SEPERTI api dalam sekam. Pepatah lama itu ada hikmanhnya juga.
Sekam atau kulit padi yang dibakar tak menimbulkan nyala
berkobar. Tapi panas ditimbulkannya, luar biasa. Maka seorang
mahasiswa Akademi Teknik Pekerjaan Umum (ATPU) propinsi Jawa
Barat, tergoda hatinya untuk memanfaatkan enerji murahan yang
berceceran di desa-desa.
"Kalor bakar kulit padi itu cukup tinggi," tulis Her Haerudin
dalam skripsi tak bertanggal yang berjudul gamblang:
"Pemanfaatan Energi Kulit Padi". Buktinya: batu bata hasil
pembakaran dengan sumber enerji kulit padi kadang-kadang sampai
berubah bentuk asalnya alias bengkok. Padahal tanah liat atau
lempung yang dipakai sebagai bahan baku batu bata baru akan
mengalami perubahan bentuk jika dipanaskan atau dibakar sampai
temperatur di atas 1400 derajat Celcius.
Satu kilo kulit padi dapat menghasilkan kalor bakar yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kayu bakar biasa. Cuma proses
pembakaran sekam itu berjalan lambat, hingga tak timbul bunga
api (nyala), kecuali jika tumpukan kulit padi yang tengah
terbakar itu tertiup angin. "Mungkin itu sebabnya," demikian
Haerudin, "orang tak mau ambil pusing untuk mencoba menggunakan
enerji kulit padi, walaupun mereka tahu bahwa kulit padi yang
tengah terbakar sangat panas."
Mengapa proses pembakaran kulit padi begitu lambat? Menurut
Haerudin, bentuk kulit padi ini hampir sama dan kecil-kecil.
Maka dalam keadaan tertumpuk akan membentuk susunan yang hampir
rapat, hingga zat pembakar O2 yang terdapat dalam udara sukar
meresap ke jantung proses pembakaran. Itu sebabnya, kalau
pembakaran berkalori tinggi itu mau dipercepat, perlu diatur
supaya udara dapat mengalir secara teratur ke tengah tumpukan
sekam yang sedang membara.
Nah, bertolak dari pengamaan itu lulusan ATPU Jabar itu lantas
merancang alat pemanas air dengan bahan bakar kulit padi.
Rancangan yang dibuat di bawah asuhan orang-orang LIPI dapat
memanaskan airpanas (80ø C) sebanyak 70 liter/jam. Atau 1680
liter sehari, dengan bahan bakar sebanyak 18 kilo kulit padi
Konstruksinya seperti dua kotak bersusun. Kotak atas adalah
tanki kulit padi, dengan pintu (klep) yang bisa diatur untuk
memperderas/memperlambat aliran kulit padi ke kotak bawah.
Daripada Terbuang
Di kotak bawah itulah pembakaran berlangsung. Kulit padi yang
tengah terbakar, memanasi air yang mengalir melalui piya-pipa
seperti radiator mobil dari pipa masuk ke pipa keluar yang lebih
rendah. Pembakaran di kotak bawan cukup d isulut dengan sepotong
clraIlg yang membara, dan pembakaran berhenti dengan sendirinya
kalau aliran kulit padi dari bejana atas distop. Pembakaran
dapat dipercepat dengan menghembuskan udara ekstra ke kotak
bawah.
Kotak atas dapat dibuat dari kayu, sedang kotak bawah harus
dibuat dari seng atau logam lainnya. Satu-satunya onderdilnya
yang agak mahal hanyalah pipa-pipa air dengan kerannya. yang
masih dapat dirakit oleh pandai besi di desa.
"Kalau orang Amerika mulai menggunakan cahaya matahari sebagai
sumber enerji, dan orang Australia membuat gas-bio dari tahi
sapi, mengapa kita di Indonesia tak memanfaatkan kulit padi yang
kalor bakarnya cukup tinggi?" kata Haerudin. Setiap tahun jutaan
ton kulit padi terbuang percuma, karena kurang baik dibuat pupuk
pertanian.
Dia betul. Kalau produksi beras tiap tahun saja mencapai sekitar
16 juta ton, maka bobot kulit padinya mungkin ada separuhnya: 8
juta ton. Penggunaannya sebagai bahan bakar mungkin baru
terbatas pada tungku-tungku pencetakan batu bata. Padahal dengan
alat rancangan Haerudin itu, bahan bakar yang hampir tak ada
nilainya itu dapat dipakai untuk memasak air, untuk cuci
piring, mandi, dan kalau terus dipanasi sampai mendidih, dapat
diminum. Sekalian mengurangi eksplosi penyakit karena air kotor
(water borne diseases), serta mencegah penggundulan hutan untuk
kayu bakar.
Impian Haerudin melambung tinggi. Satu waktu, dia ingin melihat
munculnya PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) untuk menggunakan
bahan bakar kulit padi di daerah yang belum kebagian arus
listrik. Hanya sayangnya, satu model (contoh) pun belum
dibuatnya. Alasannya yang itu-itu juga: terbentur soal biaya.
Berapa ribu rupiah yang diperlukannya untuk membuat satu alat
pemanas air itu, sayang tak dibeberkan dalaun skripsinya. Tapi
ketimbang ide itu lidatlului orang asing yang nanti
menjajakannya ke mari, apakah Pemda Jabar dan PUTL - sebagai
induk semang ATPU Jawa Barat -- tak berniat membantu gagasan
kreatif yang lahir dari seorang putera Indonesia? Ayoh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini