieng memang biasa meletus dengan mengeluarkan asap, bahkan kadang tidak disertai material apa pun. Gas ini sebagian berbahaya, seperti CO2, karena kepadatannya sangat tinggi. Pada 1979, gas beracun dari Kawah Sinila dan Kawah Timbang menewaskan 149 orang.

Tunut Pujiarjo, orang asli Dataran Tinggi Dieng yang sekarang memimpin Pos Pengamatan Gunung Api Dieng, masih ingat bagaimana mayat-mayat bergelimpangan di dekat kompleks pemakaman Tionghoa pada 1979 akibat semburan gas dari Sinila. Bahkan nama Desa Timbang, dekat kawah yang kemudian diberi nama Timbang, dihapus dari peta Banjarnegara. ”(Timbang) hanya dijadikan nama kawah,” katanya.

Gas beracun ini tidak berbau dan berwarna. Setelah bencana Sinila 1979, pemerintah memasang sejumlah alat pemantau gas yang bisa mencium kadar CO2 dan gas berbahaya lain, terutama jika sudah mulai melewati ambang batas aman. Secara tradisional, warga juga memiliki cara mengetahui apakah ada gas beracun tidak berbau dan berwarna itu. ”Sejak dulu kami menggunakan ayam untuk melihat ada-tidaknya gas,” kata Punawan, salah satu warga Dusun Simbar.

Meski menjadi karakter Dieng, sebenarnya keluarnya gas beracun terjadi di semua letusan gunung berapi, termasuk saat Merapi menunjukkan amarahnya tahun lalu. Yang membedakan, tidak ada permukiman penduduk di sekitar kawah Merapi. Lucas Donny Setijadji, doktor geologi dari Universitas Gadjah Mada, yang pernah meneliti Dieng, mengatakan, ”Kalau di Dieng, malah rumahnya ada yang lebih tinggi dari kawah.”

Kondisi Dieng memang unik. Dataran tinggi itu sebenarnya sebuah kaldera raksasa selebar sekitar 6 kilometer dengan panjang sekitar 14 kilometer. Saat mengunjungi Dieng, setelah mendaki belasan kilometer dari Wonosobo, kita tiba-tiba seperti berada di puncak bukit dan di bawahnya terhampar dataran. Dataran itu dasar kaldera dengan beberapa gunung, seperti Prau atau Pengamun-Amun, menjadi dindingnya. Perasaan makin takjub timbul karena kawah-kawah dengan air meletup-letup dan gunung kecil lainnya bertebaran di dataran ini.

Perasaan serupa itu, mungkin, yang menyebabkan sejak abad kelima wilayah ini digunakan sebagai tempat suci dan bahkan menjadi lokasi sejumlah candi. Nama wilayah ini pun Dieng, yang berasal dari bahasa Sunda kuno di Hyang, yang berarti persemayaman dewa. Di masa sekarang Dieng menjadi kawasan wisata ramai.

Kaldera itu tercipta lewat letusan gunung besar. ”Diperkirakan (tinggi gunung) sampai 4.000 meter,” kata Lucas. Perhitungannya berdasarkan jarak dinding kaldera yang menjadi gunung, yakni Prau dan Bisma.

Perhitungan R. Sukhyar, doktor yang membuat peta geologi Dieng dan sekarang memimpin Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sedikit di bawahnya. ”Mungkin sekitar 3.000 meter,” katanya. Alasannya? ”Secara empiris tidak ada gunung di Jawa yang melebihi Semeru (yang ketinggiannya 3.670 meter).” Angka 3.000 meter ini masih cukup besar karena saat ini Dataran Tinggi Dieng berada pada ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut.

Gunung itu meledak dan membuat bagian bawah gunung gerowong. Sisa letusan kemudian ambles menutupi wilayah berongga, yang membuat permukaan turun dan menjadi dasar kaldera. ”Itu ambles sekitar 800 ribu tahun silam,” kata Lucas.

Saat ini gunung berapi Dieng sedang sekarat, mulai mati. Di bawah permukaan tanah, lava tersisa yang tak ikut meledak mulai mendingin. Karena lava dingin, gas melesak keluar. ”Gas-gas itu semula larut dalam magma,” kata Sukhyar. Di lapisan lebih atas, gas, seperti SO2 atau CO2, bercampur dengan air dalam tanah. Ledakan terjadi saat gas-gas ini berkumpul makin banyak dan kemudian menghancurkan lapisan di atasnya, persis seperti botol minuman soda yang dikocok dan meletup saat dibuka. Letusan gas di Dieng memang berbeda dengan kejadian Merapi. ”Di Merapi keluar kristal-kristal dari magma,” kata Lucas membandingkan dengan Dieng, yang letusannya hanya didorong gas-gas, bukan magma.

”Gas keluar dari kawah karena itu cara paling mudah untuk keluar,” kata Surono. Namun tidak semua gas di Kawah Timbang keluar dari kawah, tapi bisa juga keluar dari rekahan tanah. ”Tragedi Sinila pada 1979, banyak gas justru keluar dari rekahan tanah.”

Untungnya, tak semua aktivitas vulkanik itu membawa petaka. Selain menarik wisatawan, sisa panas lava di bawah dataran bisa mendidihkan air tanah. Air ini menjadi uap dan memutar turbin untuk menggerakkan pembangkit listrik. Sedangkan warga tak sepenuhnya takut akan aktivitas Kawah Timbang. Mereka membandingkannya dengan peristiwa 1979 saat Kawah Sinila mengeluarkan gas. Saat itu kawahnya meluncurkan asap putih yang membubung tinggi. ”Ini masih aman, dulu lebih besar lagi,” kata Punawan.

Nur Khoiri, Aris Andrianto (Dieng)


Kompleks Gunung Berapi

Karena banyaknya kawah dan gunung berapi di dasar kaldera yang menjadi Dataran Tinggi Dieng, wilayah ini disebut kompleks gunung berapi. Kawah baru kadang masih muncul seperti Timbang yang tercipta setelah letusan Sinila 1979.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus