TAK lama setelah kunjungannya ke Bali, Presiden Ronald Reagan mengumbar janji pada Indonesia akan memprioritaskan peluncuran satelit Palapa B21 - walau ia tak berkata, kapan peluncuran itu akan terjadi. Di tengah rentetan kegagalan peluncuran roket-roket pengorbit satelit, pernyataan itu terdengar aneh. Bisakah janji itu dipegang? Semua itu bergantung pada program yang digariskan direktur baru NASA (National Aeronautics and Space Administration) James C. Fletcher, yang dilantik Senin pekan lalu. Direktur baru yang tampaknya jadi andalan Reagan itu dalam waktu singkat sudah segera menunjukkan sikap-sikap yang tegas. Fletcher, pada hari pertama berkantor, segera mengutarakan akan menargetkan peluncuran pesawat ulang alik pada Juli tahun depan. Ia orang pertama yang berani mengemukakan rencana semacam itu. Sejak kegagalan pesawat ulang alik Challenger, Januari lalu, yang menewaskan tujuh astronaut, tak ada satu pun pernyataan resmi berani berpaling pada peluncuran pesawat ulang alik. Fletcher memang orang yang sangat mengenal program pesawat ulang alik karena ia bukan orang baru di lingkungan NASA. Tahun 1971 ia diangkat Presiden Richard Nixon menjadi Direktur NASA. Ketika itu, ia sudah mengemukakan secara tegas program pesawat ulang alik yang diluncurkan dengan roket - terbang seperti pesawat biasa dan mendarat di landasan keras di darat. Ia, waktu itu, juga optimistis, pesawat ulang alik akan bisa membawa teknisi untuk dipekerjakan di laboratorium ruang angkasa. "Melihat perkembangan teknologi sekarang, program itu akan bisa dilaksanakan dalam waktu enam tahun mendatang," katanya pada 1971 itu. Dan ia benar. Pada masa jabatannya, program pesawat ulang alik memasuki tahap realisasi. Sebagian besar kemajuan NASA memang berada di tangan Fletcher, yang dinilai oleh banyak kalangan sangat ahli di bidang fisika dan administrasi. Ia memang seorang doktor dalam bidang fisika dan matematika, dan juga jutawan serta pengusaha ulung di bidang bisnis ruang angkasa. James Fletcher meninggalkan NASA pada 1977. Setelah itu, NASA sebenarnya hanya tinggal mengembangkan gagasan-gagasannya. Namun, datanglah kenahasan itu: kegagalan Challenger. Di sisi lain, juga terjadi krisis kepemimpinan. James Beggs, Direktur NASA pada saat kecelakaan terjadi, mengundurkan diri karena khawatir dituduh korupsi - bukan dalam kegagalan Challenger. Kemudian diangkat penjabat direktur, William Graham. Dan keadaan NASA tampaknya menjadi semakin parah: roket tak berawak Titan meledak di landasan, dan roket Delta terpaksa diledakkan di udara, karena melenceng tak terkontrol. Kegagalan itu hampir saja berlanjut menjadi lebih gawat. Pada 22 Mei ini sebenarnya NASA merencanakan akan meluncurkan roket Atlas-Centaur - juga tak berawak. Namun, peluncuran itu segera dibatalkan. Tak jelas apakah pembatalan itu prakarsa Fletcher atau bukan. Gagalnya Challenger memang membuahkan titik silang yang membingungkan AS. Di satu sisi, negara itu punya program peluncuran satelit yang sangat padat, khususnya satelit militer. Di sisi lain AS kehilangan media pengorbit, pesawat ulang alik itu. Apa ikhtiar yang kemudian ditempuh? Usaha yang kemudian muncul: berpaling ke belakang. Gagalnya Delta mengungkapkan ikhtiar yang akhirnya buntu itu. Dari hasil penelitian terlihat, tak lama setelah diluncurkan alat perekam mencatat adanya dua loncatan pendek listrik - tepatnya 71 detik setelah peluncuran. Kejutan ini kemudian menggerakkan sistem pengaman, yang selanjutnya mematikan secara otomatis mesin utama roket. Akibatnya, Delta meluncur melenceng tanpa kontrol, dan stasiun pengendali di bumi terpaksa meledakkannya. William Russell, manajer proyek Delta ini, hingga kini masih belum bisa memastikan bagaimana hal itu bisa terjadi. Sistem pengaman yang bekerja berdasar arus listrik memang ada. Tapi sistem ini didesain untuk mematikan mesin di tingkat pertama roket untuk menghindari kebakaran. Mulanya memang tersebar isu, loncatan listrik dan matinya mesin utama terjadi akibat sabotase yang dioperasikan dari jarak jauh melalui gelombang radio. Namun, Lawrence J. Ross, salah seorang anggota peneliti kegagalan Delta, mengesampingkan kemungkinan itu. Dan alasan yang lebih tepat adalah instalasi listrik Delta ternyata didesain tahun 1960-an, dan dipasang kembali hampir tanpa modifikasi. Instalasi yang sama dipasangkan pula pada Titan dan Atlas-Centaur. Mengemukakan analisanya, Lawrence J. Ross berpendapat, NASA sebaiknya meninggalkan pikiran meluncurkan ketiga jenis roket tak berawak itu. Alasannya jelas, roket-roket itu sudah tergolong kuno, tidak mengalami pengembangan dan tidak lagi bisa diandalkan - itulah ikhtiar buntu tersebut. Maka, usaha yang tersisa adalah keberanian membicarakan kemungkinan pengaktifan kembali pesawat ulang alik, termasuk menghitung dengan cermat pembiayaannya. Dan itulah program Fletcher. Kepada Kongres, direktur baru ini sudah mengajukan dana perbaikan desain roket peluncur sebesar US$ 250 juta, dan dana pembuatan mesin baru pesawat ulang alik sebesar US$ 150 juta. Total, rencana Fletcher diperkirakan bernilai US$ 500 juta. Di samping itu, terbetik pula berita, Fletcher akan menutup program peluncuran ulang aliknya untuk penerbangan komersial, dan akan mengutamakan satelit militer. Ia tampaknya pesimistis bersaing dengan Badan Antariksa Eropa, Jepang, dan Cina, yang jauh lebih siap meluncurkan satelit-satelit komunikasi. Di sinilah janji Reagan kepada Indonesia bergantung. Bisakah Reagan memaksa, bila Fletcher menolak meluncurkan satelit komunikasi Palapa B2P? Jim Supangkat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini