BARU-BARU ini sebuah forum ilmiah telah mengusulkan agar
agri-bisnis dikembangkan di Indonesia. Yang dimaksudkan dengan
kata tersebut adalah sistim bertani dalam bentuk perusahaan
besar, yang menggunakan modal banyak dan mekanisasi pertanian
yang intensif, menggunakan tanah-tanah pertanian yang luas dan
hasilnya dimaksudkan untuk menjadi komoditi komersiil yang
umumnya diekspor ke luar negeri.
Banyak jenis usaha pertanian yang dapat dimasukkan ke dalam
kategori ini. Susan George dalam How The Other Half Dies
menceritakan secara panjang lebar bagaimana agri-bisnis di
kebanyakan negara berkembang mengambil bentuk perusahaan
multi-nasional dengan modal raksasa yang meng-eksploatir
tanah-tanah luas, dan buruh tani berupah rendah, untuk
memprodusir hasil pertanian yang akan dijadikan bahan konsumsi
tinggi yang bersifat luks untuk keperluan para konsumen di
negara yang telah maju industrinya.
Tanah-tanah pertanian terbaik, yang seharusnya digunakan untuk
mencukupi kebutuhan pangan pokok di dalam negeri, dialihkan oleh
agri-bisniss ini untuk memenuhi konsumsi sekunder bagi mereka
yang tidak begitu memerlukan. Sebaliknya, negara-negara yang
kekurangan pangan pokok itu harus meng-impor gandum atau beras
yang mereka perlukan dari negara yang telah maju industrinya
itu. Suatu proses pertanian komersiil yang janggal, yang membuat
menderita rakyat kecil di negara berkembang, dan hanya
menguntungkan sejumlah importir yang memperoleh pelayanan
istimewa dari pemerintah belaka.
Mata rantai agri-bisniss berbentuk koperasi multi-nasional, ini
telah mencengkamkan kukunya ke banyak negara berkembang,
terbukti dari keseragaman para pemilik modal yang menggunakan
merek-merek dagang seperti Milo, Nestle, Dole, Delmonte, United
Banana, dan seterusnya. Mereka menguasai pasaran dunia, mendidik
rakyat yang belum mampu untuk memimpikan konsumsi makanan yang
mewah, mengambil tanah-tanah pertanian terbaik untuk usaha
mereka, membelokkan pendaya-gunaan dana pembangunan yang sudah
terbatas itu untuk keperluan infra-struktur yang mereka
butuhkan, dan membuat semakin tinggi laju proses pemiskinan di
sebagian besar negara dunia.
Jenis Lain
Kalau agri-bisniss yang semacam ini yang kita undang datang ke
negeri kita, banyak keberatan harus diajukan pada ide tersebut.
Pasal 33 UUD 1945 jelasjelas menolak kehadirannya yang
eksploatatif itu. Pola pembangunan kita yang mengutamakan
pemenuhan kebutuhan pangan pokok tidak memungkinkan penggunaan
tanah-tanah pertanian di Jawa untuk korporasi agri-bisniss
multi-nasional itu. Penempatannya di luar Jawa, terutama di
jalur Trans' Sumatera Highway, akan mendesak dan bahkan dapat
menggagalkan penggunaan lokasi yang direncanakan bagi pemukiman
para transmigran dan penciptaan perkebunan rakyat secara massal.
Di pihak lain, agri-bisniss berbentuk korporasi multi-nasional
itu akan semakin membuat parah kesenjangan antara si miskin dan
si kaya yang telah mulai terasa di negeri kita sekarang ini.
Keuntungan yang diperoleh darinya, seperti derasnya arus modal
yang masuk dan input ketrampilan teknis yang dibawakan dari
luar, tidaklah seimbang dengan kerugian besar yang
ditimbulkannya bagi kehidupan bangsa kita.
Ada jenis agri-bisniss lain yang dapat ditumbuhkan di sini.
Jenis itu adalah berbagai macam estates yang dikelola oleh
perusahaan negara, seperti idee: rice estate yang dicanangkan
oleh Ibnu Sutowo semasa masih menjadi dirut Pertamina dahulu.
Puluhan ribu hektar tanah akan diolah secara mekanis untuk
memprodusir hasil-hasil pertanian tertentu, dapat berupa
kebutuhan pangan pokok, dapat pula tidak. Keberatan utama bagi
usaha seperti ini adalah peng-alihan modal yang sudah terbatas
itu dari usaha lain-lain yang memang benarbenar diperlukan, yang
mampu menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin. Keberatan lainnya
adalah perbedaannya yang cukup tajam dengan gagasan Presiden
Suharto untuk mengajak koperasi membeli saham
perusahaan-perusahaan perkebunan yang sekarang dimiliki negara.
Kalau perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada saja masih belum
mempunyai modal cukup untuk memulihkan kapasitas produksi yang
mereka capai sebelum Perang Dunia II, semasa mereka masih
berstatus perusahaan swasta asing, bagaimana mungkin
dialokasikan modal besar bagi agri-bisniss dari jenis estates
ini?
Kalau demikian, tinggal ada satu jenis agri-bisniss yang dapat
dikembangkan di sini, yaitu meneruskan pengembangan
perusahaan-perusahaan perkebunan kita, sebelum nanti pada
akhirnya dialihkan kepada pemilikannya oleh koperasi. Pada saat
ini, hidup perkoperasian kita belum cukup matang untuk
penampungan perkebunan-perkebunan negara yang ada, baik dari
aspek modal, ketata-laksanaan, organisasi produksi dan
pemasarannya sekali, maupun dari aspek ketrampilan teknik
berproduksinya. Koperasi harus menjadi kuat sebelum menerima
tugas melanjutkan usaha perkebunan. Karenanya, sebelum masa itu
tercapai, layaklah kalau perusahaan-perusahaan perkebunan yang
ada dibina dan dikembangkan sebagai jenis agri-bisniss yang
sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kita. Sedangkan di luar itu,
marilah upaya di bidang pertanian kita pusatkan pada pemenuhan
kebutuhan pangan pokok oleh rakyat, dengan tidak
mengenyampingkan usaha sampingan mereka seperti horticultura dan
sebagainya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini