DUA insinyur muda menganggap penemuan mereka di bidang teknik
pembuatan jalan raya demikian penting hingga perlu
memperjuangkan hak paten internasional untuk itu. Ryantori, 29
tahun dan Sutjipto, 35 tahun -- keduanya lulusan Institut
Teknologi Surabaya -- dari Direktorat Paten sudah mengantungi
hak paten No. 7191 sejak tanggal 11 Agustus tahun lalu. Tapi
untuk memperoleh hak paten internasional itu dari Vereenigde
Octrooi Bureaux yang berkedudukan di Negeri Belanda, urusannya
dipercayakan kepada Widjojo SH (d/h Oei Tat Hway), seorang
pengacara dari Jakarta. "Terus terang, kami takut dibajak ahli
luar negeri," ujar Ryantori kepada Slamet Oerip Pribadi dari
TEMPO.
Dengan sistem penemuan mereka ini, jalan tidak lagi dibuat
dengan aspal, tapi dengan beton bertulang. Lapisan beton itu
disangga sekat-sekat berbentuk segitiga siku-siku. Tebal lapisan
beton dan ukuran sekat tergantung dari kondisi tanahnya.
Sekat-sekat ini disusun hingga setiap 2 buah segitiga membentuk
segiempat panjang. Segitiga itu terbuat dari baja pipih yang
dipasang miring-tegak. "Sistem ini kami beri nama sistem
laba-laba," ujar Ryantori yang didampingi oIeh Sutjipto.
Pembuatan jalan dengan sistem ini dimulai dengan meratakan
tanah. Kemudian menyusun banyak segitiga di atasnya. Rongga di
dalam segitiga itu bisa diisi tanah asli atau, kalau perlu
perbaikan tanah, dicampur pasir. Setelah itu menghamparkan
ramuan beton di atasnya dan pekerjaan selesai.
Secara teknis penemuan mereka sudah didiskusikan dalam suatu
forum bersama Direktorat Bina Marga, 21 Desember lalu. "Kami
tidak hanya harus mempertahankan sistem ini terhadap sanggahan
berat, tapi juga menerima pendapat untuk penyempurnaan," ujar
Sutjipto. Dari diskusi ini mereka berkesimpulan bahwa secara
teknis penemuan itu bisa dipertanggungjawabkan. "Segi ekonomis
akan didiskusikan Februari nanti," ujar Ryantori.
Sejak masih kuliah di jurusan Teknik Sipil ITS, Ryantori sudah
bkerja di sebuah perusahaan pemborong. SIlatu waktu -- ketika
mengerjakan fondasi sebuah pabrik yang menggunakan mesin berat
-- ia disuruh membuat konstruksi khusus untuk tempat mesin itu.
Waktu itu terpikir olehnya, apakah tidak cukup kuat kalau dibuat
dengan beton yang diberi penulangan yang banyak. Tapi problem
itu tidak pernah terjawab, mungkin juga karena waktu itu -- 1972
-- ia baru di tingkat III.
Ryantori punya teman karib bernama Sutjipto, dan di tahun 1975
ketika sama-sama di tingkat V -- keduanya bekerja di perusahaan
yang sama pula. Banyak pelajaran mereka diskusikan seolah
dipraktekkan di lapangan. Tahun itu juga mereka sempat
menghadiri sebuah ceramah oleh "nabi" konstruksi Indonesia,
Prof. Ir. Rooseno, di gedung PAM, Surabaya.
Ketika itu Rooseno menerangkan bahwa sebab utama kerusakan pada
jalan aspal adalah gerakan memompa yang timbul akibat tekanan
dari atas lebih berat daripada tekanan dari bawah tanah. Akibat
tekanan yang tidak seimbang itu, air tanah terpompa lewat lubang
kapiler tanah ke atas. Inilah yang menyebabkan lapisan aspal
kemudian bergelombang dan membuat kendaraan yang lewat di
atasnya bergoyang-goyang. Ini awal dari proses kerusakan.
Biasanya proses ini meluas dengan cepat, sebab batu
fondasinya melesak ke dalam.
Pulang dari mendengarkan ceramah itu, Ryantori dan Sutjipto
bertukar pikiran -- seperti biasanya. Mereka sependapat bahwa
sistem beton dengan penulangan sekat berbentuk segitiga bisa
diterapkan untuk pembuatan jalan. Dan mereka memperoleh
kesempatan untuk menguji gagasan mereka itu.
Awal tahun 1978, kedua insinyur muda itu sama-sama bekerja di PT
Morosakti General Contractors. Ryantori (lulusan 1976) sebagai
direktur teknik dan Sutjipto (lulusan 1978) sebagai kepala
bagian konstruksi.
Tahun itu PT Morosakti (Surabaya) memborong pembuatan jalan baru
di Jombang --yang sekarang dipakai rute bis masuk kota dari arah
Madiun. Dengan izin dan biaya perusahaan itu, mereka membuat
sebagian jalan itu dengan sistem laba-laba, sepanjang 15 meter
dengan lebar 6 meter. Sekat segitiga yang dipakai berukuran sisi
alasnya 2,5 meter dan sisi tegaknya 3 meter, sedang tebal
lapisan beton 8 cm. "Dalam waktu satu tahun, jalan aspal di
kanan kirinya sudah lebih rendah, karena mengalami penurunan
antara 5 sampai 6 cm," ujar Sutjipto.
Jagorawi
Keduanya mengakui bahwa pembuatan jalan dengan sistem laba-laba
ini memang jauh lebih mahal. "Tapi hanya mahal investasi
pertamanya," ungkap Sutjipto. "Sebab di saat jalan konvensional
sudah menuntut biaya pemeliharaan, jalan ini belum," sambung
Ryantori. "Apalagi untuk daerah seperti bagian utara Jawa, yang
gampang rusak lantaran struktur tanah yang kurang baik, sistem
ini jatuhnya lebih ekonomis," kata Sutjipto lagi. Besar
perbedaan ini dihitungnya per meter persegi masih lebih murah
daripada jalan Jagorawi (Jakarta-Bogor-Ciawi). Konon harga jalan
yang mulus itu sekitar Rp 20.000 sampai Rp 25.000 per meter
persegi.
Kalau terjadi luka akibat as truk yang patah, misalnya,
kerusakan itu tidak mudah menular. Kalaupun menular,
paling-paling terbatas pada sekat segitiga yang bersangkutan.
Mereka juga menganjurkan sistem pembuatan jalan ini untuk
berbagai keperluan lain seperti fondasi pabrik, gudang dan
landasan lapangan udara. "Dengan sistem ini, sebuah pabrik tidak
akan mengalami kesulitan bila hendak memindahkan mesinnya," ujar
Ryanto. "Sebab kekuatan fondasinya sama di mana-mana." Menurut
perhitungannya sistem ini akan 50% lebih ekonomis dalam hal ini.
Untuk penggunaannya sebagai landasan di lapangan udara, sistem
ini sudah mereka perkenalkan kepada Menteri Perhubungan Rusmin
Nuryadin, ketika marsekal itu berkunjung ke Surabaya bulan
lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini