Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Universitas Airlangga (Unair), Arif Nur Muhammad Ansori, mengenalkan hasil inovasi terapi kanker serviks berbasis bahan herbal kepada dunia melalui forum global di Jepang, Takeda Science Foundation Symposium on PharmaScience ke-11 Dalam kegiatan yang diadakan di Knowledge Capital Congrès Convention Center di Osaka, pada 26-27 Januari 2024, tersebut Arif dan timnya memaparkan salah satu bentuk pemakaian daun srikaya untuk pengobatan kanker serviks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Masih sedikit penelitian terkait inovasi ini. Pada jurnal ilmiah terindeks Scopus, bahkan hanya ada sekitar 50 publikasi ilmiah mengenai manfaat daun srikaya sebagai terapi kanker serviks,” kata Arif melalui keterangan tertulis, Selasa, 30 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hinga akhir tahun lalu, case fatality rate atau rasio kematian akibat kasus kanker serviks menembus rata-rata 50 persen. Di Indonesia, terdapat lebih dari 36 ribu penderita kanker serviks dengan angka kematian hampir 18 ribu orang per tahun. Salah satu faktor yang menyebabkan tingginya fatality rate adalah keterbatasan pada metode pemeriksaan konvensional. Pemeriksaan gejala penyakit tersebut umumnya berupa penggunaan alat cocor bebek untuk mengambil sampel cairan dari leher rahim.
Simposium di Osaka, kata Arif, menjadi tempat para peneliti untuk membahas kemajuan pencitraan molekuler. Selain peneliti dari Unair, Takeda Science Foundation Symposium itu juga didatangi perwakilan peneliti dari Britania Raya, Amerika Serikat, Kanada, Singapura, Perancis, Jerman, Italia, Filipina, Taiwan, India, Tiongkok, Jepang, hingga Korea Selatan.
Pertemuan itu menjadikan pencitraan molekuler sebagai cara untuk menggambarkan fenomena kehidupan dalam biologi. Manfaat utamanya tentu untuk membantu menentukan diagnosis penyakit secara tepat. Arif menyebut banyak ilmu mengenai proses diagnostik dan terapi kanker yang bisa dipelajari di sana. “Beberapa penelitian negara lain ada yang menggunakan hewan. Ada yang sampai tahap uji klinis tingkat akhir, hingga menjadi produk unggulan,” kata dia.
Setelah kembali ke Indonesia, Arif masih melanjutkan proses penelitian terkait inovasi terapi kanker. Ia bekerja bersama beberapa pihak, salah satunya alumnus Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair bernama Amaq Fadholly, Amaq merupakan dosen sekaligus peneliti di Sekolah Kedokteran Hewan IPB University dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). “Selanjutnya kami akan terus berkolaborasi untuk meningkatkan kualitas penelitian dan terobosan ilmiah yang lebih baik.”
IRSYAN HASYIM | ANTARA