Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Sepanjang peradaban manusia, angkasa masih menjadi ruang misteri. Perkembangan teknologi dan riset belum mampu membuka kotak pandora luar angkasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hanya ada beberapa kepastian yang sudah dipegang ilmu manusia tentang angkasa. Salah satunya tentang bebatuan yang ada di alam tata surya yang bergerak dalam lintasan, asteroid.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pergerakan asteroid terkadang berada dalam jarak yang dekat dengan bumi. Jika berada di sepertiga jarak bumi ke matahari, bebatuan angkasa itu disebut dengan obyek dekat bumi atau near-Earth object (NEO).
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin Hajiko, menyebutkan obyek yang mengorbit dekat bumi belum tentu bersifat destruktif. Menurut dia, hanya obyek yang lintasan orbitnya bersimpangan dengan orbit bumi dianggap berpotensi mengancam planet ini. “Sangat jarang. Dalam 100 tahun ke depan, belum ada obyek yang dianggap mengancam bumi,” kata Djamaluddin kepada Tempo, kemarin.
Menurut dia, asteroid merupakan salah satu obyek dekat bumi atau NEO yang berpotensi mengancam manusia. Dampak paling kecil, hantaman asteroid bisa merusak bangunan dan alam jika langsung menabrak daratan. Jika membentur lautan, bisa memicu gelombang tsunami.
Djamaluddin mengatakan deteksi dini menjadi kunci penting dalam menghadapi hantaman asteroid. Negara-negara di dunia membahasnya lewat Jaringan Peringatan Asteroid Internasional (IAWN) atas rekomendasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sedini mungkin sebuah ancaman terdeteksi, semakin cepat pula peringatan dapat dikeluarkan. Dengan demikian, manusia memiliki waktu yang cukup untuk mengevakuasi serta mempersiapkan penangkal.
Meskipun demikian, Djamaluddin mengatakan asteroid yang relatif kecil dan berdiameter belasan meter hanya mampu terdeteksi saat sudah mendekati bumi. Sebab, obyek tersebut tidak dapat ditangkap oleh teleskop ketika jaraknya masih jauh dari bumi. “Jadi, tidak bisa diantisipasi,” ujarnya.
Pernyataan Djamaluddin itu didukung oleh kasus asteroid 2022 EB5 pada Maret lalu. Batu angkasa berukuran sekitar 2 meter itu baru terdeteksi astronom Hungaria, Krisztián Sárneczky, beberapa jam sebelum menghantam laut Norwegia.
Sementara itu, untuk obyek besar, yang berukuran hingga ratusan meter, belum ada skenario penanganan paling tepat yang disepakati. Meledakkan asteroid seperti cerita film aksi Hollywood, Djamaluddin melanjutkan, malah bisa membahayakan jika serpihannya menghujani bumi. “Mungkin cara terbaik adalah dengan membelokkan orbitnya,” kata dia.
Pada 360 Info, situs web ilmiah terbuka yang dikelola Monash University, Melbourne, terdapat tiga skenario yang diusung para ahli untuk membelokkan orbit asteroid atau obyek lainnya yang mendekati bumi.
Dalam artikel yang ditulis Andrew Rivkin dari laboratorium fisika terapan John Hopkins University, Maryland, Amerika Serikat, cara pertama adalah dengan defleksi nuklir. Metode ini memanfaatkan energi ledakan nuklir untuk mendorong asteroid ke jalur yang lebih aman, bukan meledakkannya. Skenario ini memiliki risiko ancaman radiasi nuklir. Kendala lain, metode ini belum pernah diuji akibat larangan hukum internasional soal penyebaran senjata nuklir di luar angkasa.
Defleksi nuklir. Foto: 360info.org
Skenario kedua adalah menggunakan penabrak kinetik atau kinetic impactor (KI) untuk membelokkan arah orbit obyek. Misalnya, dengan menumburkan pesawat luar angkasa atau satelit ke asteroid sehingga berbelok. Tahun lalu, Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) meluncurkan pesawat tanpa awak, Double Asteroid Redirection Test (DART), dengan roket SpaceX Falcon 9 untuk uji coba perdana. Melalui misi skala penuh tersebut, NASA berencana mengubah orbit asteroid Dimorphos yang berukuran sekitar 160 meter pada akhir September mendatang. Mereka ingin menguji coba seberapa besar kecepatan dan jalurnya dapat diubah dari proses penabrak kinetik.
Penabrak kinetis. Foto: 360info.org
Skenario ketiga adalah memanfaatkan hukum gravitasi, yakni setiap benda yang memiliki massa memiliki tarikan gravitasi yang kuat jika jaraknya sangat dekat. Metode ini melibatkan pengoperasian pesawat ruang angkasa yang bermassa sangat besar dan amat dekat dengan asteroid untuk menariknya. Istilahnya, traktor gravitasi.
Karena pesawat ruang angkasa dapat dikendalikan, pesawat mampu menarik dan mengubah orbit asteroid. Berbeda dengan dua metode sebelumnya yang instan, traktor gravitasi butuh waktu hingga puluhan tahun. Jadi, metode ini cocok digunakan untuk obyek yang berukuran kecil serta yang telah teridentifikasi sejak jauh-jauh hari.
Traktor gravitasi. Foto: 360info.org
Semua skenario itu merupakan hitung-hitungan ilmuwan dan praktisi. Hingga saat ini, belum ada percobaan yang berhasil alias masih sebatas simulasi.
Djamaluddin menyatakan teknologi untuk membuat impuls atau dorongan pada obyek besar atau menabrakkan roket besar terhadap obyek belum tentu efektif mengubah gerak orbitnya. Jadi, untuk saat ini, cara terbaik untuk mengantisipasi dampak bencana adalah dengan pertahanan sipil. “Skenario yang paling mungkin diterapkan adalah mengungsikan penduduk secara besar-besaran dari wilayah yang terkena dampak,” kata dia.
ANGGI ROPININTA PANGARIBUAN (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo