2 JUNI yang lalu, Raja Khalid dari Arab Saudi datang ke Jenewa.
Bukan untuk mencari senjata, tetapi untuk meresmikan pembukaan
mesjid pertama di Jenewa, bahkan boleh dikatakan yang pertama di
Swiss. Sebelumnya, di Zurich juga sudah ada sebuah mesjid kecil.
Tetapi yang di Jenewa ini merupakan yang pertama yang berdiri
sendiri sebagai bangunan mesjid dengan arsitekturnya yang khas.
Rumah ibadat yang terletak di Jalan Colladon itu dirancang oleh
Osman Gurdogan, seorang arsitek Swiss keturunan Turki. Dapat
dimengerti kalau pengaruh gaya Turki-Byzantium sangat dominan
pada arsitekturnya. Dibangun sejak 1975, mesjid ini sanggup
menampung 350 jemaah. Tidak besar menurut ukuran kita --bahkan
lebih kecil dari misalnya Masjid Washington apa lagi rencana
Pusat Islam di New York. Toh bagi masyarakat Jenewa yang umumnya
"peka" terhadap masalah agama, hal itu cukup merangsang
suara-suara.
Kepekaan agama itu terasa dengan perlunya Dewan Gereja di Jenewa
mengingatkan kepada masyarakat: untuk "tidak perlu gelisah."
Karena Jenewa sebagai kota internasional, kata mereka, memang
memerlukannya. Mesjid itu diadakan untuk memberi kesempatan
kepada umat Islam dari berbagai bangsa yang ada di Jenewa untuk
melakukan sembahyang bersama menghadap ke Mekah -- yang terletak
22 derajat ke arah selatan Jenewa. Dan "tidak dimaksud untuk
mengislamkan orang-orang Jenewa," kata seruan itu. Pengumuman
itu juga menegaskan agar mereka menghormati mesjid itu
sebagaimana mereka menghormati gereja ....
Osman Gurdogan, si arsitek, mengatakan bahwa kesulitan pertama
adalah memasukkan arsitektur mesjid itu agar serasi dengan
bangunan di sekitarnya. Kesulitan kedua: bagaimana membuat
kehadiran mesjid, dengan panggilan sembahyang lima waktunya
melalui pengeras suara di menara, tidak membangkitkan sentimen
keagamaan masyarakat sekitar.
Pengeras Suara
Arsitektur mesjid lantas dirancangnya sedemikian rupa agar
harmonis dengan bentuk-bentuk bangunan lingkungan. "Yang penting
nanti kan bagaimana kwalitas orang-orang yang mengisi mesjid
ini," kata Osman kepada wartawan TEMPO di Jenewa.
Meskipun kecil, interior mesjid ini, sebagaimana umumnya
mesjid-mesjid di Dunia Barat, sangat megah. Hiasan dinding gaya
Timur Tengah mengisi seluruh ruang sembahyang, dari lantai
sampai ke atap. Lampu kristal di serambi utamanya, yang juga
merupakan sumbangan dari Arab Saudi, mencapai berat satu ton.
Marbut mesjid ini, yakni pengurus sehari-hari, adalah orang
Indonesia, Basalamah, asal Padang dan sudah 25 tahun menetap di
Jenewa. Selain menjadi marbut, ia juga mengajar agama Islam
kepada anak-anak. Mula-mula memang hanya kepada keluarga
Indonesia, tapi, seperti yang terjadi di Amerika, lama-lama kan
para tetangga Barat sendiri pada datang.
Budi Wibowo, yang juga jadi pengurus mesjid, menuturkan bahwa
shalat Jum'at sudah diselenggarakan di situ. Jemaatnya 200
orang, dan khutbah diberikan dalam bahasa Perancis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini