Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Ilmuwan Prancis Jadikan Burung Albatros Drone Pengintai

Sebanyak 169 ekor burung albatros menjadi drone setelah ditanamkan padanya sensor mini. Bisa mengintai kapal-kapal pencuri ikan.

31 Januari 2020 | 14.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Burung albatross. shutterstock.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tim peneliti dari Universitas La Rochelle, Prancis, membuat burung albatros menjadi sebuah drone pengintai. Ini dilakukan sebagai bagian dari proyek mengumpulkan data kapal-kapal nelayan ilegal di Pasifik Selatan dan Samudera Hindia.  

Tim tersebut melakukannya dengan menanam sensor mini di kaki 169 burung albatros. Burung-burung ini biasa terbang di atas perairan Pasifik Selatan dan Samudera Hindia dari sarangnya di Pulau Amsterdam dan Pulau Kerguelen di Samudra Hindia sebelah utara Antartika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim peneliti memasang sensor kecil dalam prosedur yang memakan waktu sekitar 10 menit per burung. Sensor berbobot 65 gram itu dilengkapi dengan penerima GPS, antena radar, dan monitor komunikasi satelit untuk melacak berbagai sistem komunikasi kapal. Masing-masing alat didukung baterai lithium kecil yang mempertahankan muatannya melalui panel surya kecil. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Burung laut besar itu memiliki cakupan wilayah terbang lebih dari 18 juta mil persegi antara Afrika Timur dan Selandia Baru. Hasilnya, mereka mengumpulkan data dari lebih dari 600.000 lokasi GPS dan mendeteksi lebih dari 5.000 sinyal radar dari 353 kapal yang berbeda.

Lebih dari sepertiga kapal yang terdeteksi oleh sensor burung tidak dapat diidentifikasi. Itu karena kapal-kapal itu  telah mematikan sistem komunikasinya. Diduga, kapal-kapal itu mencoba menghindari deteksi atau secara ilegal menangkap ikan di daerah yang seharusnya tidak mereka tangkap alias pencurian ikan.

Sebagian besar kapal penangkap ikan komersial menggunakan beberapa sistem komunikasi yang berbeda tergantung di mana mereka berada. Yang pertama adalah Sistem Pemantauan Kapal, yang memungkinkan pemerintah setempat melacak semua kapal tamu di wilayah mereka.

Lainnya, Sistem Identifikasi Otomatis, yang memungkinkan kapal untuk berkomunikasi langsung satu sama lain untuk membantu menghindari tabrakan atau berkerumun. Kapal penangkap ikan ilegal sering mematikan satu atau kedua sistem ini untuk menghindari deteksi selama aktivitas ilegal. 

Namun, kapal-kapal ini seringkali masih dapat diidentifikasi dengan mencari sinyal radar mereka, yang hampir selalu tersisa untuk memindai hambatan dan populasi ikan di perairan sekitarnya. Dengan melacak sinyal radar, peneliti bisa menemukan kapal tertentu, kemudian memeriksa catatan untuk kapal yang secara resmi didokumentasikan berada di sekitar koordinat GPS tertentu. 

Perairan kaya ikan tuna biasanya memiliki persentase tertinggi dengan semua sistem komunikasi utama yang dimatikan. Burung-burung albatros itu menemukan bahwa kapal kemungkinan besar telah mematikan Sistem Identifikasi Otomatis .

Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa batasan baru telah ditempatkan pada penangkapan tuna di Samudera Hindia dan tempat lain untuk menjaga populasi ikan tersebut. Pada 2016, Komisi Tuna Samudra Hindia melarang beberapa teknik penangkapan ikan, termasuk penggunaan drone, alat pengumpul ikan, dan menggunakan lampu sorot untuk menarik ikan di malam.

DAILY MAIL | ARSTECHICA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus