Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Berita Tempo Plus

Hancur Alam Akibat Emas Hitam

Pertambangan batu bara menyisakan ratusan lubang menganga berisi limbah. Merusak kualitas tanah dan mencemari badan air.

3 Desember 2014 | 00.00 WIB

Hancur Alam Akibat Emas Hitam
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matahari belum sepenggalah. Tapi sebelas aktivis Greenpeace Indonesia sudah sibuk membentangkan poster di atas sebuah kolam bekas galian tambang batu bara di kawasan Desa Salaman dan Asam Asam, Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, 5 November lalu. Poster berwarna kuning seukuran 27 x 27 meter itu bertulisan "Coal kills. Acid ponds, ingredients, mine waste, heavy metals. Produced by: Arutmin", lengkap dengan gambar tengkorak dan dua tulang.

Para aktivis berpenampilan tak kalah "seram". Mereka berkostum ponco hitam lengkap dengan tudung di kepala, serta mengenakan masker putih bertulisan "Coal Kills". Bukan hanya membentangkan poster raksasa, mereka juga menyegel tepian kolam seukuran lebih dari empat kali lapangan bola voli itu dengan pita kuning bertulisan "Caution Toxic Water", mirip garis polisi di tempat kejadian perkara kasus kriminal.

Aksi yang dipersiapkan sejak subuh itu merupakan wujud protes Greenpeace Indonesia terhadap kegiatan penambangan batu bara yang tidak ramah lingkungan. Lahan bekas konsesi PT Arutmin Indonesia dijadikan titik fokus aksi karena ukurannya yang paling besar. Bekas aktivitas pengerukan emas hitam menyisakan kolam raksasa berisi air yang terkontaminasi limbah beracun.

Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Arif Fiyanto, mengatakan aktivitas penambangan batu bara di Kalimantan Selatan banyak menyisakan kerusakan lingkungan. Lubang-lubang menganga bekas galian terlihat di manamana. Jumlahnya mencapai ratusan dengan bermacam ukuran.

"Dari segi izin tidak ada masalah. Tapi, setelah ditambang, yang mereka langgar adalah regulasi tentang air dan reklamasi lahan," kata Arif kepada Tempo di selasela aksi. Menurut Arif, perusahaan tambang seharusnya bertanggung jawab untuk memulihkan lahan bekas galian seperti sedia kala. "Tidak bisa meninggalkan begitu saja."

Tidak hanya menggelar aksi protes, Greenpeace juga menyelidiki buruknya praktek penambangan batu bara di Tanah Banjar. Dalam laporan investigasi berjudul Terungkap: Tambang Batu Bara Meracuni Air di Kalimantan Selatan, yang dirilis pada hari ini, Greenpeace mengungkap bukti bahwa penambangan batu bara telah mencemari badan air. Sekitar 3.000 kilometer atau 45 persen dari total sungai di Kalimantan Selatan, yang mengalir melalui tambang batu bara, telah terpapar limbah.

Greenpeace mengambil 29 sampel air dari kolam-kolam pengendapan di konsesi tambang batu bara milik PT Arutmin Indonesia dan empat perusahaan batu bara yang lain. Sampling dilakukan pada 19-23 Juli 2014 dan 11-14 Agustus 2014. Sampel yang diambil dari 27 air limbah, 1 sungai kecil, dan 1 sumber air itu lantasBerdasarkan hasil analisis, diketahui 22 sampel air mengandung kadar keasaman atau pH di bawah 6, dengan pH paling rendah 2,32. Artinya, air limbah bersifat sangat asam dan jauh di bawah standar yang dipatok regulasi untuk buangan limbah batu bara. Sekadar perbandingan, pH air sungai yang tidak tercemar sekitar 7,45 alias netral.

Bukan hanya asam, air kolam bekas galian pun mengandung logam berat. Sebanyak 17 sampel mengandung mangan (Mn) hingga 10 kali melebihi ambang batas; 7 sampel melebihi batas kandungan besi (Fe), dengan konsentrasi tertinggi mencapai 40 kali ambang batas. Bahkan sampel air mengandung jenis logam berat yang tidak diatur keberadaannya, antara lain nikel (Ni), tembaga (Cu), zinc (Zn), aluminium (Al), arsenik (Ar), kromium (Cr), kobalt (Co), merkuri (Hg), dan vanadium (Vn). dianalisis di Laboratorium Riset Greenpeace.

Padahal, berdasarkan laporan Greenpeace, kualitas air limbah batu bara harus mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 113 Tahun 2003 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan atau kegiatan pertambangan batu bara. Peraturan itu hanya menetapkan maksimal kandungan untuk dua jenis logam berat, yakni besi (7 miligram per liter) dan mangan (4 miligram per liter). Adapun pH air harus berkisar 6-9.

Arif mengatakan kebocoran, luapan, dan rembesan limbah dari kolam bekas galian batu bara telah mencemari sungai, rawa, dan anak sungai di sekitarnya. Apalagi, ketika musim hujan, limpasan limbah menjadi semakin besar. "Sungai yang mengalir melewati kawasan tambang berpotensi tercemar limbah berbahaya dari konsesi tambang yang berbeda-beda," kata dia.

Praktek penambangan batu bara yang intensif juga terbukti melanggar standar nasional pengelolaan air limbah pertambangan. "Pejabat lingkungan setempat telah gagal menghentikan atau mencegah pelanggaran ini," begitu Greenpeace menuliskan dalam pengantar ringkasan laporan setebal 12 halaman itu.

Abu Bakar, 40 tahun, warga Desa Salaman, Kecamatan Kintap, Kabupaten Tanah Laut, mengatakan penambangan batu bara di kawasan itu telah berlangsung sejak 1997. Pengerukan emas hitam tidak hanya dilakukan oleh korporasi tambang, tapi juga para penambang ilegal. Bagi warga setempat, tambang batu bara tidak banyak memberikan manfaat. "Di kampung tinggal debunya saja, banyak sungai kecil yang tertutup, dan menyisakan banyak lubang," kata dia.

Juru bicara PT Bumi Resources Tbk, induk usaha PT Arutmin Indonesia, Dileep Srivastava, menyatakan belum mengetahui perihal laporan investigasi Greenpeace. "Tetapi kesan saya adalah laporan semacam itu dari mereka (Greenpeace) adalah tidak benar dan sangat berlebihan," kata dia ketika dikonfirmasi.

Eksploitasi emas hitam di Kalimantan Selatan tampaknya masih belum akan berakhir. Apalagi, provinsi ini tercatat sebagai kawasan penghasil batu bara kedua terbesar setelah Kalimantan Timur. Dari catatan Greenpeace, pada 2011, lebih dari 30 persen batu bara Indonesia dihasilkan oleh 14 perusahaan terbesar di Tanah Banjar. Jumlahnya mencapai 118 metrik ton dari total produksi nasional sebesar 353 metrik ton.

Pada 2008, ada 26 izin tambang dari pemerintah pusat dan 430 izin dari pemerintah daerah di Kalimantan Selatan. Menurut analisis spasial Greenpeace, konsesi pertambangan resmi mencakup sekitar 1 juta hektare, nyaris sepertiga dari 3,7 juta hektare luas Kalimantan Selatan. Itu belum termasuk konsesi ilegal. "Semua menyisakan ratusan kolam bekas galian," kata Arif mengacu hasil pengamatan dengan drone. MAHARDIKA SATRIA HADI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus