Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cerita-cerita mengejutkan itu terungkap dalam pertemuan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Jember pada akhir 2006. Farha Ciciek, 48 tahun, kala itu Direktur Rahima, turut di dalamnya.
Dalam persamuhan itu, menurut Ciciek, sejumlah guru mengeluhkan kelakuan ”aneh” beberapa muridnya. ”Mereka tak mau ikut praktek wudu karena tak mau melepas jilbab di depan teman-temannya,” kata Ciciek pekan lalu. Murid-murid ini juga melarang orang tua mereka masuk kamar karena menganggapnya haram.
Kabar dari kota di tenggara Jawa Timur itu dibawa Ciciek kepada teman-temannya di Rahima, organisasi nirlaba untuk kajian Islam dan advokasi hak-hak perempuan. Bersama teman-temannya, selama satu setengah tahun dia berkeliling ke tujuh kota mewawancarai lebih dari seratus siswa sekolah menengah atas negeri dan madrasah aliyah untuk menguji cerita dari pertemuan Jember. Ketujuh kota yang diteliti adalah Jember, Padang, Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap, dan Yogyakarta.
Penelitian Ciciek membuktikan cerita para guru agama itu bukanlah kabar burung semata. Walaupun hasilnya tak sama persis, tiga penelitian lain dalam kurun 2008 hingga akhir 2010 menunjukkan bagaimana sikap intoleran, kalau tidak bisa disebut radikal, tumbuh subur di sekolah-sekolah (lihat infografis). Ketiga penelitian itu memang tak menelisik asal-muasal cara beragama ini, tapi angka-angka menunjukkan guru pendidikan agama Islam dan muridnya sama-sama kurang toleran.
Penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian pada akhir 2010 di sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama di wilayah Jakarta dan kota sekitarnya, misalnya, mencatat 60,6 persen guru pelajaran agama Islam dan 38,9 persen pelajar di sekolah negeri keberatan jika ada pembangunan rumah ibadah agama lain di sekitar tempat tinggalnya. Sebagian besar guru dan pelajar juga menolak jika warga nonmuslim menjadi pemimpin negeri ini.
Rudiyanto, ketua kerohanian Islam di Madrasah Aliyah Negeri 2 Surakarta, mengatakan, karena mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, presidennya juga mesti seorang muslim. Bagi dia, syarat seorang presiden masih harus ditambah satu lagi. ”Pemimpin itu harus laki-laki,” ujarnya tak ragu setitik pun.
Sikap keras dan intoleransi dalam beragama tak tumbuh di pesantren, tapi justru di sekolah-sekolah negeri. Dari mana pelajar-pelajar sekolah menengah atas itu menyerap pemahaman agama yang kukuh ini? Menurut Ciciek, lewat kegiatan ekstrakurikuler, kerohanian Islam, jaringan alumni dan para aktivis organisasi Islam menebar pengaruh dan menjala kader-kader muda.
”Mereka paham betul psikologi anak-anak SMA,” kata Ciciek. Bukan hanya sikap beragama intoleran yang ditanamkan di kepala-kepala remaja sekolah menengah atas, melainkan ideologi jihad yang agresif, bahkan pelatihan semimiliter juga dipraktekkan. Sidney Jones, penasihat senior International Crisis Group, berpendapat serupa. Kerohanian menjadi pintu masuk ide-ide radikal ke sekolah-sekolah.
Guru pendidikan agama Islam di SMA Negeri 1 Yogyakarta, M. Masyhudi, mengatakan pengaruh aktivis muslim di kerohanian Islam sekolah itu pernah begitu dalam. Begitu kuatnya semangat keagamaan yang ditanamkan mereka, banyak lulusan sekolah ini kemudian malah banting setir masuk pesantren dan tak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.
”Kalau memang akhirnya mondok di pesantren, mestinya dia masuk madrasah, bukan ke sekolah ini,” kata Masyhudi, lulusan Fakultas Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Akhirnya, sejak 2005, para aktivis ini tak boleh lagi menjadi pengasuh kerohanian Islam. Mentor kerohanian dibatasi hanya dari jaringan alumni di bawah pengawasan guru Agama.
Namun Achmad Baedowi, Direktur Pelaksana Lembaga Kajian Islam, tak yakin kerohanian Islam menjadi pintu utama masuknya paham-paham radikal agama ke sekolah. Menurut dia, hanya sekitar 30 persen respondennya yang tergabung di kerohanian. Mereka yang tak tergabung di unit kerohanian pun ternyata sebagian tidak toleran terhadap aliran keagamaan dan pemeluk agama lain.
Dia malah menduga kebebasan informasi setelah rezim Soeharto tumbanglah yang memberi peluang ide-ide radikal tumbuh subur. Buku-buku yang ”membakar” dan informasi soal jihad lewat jalan kekerasan bisa dengan gampang didapat. Ibarat kereta, radikalisme agama adalah penumpang gelap dalam gerbong demokrasi.
