SUASANA perang meliputi Kampung Kongsi Lima, ketika sejumlah
petugas keamanan muncul di sana, jam 2 dinihari 8 Januari lalu.
Kampung itu tersuruk lebih 15 km dari jalan raya Medan-Tebing
Tinggi, masuk Wilayah Desa Ujung Rambe, Kecamatan Bangun Purba,
Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara.
Dengan 12 jip, tak kurang dari 60 petugas dikerahkan, terdiri
atas 1 peleton Arhanud (Artileri Pertahanan Udara), petugas
Kodim dan anggota Polri. Seorang petugas tampak mengucapkan
kata-kata sandi lewat walkie-talkie "Gajah kuning, gajah kuning
masuk . . ." Dan beberapa saat kemudian mereka pun bergerak
menggeledah rumah-rumah penduduk.
Para lelaki penduduk desa melarikan diri. Tapi 6 orang di
antaranya berhasil diringkus, lantas dibawa ke Kantor Kodim
Tebing Tinggi. Penggeledahan dan penangkapan itu dilakukan
karena 6 dan 7 Januari puluhan penduduk kampung itu dituduh
telah membabat hampir 10 ha tanaman di Perkebunan Baturata
(Kecamatan Bangun Purba) milik PT Mara Jaya. Selain itu mereka
juga merusak 7 rumah centeng perkebunan dengan linggis dan
parang.
Beberapa hari sebelumnya memang telah terjadi permainan
kucing-kucingan antara para petani dan petugas perkebunan.
Karena pada hari-hari itu setiap pihak perkebunan menanam karet,
besoknya petani membabatnya, lantas menggantinya dengan tanaman
pisang dan jagung. Jumat 4 Januari misalnya, para centeng
perkebunan membalas membabat tanaman jagung dan pisang sampai
malam hari. Siangnya, penduduk kembali menanam pisang. Tapi
malam harinya para centeng menebanginya.
Kemarahan petani meledak Minggu sore 6 Januari lalu. Puluhan
petani membabat tanaman rambung (karet) perkebunan seluas 10 ha.
Disusul esok harinya, mereka menyerbu perumahan para centeng.
Pihak terakhir ini melarikan diri bersama keluarga, tapi
rumah-rumah mereka dirusak. Tak berhenti sampai di situ, para
petani juga menggali lubang di mulut jalan desa. Maksudnya agar
kendaraan petugas tak bisa masuk.
Tapi Selasa 8 Januari lalu, ternyata jip-jip petugas berhasil
masuk lewat jalan lain. Enam orang yang ditangkap adalah Paimun
(45 tahun), Abidin (29 tahun), Sutrisno (33 tahun), Tumiran (35
tahun), Habiaran Siregar (43 tahun), dan Paeran (5 3 tahun).
Semuanya tergolong pemuka desa. Satu malam ditahan di Kodim,
kemudian mereka diserahkan ke tahanan polisi di Kores Tebing
Tinggi.
Tiga hari kemudian para petugas "menjemput" 4 petani lagi:
Kabul, Rusmin, Kasirun dan Rugimin. Untung, setelah hanya
semalam menginap di Kantor Polisi Kosek Bangun Purba, mereka
diizinkan pulang. Tapi sementara itu semua lelaki di desa yang
berpenduduk 73 kk itu sudah bersembunyi di hutan atau di kebun
karet. Juga ada yang mengeram dalam sungai di luar desa.
"Saya baru keluar dari hutan setelah mendengar teman-teman
sudah dibebaskan," kata Harjo (45 tahun). Selama itu hanya di
malam hari saja ia berani masuk kampung, secara
sembunyi-sembunyi, untuk makan. Sampai Senin malam 14 Januari
lalu masih banyak lelaki belum pulang, istri-istri mereka pun
dihinggapi rasa takut.
Maka 14 Januari itu juga, jam 3 dinihari, sejumlah petani
berjalan kaki menempuh jarak 40 km menuju gedung DPRD tingkat II
Deli Serdang yang terletak di Jalan Brigjen Katamso Medan. Jam 8
pagi baru mereka sampai. Mereka terdiri dari 33 wanita, 7
lelaki, 13 anak-anak dan bayi. Gedung DPRD itu sekompleks dengan
kantor Bupati Deli Serdang. Bupati Tentang Ginting sendiri
sedang berada di Jakarta.
Sejumlah anggota Hansip tak berhasil mencegah mereka masuk. Dan
di teras gedung perwakilan rakyat itu, para petani mengembangkan
tikar yang sengaja mereka bawa, lalu duduk. Kapten Bahar. Kepala
Subdit Sospol kantor bupati keluar. "Pulang saja kalian. Apa
yang kalian andalkan di sini?" teriaknya berang. Tapi para
petani tidak peduli, sementara sebagian wakil rakyat pada
berlalu saja.
Lewat tengah hari, delegasi petani itu diterima Fraksi PDI di
DPRD Deli Serdang dengan kawalan ketat sejumlah Hansip. "Kami
akan tinggal di sini terus kalau suami-suami kami tidak
dipulangkan dari tahanan," teriak para wanita di tengah tangis
bayi-bayi mereka.
"Pulanglah, jangan bertindak di luar hukum. Kami akan usahakan
agar suami ibu-ibu bisa pulang secepatnya," janji Ghazali M.S.,
salah seorang anggota DPRD Deli Serdang. Maka sore itu juga para
petani pulang naik bus dengan ongkos anggota DPRD itu. Dan 2
hari kemudian, Rabu 16 Januari lalu, para lelaki yang ditahan
memang dipulangkan.
Pangdam II Bukit Barisan Brigjen Ismail cepat menanggapi
kejadian itu. Seusai menutup latihan Batalyon Linud 100 di
Sialang Buah, Kabupaten Deli Serdang, 15 Januari lalu Panglima
bicara kepada pers. Ia menyebut kasus tersebut ada dalangnya.
"Menurut hemat saya, kasus ini tidak terlepas dari upaya
Abdullah Eteng dan oknum-oknumnya," kata Ismail. "Gitu ya gitu
tapi nggak usah menghasut," tambahnya. Tak lupa, Panglima juga
menyebut ada seorang di antara para petani itu yang bekas PKI.
Dalam kesempatan sama, Dan Dim Deli Serdang, Letkol Suroyo
Rajiman membenarkan adanya penangkapan itu, "karena sudah
terjadi tindakan kriminal, yaitu perusakan-perusakan," katanya.
Mengapa harus malam hari? "Itu bukan bermaksud menakuti rakyat,
tapi karena di siang hari penduduk tak ada di rumah," kilahnya.
Tapi Tumiran, 30 tahun, yang ikut tertangkap membantah. "Selama
ini sudah puluhan kali saya dipanggil dan tak pernah
membangkang," katanya. September tahun lalu, Tumiran bersama
Paimun dan Paeran pernah dijemput petugas Koramil dengan mobil
ke kantor Korem Binjai untuk diperiksa -- juga dalam hubungan
tanah perkebunan itu juga. Sorenya harus pulang sendiri jalan
kaki menempuh jarak 60 km, sebab tak punya uang. "Jam 12 malam
baru sampai di rumah, kehujanan lagi di jalan," tutur Tumiran.
Tak Luar Biasa
Abdullah Eteng, yang disebut sebagai dalang itu, adalah anggota
DPR-RI Fraksi PDI yang memang sering mengungkap kasus-kasus
sengketa tanah di Sumatera Utara. Ia juga pernah membawa kasus
petani kampung Kongsi Lima ini dalam rapat kerja Komisi II
DPR-RI dengan Menteri Dalam Negeri Amirmachmud. Tapi soalnya tak
kunjung selesai.
Dalam hal penduduk melakukan perusakan-perusakan, Eteng sendiri
tidak menyetujuinya. "Itu melanggar hukum," katanya. Tapi ia
juga meminta agar tindakan pihak perkebunan yang merusak tanaman
petani itu diusut. Sebab ulah para centeng itulah pula yang
menyebabkan rakyat marah.
"Tapi tindakan kriminal itu juga tidak terlalu luar biasa,' kata
Eteng. "Berapa ribu kali terjadi tindakan kriminal tapi
penanggulangannya kan tidak harus sampai mengerahkan pasukan,"
tambahnya. Eteng yang ketika kasus itu meledak memang berada di
Medan, juga menyambut baik ajakan Panglima Bukit Barisan untuk
berdialog. "Tapi saya sibuk, harus pulang ke Jakarta. Apalagi
semua soalnya sudah saya laporkan ke Jakarta," katanya.
Tentang pengerahan pasukan Arhanud itu, dibantah oleh Mayor
Mardian Idris, Humas Laksusda Sumatera Utara. 'Mereka bukan
untuk menangkap tapi sekedar berjagajaga, sebab ada informasi
penduduk akan melakukan perusakan dan pembakaran," katanya.
Keterangan ini dibantah Paimun, Kepala Lorong Kongsi Lima.
"Yang menangkap saya memang anggota Arhanud," kata Paimun, bekas
kopral itu.
Tapi bahwa ada bekas PKI yang ikut melakukan perusakan, benar.
Dia adalah Kabul, 43 tahun, bekas anggota Sarbupri (Serikat
Buruh Perkebunan) ketika menjadi buruh di perkebunan Batu
Lokong, milik PT Londan Sumatera yang berbatasan dengan
perkebunan Baturata. Selama ini ia hanya wajib lapor, tak pernah
ditahan.
"Saya memang ikut ramai-ramai bersama teman-teman. Habis,
tanaman saya juga dirusak," katanya. Setelah ditegasi petani
berkunjung ke gedung DPRD Deli Serdang, 14 Januari lalu Kabul
ditangkap lagi. Tapi dua hari kemudian ia dilepas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini