ULANG tahun ke-5 Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) telah
dirayakan penuh semarak di kompleks pertanian, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan. Puluhan stand berjejer seperti perkampungan
kecil di sana, pertengahan bulan ini.
Masing-masing berlomba menawarkan suatu produk pertanian. Atau
alat yang relevan dengan kerja mengolah tanah dan air ini. Ada
promosi traktor Jepang. Ada juga gadis-gadis Karawang menumbuk
padi dengan alu khas Karawang dari kayu dengan gerigi pemisah
batang padi -- pemandangan yang di tempat asalnya sendiri nyaris
terkikis huller.
Di Stand Jamu, Nyonya Tien Soeharto dan Presiden yang berkunjung
ke Pasar Minggu mampir mereguk minuman tradisionil Jawa,
diiringi keplok hadirin. Pak Harto sendiri, agak lama mampir di
sebuah stand yang dijaga seorang berperawakan tinggi, gemuk, dan
berkulit sawo matang.
Moh. Djufri, 44 tahun, begitu nama laki-laki itu, adalah seorang
kader HKTI cabang Solo yang gemar dan trampil menciptakan
alat-alat pemudah kerja petani. Berbagai jenis alat itulah yang
dipamerkan di stand Djufri -- dengan etiket nama yang aneh-aneh
pula.
Ada yang namanya Amuru (Alat Penyiang dan Pemupuk Baru). Ada
Abasti (Alat Pembasmi Tikus), Amuba yang entah singkatan dari
apa lagi, dan beberapa jenis alat lain. Harganya pun tercantum
di sana. Misalnya Amuru Rp 600, Abasti Rp 10 ribu sebuah.
Mahal? "Ah, masih terjangkau oleh petani. Buktinya saya justru
kewalahan memproduksi alat-alat itu. Apalagi saya juga membuat
antene TV," jawab Djufri yang berbaju batik hijau dengan tulisan
HKTI di punggungnya.
Mengaku tak pernah menikmati pendidikan teknik formil -- konon
dia hanya keluaran Sanawiyah (setingkat SMP) kelas 3 --
bengkelnya ada di Kampung Keprabon, Solo. Tapi produksi
alat-alat pertaniannya itu sudah tersebar melalui berbagai
bengkel lainnya di Surakarta.
Hati Trenyuh ....
Dulunya, bengkel M. Djufri di Solo itu hanya dikenal lantaran
produksi antene tevenya. Antara lain berkat bimbingan Prof.
Baiquini, kini Direktur BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional), yang
masih kerabat Djufri.
Adapun banting setirnya ke produksi alat-alat pertanian, baru
timbul setelah kampanye Pemilu 1977. Menurut ceritanya kepada
Suara Merdeka, Moh. Djufri yang menjadi pengawal rombongan
Sultan dan Gubernur Supardjo ke Purwodadi. Ditengah hiruk-pikuk
kampanye, Djufri menyaksikan seorang petani sedang menabur
pupuk di sawah. "Hati saya trenyuh, kok petani itu kerjanya
berat benar, dan tidak praktis," begitu dia menuturkan kembali
pelatuk ilhamnya mencipta alat-alat pertanian kepada Said
Muchsin dari TEMPO.
Apa yang tidak praktis? "Saya melihat cara petani itu menabur
pupuk yang tidak tepat. Misalnya pada penanaman tebu. Pupuk itu
selalu tak persis jatuh di lubang lantaran cara penaburan yang
begitu saja. Makanya saya lantas mencoba membikin alat yang
sekaligus melubangi tanah, dan mengisinya dengan pupuk."
Taring
Alat itulah yang kemudian dinamakannya sendiri 'Amuru' (alat
penyiangan dan pemupukan baru). Dengan pertolongan alat itu,
pemupukan satu hektar tanah cukup memerlukan 360 kg urea saja.
Tanpa Amuru bisa habis sampai 460 kg, sebab 1 kwintal pupuk
tercecer percuma. Juga dosis pemupukan sudah tertentu, sesuai
dengan isi bak pupuk di atas sodok pelubang dan pemupuk tanah
itu.
Amuru ini terus disempurnakan serta dibuat berbagai variasinya.
Terakhir dia memperkenalkan 'Amuru Taring (Amuru Tanah Kering)
yang beroda gigi, khusus untuk mengolah tanah kering. Sekaligus
memotong pucuk akar padi agar tanaman tumbuh lebih segar.
Istilah Jawanya, di"dangir". Amuru Taring yang beroda cangkul
itu, dan cocok untuk penanaman padi gogorancah yang tak haus
air, ada juga dipamerkan di Pasar Minggu.
Berbarengan dengan Amuru, Djufri juga memikirkan hama tikus yang
sering mengganyang tanaman petani. Maka diciptakannyalah alat
penyemprot tikus atau Abasti (alat pembasmi tikus) yang
berbahan baku sabut dan belerang. Dinyatakan, bahwa dengan alat
itu, rakyat salah satu kelurahan di Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah berhasil membunuh 4000 ekor tikus dalam waktu yang
singkat saja. Tapi karena Abasti menimbulkan polusi (uap
belerang, yang tak enak baunya bagi manusia), Djufri sedang
memikirkan sistim pemberantasan tikus dengan getaran listrik.
Harapannya, dengan menggunakan batu baterai senter saja, tikus
dalam areal satu hektar dapat dimusnahkan dengan sendirinya.
'Radar' pembasmi tikus itu belum dapat dipamerkan di Pasar
Minggu.
Juga suatu rancangannya yang lain tak tampak di pameran HKTI
itu. Yakni kincir angin pembangkit tenaga listrik seperti yang
tegak di depan rumahnya di Jalan Ronggowarsito 27, Solo. Kincir
angin bermerek "Modes' (Modernisasi Desa, slogan pembangunan
bekas Gubernur Jawa Tengah Moenadi) itu dapat membangkitkan
listrik 3000 watt. Mengingat kekuatan angin tidak konstan,
kincir itu dilengkapi peralatan lain -- sejenis accumulator --
yang dapat menyimpan tenaga listrik sampai 3 hari lamanya.
"Sayang pembiayaan alat ini cukup mahal, hingga untuk
meneruskannya perlu cukong," begitu Djufri pernah dikutip
wartawan Suara Merdeka dari Semarang.
Peralatan Percetakan
Ketua DPP HKTI, drs Heru Suparto dalam wawancaranya dengan TEMPO
memang cukup membanggakan ciptaan-ciptaan kader HKTI Solo itu.
Tapi untuk menyediakan dana Riset & Pengemhangan (R & D) bagi
orang yang trampil ini belum terfikir oleh HKTI. Selama ini,
Djufri baru berusaha sendiri dibantu adiknya, Choiri, yang
pandai membuat peralatan percetakan.
Selama pameran di Pasar Minggu ada beberapa pengusaha swasta
yang menyatakan minat menjadi penyalur barang-barang buatan
Djufri. Tapi dia belum berminat memasarkan alat-alat perranian
itu ke luar kota. Mengapa? "Saya belum puas. Masih saya cari
kelemahan-kelemahannya dan bagaimana memperbaikinya," begitu
alasan lulusan madrasah ini. Terus terang diakuinya bahwa daya
tahan alat-alat itu "paling banter 5 tahun."
Namun mungkin saja, Unit Teknologi Desa BUTSI, yang pernah punya
rencana membangun atu pusat 'litbang' teknologi Desa di
Surakarta, mau membantu kader HKTI ini. Sekalian kerja sama
dengan peminat-peminat Teknologi Desa lainnya, seperti ir Anton
Sudjarwo di Yogya atau Dr Filino Harahap dan anak buahnya di
ITB. Sayangnya, rencana BUTSI itu kini tampaknya pudar....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini