Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Gajah kuning di kongsi lima

Masalah sengketa tanah antara penduduk kampung kongsi lima dengan perkebunan pt mara jaya. penduduk ditangkap dengan tuduhan membabat tanaman. lainnya melancarkan aksi protes ke dprd.

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA perang meliputi Kampung Kongsi Lima, ketika sejumlah petugas keamanan muncul di sana, jam 2 dinihari 8 Januari lalu. Kampung itu tersuruk lebih 15 km dari jalan raya Medan-Tebing Tinggi, masuk Wilayah Desa Ujung Rambe, Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Dengan 12 jip, tak kurang dari 60 petugas dikerahkan, terdiri atas 1 peleton Arhanud (Artileri Pertahanan Udara), petugas Kodim dan anggota Polri. Seorang petugas tampak mengucapkan kata-kata sandi lewat walkie-talkie "Gajah kuning, gajah kuning masuk . . ." Dan beberapa saat kemudian mereka pun bergerak menggeledah rumah-rumah penduduk. Para lelaki penduduk desa melarikan diri. Tapi 6 orang di antaranya berhasil diringkus, lantas dibawa ke Kantor Kodim Tebing Tinggi. Penggeledahan dan penangkapan itu dilakukan karena 6 dan 7 Januari puluhan penduduk kampung itu dituduh telah membabat hampir 10 ha tanaman di Perkebunan Baturata (Kecamatan Bangun Purba) milik PT Mara Jaya. Selain itu mereka juga merusak 7 rumah centeng perkebunan dengan linggis dan parang. Beberapa hari sebelumnya memang telah terjadi permainan kucing-kucingan antara para petani dan petugas perkebunan. Karena pada hari-hari itu setiap pihak perkebunan menanam karet, besoknya petani membabatnya, lantas menggantinya dengan tanaman pisang dan jagung. Jumat 4 Januari misalnya, para centeng perkebunan membalas membabat tanaman jagung dan pisang sampai malam hari. Siangnya, penduduk kembali menanam pisang. Tapi malam harinya para centeng menebanginya. Kemarahan petani meledak Minggu sore 6 Januari lalu. Puluhan petani membabat tanaman rambung (karet) perkebunan seluas 10 ha. Disusul esok harinya, mereka menyerbu perumahan para centeng. Pihak terakhir ini melarikan diri bersama keluarga, tapi rumah-rumah mereka dirusak. Tak berhenti sampai di situ, para petani juga menggali lubang di mulut jalan desa. Maksudnya agar kendaraan petugas tak bisa masuk. Tapi Selasa 8 Januari lalu, ternyata jip-jip petugas berhasil masuk lewat jalan lain. Enam orang yang ditangkap adalah Paimun (45 tahun), Abidin (29 tahun), Sutrisno (33 tahun), Tumiran (35 tahun), Habiaran Siregar (43 tahun), dan Paeran (5 3 tahun). Semuanya tergolong pemuka desa. Satu malam ditahan di Kodim, kemudian mereka diserahkan ke tahanan polisi di Kores Tebing Tinggi. Tiga hari kemudian para petugas "menjemput" 4 petani lagi: Kabul, Rusmin, Kasirun dan Rugimin. Untung, setelah hanya semalam menginap di Kantor Polisi Kosek Bangun Purba, mereka diizinkan pulang. Tapi sementara itu semua lelaki di desa yang berpenduduk 73 kk itu sudah bersembunyi di hutan atau di kebun karet. Juga ada yang mengeram dalam sungai di luar desa. "Saya baru keluar dari hutan setelah mendengar teman-teman sudah dibebaskan," kata Harjo (45 tahun). Selama itu hanya di malam hari saja ia berani masuk kampung, secara sembunyi-sembunyi, untuk makan. Sampai Senin malam 14 Januari lalu masih banyak lelaki belum pulang, istri-istri mereka pun dihinggapi rasa takut. Maka 14 Januari itu juga, jam 3 dinihari, sejumlah petani berjalan kaki menempuh jarak 40 km menuju gedung DPRD tingkat II Deli Serdang yang terletak di Jalan Brigjen Katamso Medan. Jam 8 pagi baru mereka sampai. Mereka terdiri dari 33 wanita, 7 lelaki, 13 anak-anak dan bayi. Gedung DPRD itu sekompleks dengan kantor Bupati Deli Serdang. Bupati Tentang Ginting sendiri sedang berada di Jakarta. Sejumlah anggota Hansip tak berhasil mencegah mereka masuk. Dan di teras gedung perwakilan rakyat itu, para petani mengembangkan tikar yang sengaja mereka bawa, lalu duduk. Kapten Bahar. Kepala Subdit Sospol kantor bupati keluar. "Pulang saja kalian. Apa yang kalian andalkan di sini?" teriaknya berang. Tapi para petani tidak peduli, sementara sebagian wakil rakyat pada berlalu saja. Lewat tengah hari, delegasi petani itu diterima Fraksi PDI di DPRD Deli Serdang dengan kawalan ketat sejumlah Hansip. "Kami akan tinggal di sini terus kalau suami-suami kami tidak dipulangkan dari tahanan," teriak para wanita di tengah tangis bayi-bayi mereka. "Pulanglah, jangan bertindak di luar hukum. Kami akan usahakan agar suami ibu-ibu bisa pulang secepatnya," janji Ghazali M.S., salah seorang anggota DPRD Deli Serdang. Maka sore itu juga para petani pulang naik bus dengan ongkos anggota DPRD itu. Dan 2 hari kemudian, Rabu 16 Januari lalu, para lelaki yang ditahan memang dipulangkan. Pangdam II Bukit Barisan Brigjen Ismail cepat menanggapi kejadian itu. Seusai menutup latihan Batalyon Linud 100 di Sialang Buah, Kabupaten Deli Serdang, 15 Januari lalu Panglima bicara kepada pers. Ia menyebut kasus tersebut ada dalangnya. "Menurut hemat saya, kasus ini tidak terlepas dari upaya Abdullah Eteng dan oknum-oknumnya," kata Ismail. "Gitu ya gitu tapi nggak usah menghasut," tambahnya. Tak lupa, Panglima juga menyebut ada seorang di antara para petani itu yang bekas PKI. Dalam kesempatan sama, Dan Dim Deli Serdang, Letkol Suroyo Rajiman membenarkan adanya penangkapan itu, "karena sudah terjadi tindakan kriminal, yaitu perusakan-perusakan," katanya. Mengapa harus malam hari? "Itu bukan bermaksud menakuti rakyat, tapi karena di siang hari penduduk tak ada di rumah," kilahnya. Tapi Tumiran, 30 tahun, yang ikut tertangkap membantah. "Selama ini sudah puluhan kali saya dipanggil dan tak pernah membangkang," katanya. September tahun lalu, Tumiran bersama Paimun dan Paeran pernah dijemput petugas Koramil dengan mobil ke kantor Korem Binjai untuk diperiksa -- juga dalam hubungan tanah perkebunan itu juga. Sorenya harus pulang sendiri jalan kaki menempuh jarak 60 km, sebab tak punya uang. "Jam 12 malam baru sampai di rumah, kehujanan lagi di jalan," tutur Tumiran. Tak Luar Biasa Abdullah Eteng, yang disebut sebagai dalang itu, adalah anggota DPR-RI Fraksi PDI yang memang sering mengungkap kasus-kasus sengketa tanah di Sumatera Utara. Ia juga pernah membawa kasus petani kampung Kongsi Lima ini dalam rapat kerja Komisi II DPR-RI dengan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud. Tapi soalnya tak kunjung selesai. Dalam hal penduduk melakukan perusakan-perusakan, Eteng sendiri tidak menyetujuinya. "Itu melanggar hukum," katanya. Tapi ia juga meminta agar tindakan pihak perkebunan yang merusak tanaman petani itu diusut. Sebab ulah para centeng itulah pula yang menyebabkan rakyat marah. "Tapi tindakan kriminal itu juga tidak terlalu luar biasa,' kata Eteng. "Berapa ribu kali terjadi tindakan kriminal tapi penanggulangannya kan tidak harus sampai mengerahkan pasukan," tambahnya. Eteng yang ketika kasus itu meledak memang berada di Medan, juga menyambut baik ajakan Panglima Bukit Barisan untuk berdialog. "Tapi saya sibuk, harus pulang ke Jakarta. Apalagi semua soalnya sudah saya laporkan ke Jakarta," katanya. Tentang pengerahan pasukan Arhanud itu, dibantah oleh Mayor Mardian Idris, Humas Laksusda Sumatera Utara. 'Mereka bukan untuk menangkap tapi sekedar berjagajaga, sebab ada informasi penduduk akan melakukan perusakan dan pembakaran," katanya. Keterangan ini dibantah Paimun, Kepala Lorong Kongsi Lima. "Yang menangkap saya memang anggota Arhanud," kata Paimun, bekas kopral itu. Tapi bahwa ada bekas PKI yang ikut melakukan perusakan, benar. Dia adalah Kabul, 43 tahun, bekas anggota Sarbupri (Serikat Buruh Perkebunan) ketika menjadi buruh di perkebunan Batu Lokong, milik PT Londan Sumatera yang berbatasan dengan perkebunan Baturata. Selama ini ia hanya wajib lapor, tak pernah ditahan. "Saya memang ikut ramai-ramai bersama teman-teman. Habis, tanaman saya juga dirusak," katanya. Setelah ditegasi petani berkunjung ke gedung DPRD Deli Serdang, 14 Januari lalu Kabul ditangkap lagi. Tapi dua hari kemudian ia dilepas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus