Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum
Peledakan Mabes Polri

Berita Tempo Plus

'Bom' Lain di Markas Polisi

Anang Sumpena, terdakwa pengebom Mabes Polri, mencabut semua pengakuannya. Ia merasa diperalat para bosnya.

16 November 2003 | 00.00 WIB

'Bom' Lain di Markas Polisi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

PENGADILAN Negeri Jakarta Selatan di Jalan Ampera, dua pekan lalu, geger. Ajun Komisaris Anang Sumpena, polisi yang dituduh mengebom Wisma Bhayangkari di Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta Selatan, "bernyanyi" walaupun terdengar sumbang. Ia menyangkal sebagai pelaku peledakan. "Pak, saya bukan pelakunya. Saya hanya dijadikan korban para jenderal," katanya di depan majelis hakim.

Lelaki 34 tahun ini mengaku cuma korban rekayasa, diposisikan seolah-olah sebagai pelaku peledakan yang terjadi pada 3 Februari silam. Kisahnya, sebelum disidik, Anang dipertemukan dengan beberapa petinggi Polri pada 15 Februari lalu di salah satu ruangan di Polda Metro Jaya. Mereka, menurut Anang, mengiming-imingi dirinya. Dia tak akan dipecat dari korps baret cokelat meskipun telah desersi selama dua tahun. Anang cuma dibui selama 8 bulan, setelah itu akan mendapat jabatan di Polda Metro Jaya, mengurusi peralatan asal Australia. Adik perempuannya pun akan dimasukkan ke Polwan. Syaratnya, asal dia mau mengaku sebagai pelaku pengeboman. "Setelah saya timbang-timbang tawaran itu menguntungkan, makanya saya terima," kata Anang.

Terdakwa juga kasihan dengan korpsnya. "Sebab, sudah sampai batas waktu tertentu, polisi belum menemukan tersangkanya. Padahal Presiden sudah minta pimpinan Polri menangkap pengebomnya," ujarnya. Saat kejadian, Anang sendiri mengaku sedang bermain Play-Station di rumahnya di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, kegiatan yang ditekuni selama desersi. Katanya, "Saya tahu ada bom meledak dari pacar saya."

Belakangan kekecewaan menghinggapi Anang. Alih-alih janji itu dipenuhi, ia malah dijerat dengan Undang-Undang Anti-Terorisme dengan ancaman hukuman yang berat. Ia pun mengaku menyesal mau berkompromi dan menandatangani berita acara pemeriksaan.

Nyanyian Anang langsung disambar pengacaranya, Parsiholan. Ia meminta majelis hakim menghadirkan para petinggi Polri yang disebutkan Anang. Namun permintaan itu ditolak hakim dengan alasan tak ingin sidang ini berlarut-larut. "Pemeriksaan di sidang sudah mencukupi," kata Ida Bagus Putu Madeg, salah seorang hakim.

Jaksa pun kompak. Tanpa kehadiran para petinggi Polri, menurut Jaksa Ramos, alat bukti dan saksi yang ada sudah cukup. Alat buktinya ada sidik jari terdakwa, detektor, petunjuk yang lain. Saksinya ada 22 orang. "Terdakwa punya hak untuk mengaku atau tidak. Ramos juga mengatakan, dalam persidangan, yang dicari kebenaran material, bukan hanya pengakuan terdakwa.

Pertemuan antara Anang dan para petinggi Polri, menurut Ramos, memang pernah terjadi. Tapi tak seorang pun saksi yang hadir dalam pertemuan itu menyatakan adanya kesepakatan seperti diungkapkan oleh Anang. Tidak ada pula bujuk rayu, kata Ramos, yang terjadi hanya ngobrol dan tanya-jawab biasa.

Direktur I Kejahatan Trans-Nasional Polri, Brigadir Jenderal Aryanto Sutadi, pun mengakui pernah bertemu dan berbicara dengan terdakwa. "Saya memang pernah mengatakan padanya, akui saja yang kamu tahu. Bicara jujur bisa meringankan hukumanmu. Tapi, kalau bicara berbelit-belit, itu akan mempersulit dirimu sendiri," katanya. Namun ia membantah soal janji-janji, termasuk memasukkan adiknya ke Polwan. "Mana bisa saya memasukkan orang jadi Polwan. Saya tidak memiliki ada kewenangan," katanya.

Selain Aryanto, Kepala Polda Metro Jaya Irjen Makbul Padmanagara juga disebut-sebut Anang ikut dalam pertemuan itu. Hanya, ia pun membantah. "Anda harus lebih percaya kepada siapa?" kata Makbul kepada Muchamad Nafi dari Tempo News Room.

Umumnya petinggi kepolisian enggan berkomentar. Begitupun Kepala Badan Reserse dan Kriminal Polri, Komisaris Jenderal Erwin Mappaseng, yang juga disebut hadir dalam pertemuan dengan Anang. Dia tak peduli terhadap pengakuan Anang. Ketika ditemui Istiqomatul Hayati dari Tempo News Room, Erwin hanya bilang, "Gini saja, terserah dia mau ngomong apa."

Dan "bom" lain yang dilempar Anang itu dibiarkan tak terusut.

Ahmad Taufik, Sapto Yunus, dan Endri Kurniawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus