Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jufri yang trampil

Moh. djufri, 44, kader hkti cabang solo, berhasil memproduksi alat-alat pertanian yang meringankan pekerjaan petani. pemasarannya belum sampai keluar kota karena ia ingin meningkatkan mutunya. (ilt)

24 Juni 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ULANG tahun ke-5 Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) telah dirayakan penuh semarak di kompleks pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Puluhan stand berjejer seperti perkampungan kecil di sana, pertengahan bulan ini. Masing-masing berlomba menawarkan suatu produk pertanian. Atau alat yang relevan dengan kerja mengolah tanah dan air ini. Ada promosi traktor Jepang. Ada juga gadis-gadis Karawang menumbuk padi dengan alu khas Karawang dari kayu dengan gerigi pemisah batang padi -- pemandangan yang di tempat asalnya sendiri nyaris terkikis huller. Di Stand Jamu, Nyonya Tien Soeharto dan Presiden yang berkunjung ke Pasar Minggu mampir mereguk minuman tradisionil Jawa, diiringi keplok hadirin. Pak Harto sendiri, agak lama mampir di sebuah stand yang dijaga seorang berperawakan tinggi, gemuk, dan berkulit sawo matang. Moh. Djufri, 44 tahun, begitu nama laki-laki itu, adalah seorang kader HKTI cabang Solo yang gemar dan trampil menciptakan alat-alat pemudah kerja petani. Berbagai jenis alat itulah yang dipamerkan di stand Djufri -- dengan etiket nama yang aneh-aneh pula. Ada yang namanya Amuru (Alat Penyiang dan Pemupuk Baru). Ada Abasti (Alat Pembasmi Tikus), Amuba yang entah singkatan dari apa lagi, dan beberapa jenis alat lain. Harganya pun tercantum di sana. Misalnya Amuru Rp 600, Abasti Rp 10 ribu sebuah. Mahal? "Ah, masih terjangkau oleh petani. Buktinya saya justru kewalahan memproduksi alat-alat itu. Apalagi saya juga membuat antene TV," jawab Djufri yang berbaju batik hijau dengan tulisan HKTI di punggungnya. Mengaku tak pernah menikmati pendidikan teknik formil -- konon dia hanya keluaran Sanawiyah (setingkat SMP) kelas 3 -- bengkelnya ada di Kampung Keprabon, Solo. Tapi produksi alat-alat pertaniannya itu sudah tersebar melalui berbagai bengkel lainnya di Surakarta. Hati Trenyuh .... Dulunya, bengkel M. Djufri di Solo itu hanya dikenal lantaran produksi antene tevenya. Antara lain berkat bimbingan Prof. Baiquini, kini Direktur BATAN (Badan Tenaga Atom Nasional), yang masih kerabat Djufri. Adapun banting setirnya ke produksi alat-alat pertanian, baru timbul setelah kampanye Pemilu 1977. Menurut ceritanya kepada Suara Merdeka, Moh. Djufri yang menjadi pengawal rombongan Sultan dan Gubernur Supardjo ke Purwodadi. Ditengah hiruk-pikuk kampanye, Djufri menyaksikan seorang petani sedang menabur pupuk di sawah. "Hati saya trenyuh, kok petani itu kerjanya berat benar, dan tidak praktis," begitu dia menuturkan kembali pelatuk ilhamnya mencipta alat-alat pertanian kepada Said Muchsin dari TEMPO. Apa yang tidak praktis? "Saya melihat cara petani itu menabur pupuk yang tidak tepat. Misalnya pada penanaman tebu. Pupuk itu selalu tak persis jatuh di lubang lantaran cara penaburan yang begitu saja. Makanya saya lantas mencoba membikin alat yang sekaligus melubangi tanah, dan mengisinya dengan pupuk." Taring Alat itulah yang kemudian dinamakannya sendiri 'Amuru' (alat penyiangan dan pemupukan baru). Dengan pertolongan alat itu, pemupukan satu hektar tanah cukup memerlukan 360 kg urea saja. Tanpa Amuru bisa habis sampai 460 kg, sebab 1 kwintal pupuk tercecer percuma. Juga dosis pemupukan sudah tertentu, sesuai dengan isi bak pupuk di atas sodok pelubang dan pemupuk tanah itu. Amuru ini terus disempurnakan serta dibuat berbagai variasinya. Terakhir dia memperkenalkan 'Amuru Taring (Amuru Tanah Kering) yang beroda gigi, khusus untuk mengolah tanah kering. Sekaligus memotong pucuk akar padi agar tanaman tumbuh lebih segar. Istilah Jawanya, di"dangir". Amuru Taring yang beroda cangkul itu, dan cocok untuk penanaman padi gogorancah yang tak haus air, ada juga dipamerkan di Pasar Minggu. Berbarengan dengan Amuru, Djufri juga memikirkan hama tikus yang sering mengganyang tanaman petani. Maka diciptakannyalah alat penyemprot tikus atau Abasti (alat pembasmi tikus) yang berbahan baku sabut dan belerang. Dinyatakan, bahwa dengan alat itu, rakyat salah satu kelurahan di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah berhasil membunuh 4000 ekor tikus dalam waktu yang singkat saja. Tapi karena Abasti menimbulkan polusi (uap belerang, yang tak enak baunya bagi manusia), Djufri sedang memikirkan sistim pemberantasan tikus dengan getaran listrik. Harapannya, dengan menggunakan batu baterai senter saja, tikus dalam areal satu hektar dapat dimusnahkan dengan sendirinya. 'Radar' pembasmi tikus itu belum dapat dipamerkan di Pasar Minggu. Juga suatu rancangannya yang lain tak tampak di pameran HKTI itu. Yakni kincir angin pembangkit tenaga listrik seperti yang tegak di depan rumahnya di Jalan Ronggowarsito 27, Solo. Kincir angin bermerek "Modes' (Modernisasi Desa, slogan pembangunan bekas Gubernur Jawa Tengah Moenadi) itu dapat membangkitkan listrik 3000 watt. Mengingat kekuatan angin tidak konstan, kincir itu dilengkapi peralatan lain -- sejenis accumulator -- yang dapat menyimpan tenaga listrik sampai 3 hari lamanya. "Sayang pembiayaan alat ini cukup mahal, hingga untuk meneruskannya perlu cukong," begitu Djufri pernah dikutip wartawan Suara Merdeka dari Semarang. Peralatan Percetakan Ketua DPP HKTI, drs Heru Suparto dalam wawancaranya dengan TEMPO memang cukup membanggakan ciptaan-ciptaan kader HKTI Solo itu. Tapi untuk menyediakan dana Riset & Pengemhangan (R & D) bagi orang yang trampil ini belum terfikir oleh HKTI. Selama ini, Djufri baru berusaha sendiri dibantu adiknya, Choiri, yang pandai membuat peralatan percetakan. Selama pameran di Pasar Minggu ada beberapa pengusaha swasta yang menyatakan minat menjadi penyalur barang-barang buatan Djufri. Tapi dia belum berminat memasarkan alat-alat perranian itu ke luar kota. Mengapa? "Saya belum puas. Masih saya cari kelemahan-kelemahannya dan bagaimana memperbaikinya," begitu alasan lulusan madrasah ini. Terus terang diakuinya bahwa daya tahan alat-alat itu "paling banter 5 tahun." Namun mungkin saja, Unit Teknologi Desa BUTSI, yang pernah punya rencana membangun atu pusat 'litbang' teknologi Desa di Surakarta, mau membantu kader HKTI ini. Sekalian kerja sama dengan peminat-peminat Teknologi Desa lainnya, seperti ir Anton Sudjarwo di Yogya atau Dr Filino Harahap dan anak buahnya di ITB. Sayangnya, rencana BUTSI itu kini tampaknya pudar....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus