Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jutaan ton sekam kapiran

Her haerudin mahasiswa atpv (akademi teknik pekerja umum) menulis skripsi tentang pemanfaatan energi kulit padi. dia membuat alat pemanas, dengan memanfaatkan kulit padi yang terbuang percuma.

22 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI api dalam sekam. Pepatah lama itu ada hikmanhnya juga. Sekam atau kulit padi yang dibakar tak menimbulkan nyala berkobar. Tapi panas ditimbulkannya, luar biasa. Maka seorang mahasiswa Akademi Teknik Pekerjaan Umum (ATPU) propinsi Jawa Barat, tergoda hatinya untuk memanfaatkan enerji murahan yang berceceran di desa-desa. "Kalor bakar kulit padi itu cukup tinggi," tulis Her Haerudin dalam skripsi tak bertanggal yang berjudul gamblang: "Pemanfaatan Energi Kulit Padi". Buktinya: batu bata hasil pembakaran dengan sumber enerji kulit padi kadang-kadang sampai berubah bentuk asalnya alias bengkok. Padahal tanah liat atau lempung yang dipakai sebagai bahan baku batu bata baru akan mengalami perubahan bentuk jika dipanaskan atau dibakar sampai temperatur di atas 1400 derajat Celcius. Satu kilo kulit padi dapat menghasilkan kalor bakar yang lebih tinggi dibandingkan dengan kayu bakar biasa. Cuma proses pembakaran sekam itu berjalan lambat, hingga tak timbul bunga api (nyala), kecuali jika tumpukan kulit padi yang tengah terbakar itu tertiup angin. "Mungkin itu sebabnya," demikian Haerudin, "orang tak mau ambil pusing untuk mencoba menggunakan enerji kulit padi, walaupun mereka tahu bahwa kulit padi yang tengah terbakar sangat panas." Mengapa proses pembakaran kulit padi begitu lambat? Menurut Haerudin, bentuk kulit padi ini hampir sama dan kecil-kecil. Maka dalam keadaan tertumpuk akan membentuk susunan yang hampir rapat, hingga zat pembakar O2 yang terdapat dalam udara sukar meresap ke jantung proses pembakaran. Itu sebabnya, kalau pembakaran berkalori tinggi itu mau dipercepat, perlu diatur supaya udara dapat mengalir secara teratur ke tengah tumpukan sekam yang sedang membara. Nah, bertolak dari pengamaan itu lulusan ATPU Jabar itu lantas merancang alat pemanas air dengan bahan bakar kulit padi. Rancangan yang dibuat di bawah asuhan orang-orang LIPI dapat memanaskan airpanas (80ø C) sebanyak 70 liter/jam. Atau 1680 liter sehari, dengan bahan bakar sebanyak 18 kilo kulit padi Konstruksinya seperti dua kotak bersusun. Kotak atas adalah tanki kulit padi, dengan pintu (klep) yang bisa diatur untuk memperderas/memperlambat aliran kulit padi ke kotak bawah. Daripada Terbuang Di kotak bawah itulah pembakaran berlangsung. Kulit padi yang tengah terbakar, memanasi air yang mengalir melalui piya-pipa seperti radiator mobil dari pipa masuk ke pipa keluar yang lebih rendah. Pembakaran di kotak bawan cukup d isulut dengan sepotong clraIlg yang membara, dan pembakaran berhenti dengan sendirinya kalau aliran kulit padi dari bejana atas distop. Pembakaran dapat dipercepat dengan menghembuskan udara ekstra ke kotak bawah. Kotak atas dapat dibuat dari kayu, sedang kotak bawah harus dibuat dari seng atau logam lainnya. Satu-satunya onderdilnya yang agak mahal hanyalah pipa-pipa air dengan kerannya. yang masih dapat dirakit oleh pandai besi di desa. "Kalau orang Amerika mulai menggunakan cahaya matahari sebagai sumber enerji, dan orang Australia membuat gas-bio dari tahi sapi, mengapa kita di Indonesia tak memanfaatkan kulit padi yang kalor bakarnya cukup tinggi?" kata Haerudin. Setiap tahun jutaan ton kulit padi terbuang percuma, karena kurang baik dibuat pupuk pertanian. Dia betul. Kalau produksi beras tiap tahun saja mencapai sekitar 16 juta ton, maka bobot kulit padinya mungkin ada separuhnya: 8 juta ton. Penggunaannya sebagai bahan bakar mungkin baru terbatas pada tungku-tungku pencetakan batu bata. Padahal dengan alat rancangan Haerudin itu, bahan bakar yang hampir tak ada nilainya itu dapat dipakai untuk memasak air, untuk cuci piring, mandi, dan kalau terus dipanasi sampai mendidih, dapat diminum. Sekalian mengurangi eksplosi penyakit karena air kotor (water borne diseases), serta mencegah penggundulan hutan untuk kayu bakar. Impian Haerudin melambung tinggi. Satu waktu, dia ingin melihat munculnya PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) untuk menggunakan bahan bakar kulit padi di daerah yang belum kebagian arus listrik. Hanya sayangnya, satu model (contoh) pun belum dibuatnya. Alasannya yang itu-itu juga: terbentur soal biaya. Berapa ribu rupiah yang diperlukannya untuk membuat satu alat pemanas air itu, sayang tak dibeberkan dalaun skripsinya. Tapi ketimbang ide itu lidatlului orang asing yang nanti menjajakannya ke mari, apakah Pemda Jabar dan PUTL - sebagai induk semang ATPU Jawa Barat -- tak berniat membantu gagasan kreatif yang lahir dari seorang putera Indonesia? Ayoh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus