Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Gunung Anak Krakatau Kian Tinggi, Ini Penjelasan Ilmiahnya

Baru pada tanggal 11 Juni 1930 Gunung Anak Krakatau muncul di permukaan laut, dan terus tumbuh hingga saat ini.

21 Agustus 2018 | 13.25 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bandung - Kepala Sub-Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Kristianto, mengatakan intensitas pertumbuhan Gunung Anak Krakatau terjadi pada tahun-tahun pertama kelahirannya.

Baca: Gunung Anak Krakatau Makin Tinggi dan Luas, Radius Aman Diperluas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sejak tahun 90-an sampai sekarang tidak terlalu signifikan pertumbuhannya,” kata dia di ruang kerjanay di Bandung, Selasa, 21 Agustus 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kris mengatakan, laju pertumbuhan rata-rata gunung tersebut jika dihitung menembus 4 meter per tahunnya. Tapi lajur pertumbuhan gunung itu pesat di awal-awal pembentukan gunung yang tumbuh dari kaldera Gunung Krakatau yang meletus dahsyat pada tahun 1883. Letusan hebat kala itu melenyapkan Pulau Perbuwatan, Pulau Danan, dan separuh pulau Rakata yang menyisakan kaldera di bawah laut.

Kompleks Gunung Krakatau sebelum meletus hebat terdiri dari sejumlah pulau, yakni Pulau Perbuwatan, Pulau Danan, dan Pulau Rakata. Ketiganya diapit oleh Pulau Sertung dan Pulau Panjang.

Pada 20 Mei 1883, fase letusan gunung itu ditandai dengan letusan abu dan semburan uap dari Gunung Perbuwatan di Pulau Perbuwatan yang disebut mencapai ketinggian 11 kilometer dengan suara dentuman terdengar hingga 200 kilometer.

Sebulan kemudian, pada Juni 1883, aktivitas vulkanik juga terpantau di Gunung Danan di Pulau Danan. Letusan dahsyat terjadi beberapa bulan kemudian.

Tanggal 26 Agustus 1883, proses letusan dimulai. Puncaknya terjadi pada tanggal 27 Agustus 1883. Suara dentumannya terdengar hingga Singapura dan Australia. Letusan tersebut menyemburkan batuapung, dengan tinggi kolom letusan abu menembus 70-80 kilometer.

Endapannya tersebar hingga luasan 827 ribu kilometer persegi. Letusan tersebut menghasilkan tsunami dengan ketinggian rata-rata hingga 20 meter, menyapu pantai di selat Sunda dan barat laut Jawa.

Tercatat 36.417 korban jiwa meninggal akibat letusan tersebut. Tsunami disebut-sebut menyapu 297 kota kecil di sepanjang pantai, 2 ribu orang tewas di Sumatera bagian selatan akibat sebaran abu panas letusan gunung tersebut.

Fase letusan berhenti setahun kemudian. Letusan hebat tersebut saat itu menyisakan separuh pulau Rakata. Diyakini kaldera sisa letusan gunung tersebut berada di dasar lautan di tengah-tengah Pulau Sirtung, Pulau Panjang, serta sisa-sisa Pulau Rakata. Sejak tahun 1884 hingga tahun 1927 tidak terlihat aktivitas magmatik menyusul letusan gunung tersebut.

Sejumlah literatur mencatatkan kelahiran Gunung Anak Krakatau ditandai dengan aktivitas magma yang muncul dari dasar laut di lokasi kaldera letusan tahun 1883, pada tanggal 11 Juni 1927.

Baru pada tanggal 11 Juni 1930 Gunung Anak Krakata muncul di permukaan laut, dan terus tumbuh hingga saat ini. Pada tahun 2000, gunung tersebut mencapai ketinggian 300 meter di atas permukaan laut, dan kini tingginya tercatat sudah mencapai 305 meter.

Kris mengatakan, mayoritas tubuh Gunung Anak Krakatau berasal dari lontaran material yang keluar dari kawah gunung tersebut. PVMBG mencatat sejak tahun 1927 hingga tahun 2000 tercatat lebih dari 11 kali letusan gunung tersebut. Material yang terlontar akibat letusan Gunung Anak Krakatau membentuk tubuh gunung dan kini berwujud Pulau Anak Krakatau dengan diameter hampir 2 kilometer dan tinggi 305 meter.

Menurut Kris, sebagian gunung api tumbuh dengan terlebih dulu membentuk kubah lava dari dalam kawahnya. Kubah lava, membentuk bukit, muncul mirip bisul akibat aktivitas magma di bawahnya yang naik ke permukaan. Erupsi yang terjadi, menambah volume tubuh gunung. Tapi Anak Krakatau tumbuh mayoritas bermodal penumpukan material letusan gunung api. “Anak Krakatau saat ini sedang dalam fase konstruksi melalui letusannya itu sebenarnya dia tumbuh,” kata dia.

Kris mengatakan, sejak tahun 90-an morfologi puncak Gunung Anak Krakatu relatif tidak berubah. Pertumbuhan gunung itu juga sudah tidak terlalu signifikan dibandingkan fase awal pembentukannya. “Di tahun-tahun awal pertumbuhannya cepat. Tapi dari tahun 93-an sampai sekarang tidak terlalu signifikan,” kata dia.

Kendati demikian, Gunung Anak Krakatau bukan berarti berhenti pertumbuhannya. “Gunung Anak Krakatau masih tumbuh karena masih ada suplai magma,” kata dia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus