Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Sira: Suku Knasaimos di Papua Barat memiliki prinsip menolak perusahaan besar untuk menanam kelapa sawit. Setelah dua kampung suku tersebut, Manggroholo dan Sira, mendapat izin pengelolaan hutan desa pada tahun 2017, mereka memimpin gerakan untuk menolak perusahaan kelapa sawit agar terus bisa melindungi hutan mereka dari kerusakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Knasaimos punya prinsip untuk menolak semua perusahaan kelapa sawit, sampai sudah menolak tiga kali,” ujar Arkilaus Kladit, Pengurus Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Manggroholo-Sira, di Kampung Sira, Kecamatan Seremuk, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat, pada hari Rabu, 14 Maret 2018. Selain untuk melindungi hutan di Papua Barat, masyarakat juga memiliki ketergantungan yang besar pada hutan.
Semua produk yang mereka kelola dan bawa ke pasar adalah hasil dari pohon-pohon di hutan. Karena itu juga Manggroholo dan Sira ingin mengamankan hutan mereka dengan mendapat izin hutan desa. Hal tersebut dilakukan agar tidak terintervensi oleh ekspanzi izin perkebunan kelapa sawit dan lainnya.
Juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia, Charles Tawaru, mengatakan masyarakat Knasaimos memiliki sejarah awal, di mana masyarakat menolak izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di wilayah mereka.
Saat kelapa sawit datang, mereka juga menolak. Karena itu cara yang paling aman, menurut mereka, adalah untuk membuat pagar terhadap wilayah masyarakat adat ini, terutama karena luas suku Knasaimos mencapai 81.000 ha.
Skema yang paling tepat dilakukan untuk melindungi hutan dari kelapa sawit dan perusahaan besar lainnya adalah hutan desa. Walaupun tujuan akhirnya adalah hutan adat, karena hutan tersebut tidak lagi menjadi hutan milik negara dan masyarakat memiliki hak permanen untuk mengelola hutan di wilayah mereka. Sedangkan sekarang dengan hutan desa, izin pengelolaan tersebut hanya akan bertahan selama 35 tahun.
Mereka juga mengambil contoh dari Sungai Tohor, Riau, yang bisa menghasilkan 163 produk dari sumber daya alam mereka. Masyarakat Sungai Tohor juga memiliki pasar yang cukup menjanjikan di Malaysia dan Singapura.
“Sampai hari ini memang masyarakat di Sungai Tohor menolak ekspansi sawit di wilayah adat atau kampung mereka. Mereka produksi sagu, yang menjadi nilai ekonomi, secara berkelanjutan masih dikelola sampai sekarang karena pasar yang cukup menjanjikan,” jelas Charles. Karena itu, mereka akan menjadikan prioritas untuk mengamankan wilayah adat mereka, terutama dari perusahaan-perusahaan besar.