Buku-buku ”ideolog” Ikhwanul Muslimin yang biasanya menjadi bacaan wajib para aktivis mahasiswa Islam juga beredar di kalangan pelajar. Chanfah Puspitasari, pengurus kerohanian Islam di SMA Negeri 1 Palu, mengaku tak asing dengan buku-buku Sayed Qutb, Hasan al-Banna, dan Said Hawwa. Rudiyanto malah begitu terkesan dengan sikap beragama Qutb dan Al-Banna yang sedemikian kukuh hingga mati.
Faktor lain, Dekan Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sutrisno, mengatakan guru pendidikan agama Islam lebih banyak menggunakan pendekatan tekstual dan kurang menggarap masalah sosial atau kepribadian siswanya. Padahal, dalam panduan isi pelajaran agama Islam, materi masalah sosial termasuk unsur penting.
POTRET praktek beragama pelajar sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas sebenarnya tak suram-suram amat. Mereka memang menyatakan siap angkat senjata membela sesama muslim, kurang toleran terhadap agama lain, bahkan mengatakan bersedia bergabung dalam penyerbuan aliran agama yang dianggap menyimpang. Tapi ternyata dukungan terhadap tokoh dan organisasi radikal terbilang kecil.
Dewi Siti Fadilasari, anggota kerohanian Islam di satu sekolah menengah atas negeri di Cianjur, bahkan menilai ulah organisasi Islam yang acap memilih jalan kekerasan malah merusak citra Islam. Razia tempat maksiat oleh Front Pembela Islam selama bulan puasa pun dinilai ”aneh”. ”Ke mana saja sebelas bulan lainnya?” kata Usman Ali, guru agama di SMA Muhammadiyah Surakarta. Hanya 13 persen yang mengaku mendukung organisasi radikal yang kerap menggunakan kekerasan.
”Berarti kan masih ada 87 persen yang tidak mendukung organisasi radikal,” ujar Baedowi. Maka tak aneh jika guru yang kurang toleran menurut penelitian Pusat Kajian Islam dan Masyarakat Pelajar tiga tahun lalu sebagian besar tergabung di organisasi moderat, yakni Nahdlatul Ulama (44,9 persen) dan Muhammadiyah (23,8 persen).
Pelajar yang mengaku sepakat dengan teroris seperti Imam Samudera juga ”hanya” 14 persen. ”Konservatisme memang tak selalu berujung pada terorisme,” ujar Jajat Burhanuddin, Kepala Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pekan lalu. ”Tapi seorang teroris sudah pasti punya sikap konservatif.”
Walaupun tak ada yang terang-terangan mendukung Usamah bin Ladin, Imam Samudera, Amrozi, dan Abu Bakar Ba’asyir, tak serta-merta cap teroris secara aklamasi dibubuhkan di depan nama mereka. ”Tuduhan Usamah dalang teror itu kan baru sepihak. Belum pernah ada pengadilan,” Masyhudi beralasan. Di mata Mustaqim (bukan nama sebenarnya), Samudera dan Amrozi bukanlah teroris. Menurut siswa kelas II di SMA Muhammadiyah Surakarta ini, Samudera hanya salah memilih jalan. ”Kalau Abu Bakar Ba’asyir kan hanya guru mengaji.”
SP, Mahbub D. (Jember), M. Syaifullah (Yogyakarta), Ukky P. (Solo), Deden A.A. (Cianjur), M. Darlis (Palu)
Perbandingan Tingkat Dukungan Aksi Kekerasan
Menangkap pasangan bukan suami-istri.
Merusak tempat hiburan (bar, kafe, dll).
Merusak rumah anggota aliran menyimpang.
Merusak rumah ibadah agama lain yang bermasalah.
Membantu umat Islam di daerah konflik dengan senjata.
Aksi Imam Samudera, Amrozi, dll dapat dibenarkan.
Jumlah responden Guru (590), Siswa (993)
Perbandingan Tingkat Kesediaan Terlibat Aksi Kekerasan
Menangkap pasangan bukan suami-istri.
Merusak tempat hiburan (bar, kafe, dll)
Merusak rumah anggota aliran menyimpang.
Merusak rumah ibadah agama lain yang bermasalah.
Membantu umat Islam di daerah konflik dengan senjata.
Jumlah responden Guru (590), Siswa (993)
Perbandingan Tingkat Toleransi
Guru, Tiga Tahun Lalu
Seandainya nonmuslim menjadi pemimpin?
Apakah aliran baru dalam agama berhak hidup?
Jika nonmuslim mendirikan tempat ibadah di lingkungannya?
Setujukah hukum rajam bagi pezina?
Guru dan Murid, Sekarang
Bersedia ikut merusak rumah anggota aliran agama yang dianggap menyimpang.
Setuju merusak rumah ibadah agama lain yang dianggap bermasalah.
Bersedia angkat senjata membela muslim yang terancam kelompok agama lain.
Setuju tindakan Imam Samudera dan Amrozi.
Keberatan jika nonmuslim membangun tempat ibadah di lingkungannya.
Sumber: Balai Litbang Agama Jakarta 2007, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta 2008, Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian 2011
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo