Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Sisa tentara Jepang

Asal mula areal tanah yang disengketakan oleh penduduk kampung kongsi lima dengan pt mara jaya. penduduk digugat, ada yang sudah mendapat ganti rugi.

26 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PARA petani Kongsi Lima, sudah sejak 1953 lalu, menggarap areal yang menjadi sengketa itu. Luasnya 162 Ha. Semula berupa hutan. Pada 1943 balatentara Jepang merambahnya -- dan menanaminya padi, kacang, guna keperluan tentaranya. Setelah Jepang angkat kaki, rakyat memanfaatkannya. Areal itu memang rawan karena berbatasan langsung dengan perkebunan karet milik asing, Sandilands Buttery & Co. Di zaman Soekarno mengganyang nekolim, 1962, perkebunan asing itu mengubah namanya menjadi PT Mara Djaja (kini Mara Jaya). PT itu kemudian mendapat hak guna usaha (HGU) dari Menteri Pertanian dan Agraria Agustus 1962 lalu seluas 1.030 ha di areal eks Jepang tadi. Padahal areal yang tersedia, serti yang disetujui Kepala Inspeksi Agraria Sumatera Utara, hanya 802 saja. Maka pihak perkebunan pun lantas menoleh areal 162 ha yang sudah didiami 90 KK penduduk. Penduduk bertahan. Enam tahun kemudian, Oktober 1968, Agraria Sumatera Utara menetapkan areal perkebunan Mara Jaya seluas 1030 ha. Dengan begitu areal 162 ha milik penduduk pun dengan sah dikuasai pihak perkebunan. Desember 1969, Bupati Deli Serdang dan Panitia landreform Deli Serdang menyetujui pembayaran ganti rugi tanaman penduduk. Pengadilan "Kami sudah bayar ganti rugi tahun 1969 itu," ujar Teuku Syamsul Bahri, Direksi PT Mara Jaya pekan lalu di rumahnya, Jalan Diponegoro, Medan, "tapi belakangan tanah itu mereka garap lagi." Ganti rugi itu memang dibenarkan Paeran, salah seorang pemuka Kongsi Lima. "Tapi caranya dengan kekerasan. Kami ditangkapi dulu, lalu dibawa ke kantor polisi Bangun Purba," ungkap Paeran. Cerita Paeran: waktu itu, sementara para lelaki ditahan polisi, petugas perkebunan membongkar rumah dan tanaman penduduk sampai 3 hari. Setelah selesai, penduduk yang ditahan dilepas. Mereka disuruh menuju kantor perkebunan, katanya untuk mendapat ganti rugi rumah dan tanaman. Di antara mereka, hanya Paimun, kepala lorong, yang mendapat ganti rugi paling besar yaitu Rp 30.000. Yang lain rata-rata cuma Rp 3.000 saja. Pihak perkebunan kemudian menyatakan akan menampung penduduk yang tergusur, tapi ternyata tidak dipenuhi. Karena ternyata PT Mara Jaya menunjuk areal yang sudah berpenghuni. "Akibatnya kami berpencar di beberapa desa, menumpang di rumah famili," tutur Paeran lagi. Tapi memang ada beberapa orang yang kebagian di areal penampungan yang 50 ha itu. Tapi pada 1977, PT Mara Jaya menggugat penduduk lewat pengadilan. Tuduhannya: areal penampungan yang 50 ha itu sudah berkembang menjadi 63 ha karena penduduk menggarap tanah-tanah sekitarnya. Dan pengadilan memenangkan gugatan itu. "Herannya pengadilan memutus vonis tapi areal yang dimaksud tidak jelas," kata Paeran lagi dengan lancar. Pada tahun yang sama penduduk balik menggugat Mara Jaya lewat pengadilan mengenai areal 162 ha yang dicaplok perkebunan itu. Gugatan sudah masuk tapi penduduk yang menggugat tak pernah dipanggil pengadilan. Usaha lain ditempuh mengadu kepada bupati, Muspida, dinas agraria, DPRD. Hasilnya: berkali-kali mereka dipanggil ke kantor polisi, Kodim, Korem. Dan soal tanah itu tak kunjung beres-beres juga. Padahal areal 162 ha itu jelas berada di luar areal perkebunan. Peta konsesi perkebunan yang dikeluarkan Direktorat Agraria Sum-Ut mencantumkan areal tersebut berada di luar konsesi. Begitu pula bunyi surat Kepala Desa, Camat dan laporan tim agraria yang pernah meninjau ke sana. Juga ada surat dari PT Mara Jaya yang menyatakan bahwa areal 162 ha itu memang benar di luar konsesi perkebunan mereka sesuai dengan HGU. Surat itu bernomor BR/X/39/64, 12 September 1964. Ditujukan kepada Camat Bangun Purba, surat itu ditandatangani oleh salah seorang pimpinan Mara Jaya, Choo Kim Huat, lengkap dengan stempel perusahaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus