SEMUANYA bermula dari mimpi buruk Ronald Reagan. Di awal masa jabatan kepresidenannya dulu, Reagan sering dihantui bayangan bahwa rudal-rudal antarbenua (ICBM) Uni Soviet sewaktu-waktu bisa nyelonong ke daratan Amerika dan menebar kehancuran. Negeri superkuat itu pun merasa perlu melindungi dirinya dengan sejumlah "perisai", dan program perang bintang pun mulai dikibarkan. Proyek bergengsi itu memang makan banyak biaya. Hingga kini anggaran pemerintah yang tersedot ke proyek itu ditaksir sedikitnya Rp 28 trilyun. Angka itu akan terus membengkak. Pasalnya, "Program perang bintang itu akan terus kami hidupkan," ujar Menteri Pertahanan AS Dick Cheney. Namun, seperti halnya terjadi pada proyek-proyek di sektor lain, "Anggaran yang tersedia kini menciut," tambah pejabat Pentagon itu. Agar lebih sesuai dengan anggaran yang makin tipis itu, akhir April lalu Pentagon mengumumkan perombakan besar dalam program riset perang bintang itu. Rencana lama yang mengandalkan pertahanan dengan sinar laser berlapis-lapis, untuk melumpuhkan ICBM lawan, mulai dihapus. "Rencana lama itu terlalu mahal, lagi pula kurang praktis," tutur Cheney. Sebagai gantinya, Pentagon akan mengoperasikan ribuan "ranjau" angkasa, yang disebut brilliant pebbles alias kerikil cerdik. Kerikil-kerikil elektronik itu mendapat tugas khusus: mencegat rudal lawan sebelum mereka menyentuh bumi Amerika. "Ini pilihan yang lebih murah, tapi lebih ampuh," tambah Cheney. Ranjau angkasa yang akan ditempatkan di atas langit Amerika itu, dalam proposal Pentagon, jumlahnya 10.000 sampai 100.000 pucuk. Bentuknya mirip rudal konvensional. Tapi ukurannya kecil saja, panjang satu meter dan beratnya sekitar 45 kg. Dalam masa damai, kawanan ranjau itu akan mengorbit secara stasioner pada ketinggian sekitar 1.000 km di atas permukaan bumi. Kendati kecil, kerikil-kerikil cerdik itu punya daya tangkal yang besar terhadap ancaman serangan rudal balistik lawan. Dalam jarak 1.000 km, brilliant pebbles sanggup mengendus kehadiran rudal lawan. Lantas, sonder menunggu perintah, kerikil cerdik itu akan meluncur kencang menubruk dan melumpuhkan rudal penyerang. Indera penglihatan rudal kerikil itu, yang berwujud lensa optik dan disebut sensor optik, memang luar biasa tajam. Dari posisi orbitnya, sepucuk ranjau angkasa itu mampu menatap kawasan bumi seluas ribuan kilometer persegi, dan memetakan satu hingga 10 milyar elemen gambar. Prestasi itu 100 kali lebih baik dibanding kemampuan lensa fotografi terbaik yang ada saat ini. Lensa canggih dengan sudut pandang yang lebar itu memang menjadi salah satu fasilitas andalan ranjau udara tadi. Pada mata ranjau itu ada dua buah lensa cembung yang dipasang berimpitan. Bayangan yang masuk pada lensa diteruskan dan "dipetakan" pada lembaran serat optik. Agar sosok bayangan itu menjadi lebih jelas, gambar yang terekam pada serat optik itu diolah lagi pada unit penguat bayangan. Berikutnya, gambar-gambar itu diubah menjadi sinyal-sinyal elektronik dan dikirim ke komputer. Di situlah segala sesuatunya dianalisa. Misalnya saja identitas benda itu, termasuk ciri-cirinya, posisinya, arah gerakan, kecepatan, bahkan sampai perkiraan sasarannya. Tidak hanya itu. Berbekal hasil analisa itu, komputer pun sanggup mengambil keputusan secara cepat dan tepat. Taruhlah, komputer telah mengidentifikasikan benda itu sebagai rudal lawan. Maka, dia akan segera memerintahkan agar tubuh ranjau itu bergegas menyongsongnya. Tentu saja, dia harus mengatur kecepatan, arah, manuver, supaya tubuh ranjau itu bisa secara akurat menumbuk rudal penyerang tadi. Sebuah pekerjaan yang sama sekali tidak mudah. Pentagon tahu betul, untuk melayani kebutuhan itu, diperlukan sebuah superkomputer yang dalam tempo sedetik sanggup menjalankan sekian milyar perintah. Barangkali terdengar kelewat ambisius jika Pentagon bertekad hendak membuat superkomputer itu hanya dalam ukuran kaleng kecil biskuit. Superkomputer itulah yang membuat kerikil-kerikil cerdik itu bisa bekerja secara mandiri. Dalam keadaan darurat perang, pusat pengendali di bumi cukup hanya mengeluarkan satu perintah saja: "siaga satu". Babak selanjutnya mereka sanggup mengambil keputusan sendiri untuk menyerang lawan. Di antara kerikil-kerikil itu juga terjalin koordinasi yang baik, sehingga satu kemungkinan beberapa ranjau membidik sasaran yang sama bisa dihindarkan. Di saat damai, ranjau angkasa itu disimpan di dalam "garasi" pengamannya masing-masing. Garasi itu dilengkapi dengan sel surya, yang bisa menyimpan tenaga matahari. Dengan demikian, selama masa damai itu, motor mini pada ranjau itu praktis istirahat. Gagasan ranjau angkasa itu datang dari Lowell L. Wood, seorang ahli fisika dari Lawrence Livermore N ational Laboratory, yang berkedudukan di California. Ide unik itu kemudian dimatangkan dengan bantuan Edward Teller, sejawatnya. Mereka pula yang mendesain sensor optik yang canggih itu. Konsep ranjau udara itu, "telah membangkitkan revolusi pemikiran dalam soal pertahanan strategis," kata Wakil Presiden AS Dan Quayle bulan lalu di depan jajaran perwira Angkatan Laut AS. Jarum-jarum udara itu, menurut Quayle, tidak saja lebih sederhana pengoperasiannya, tapi juga lebih mungkin dilahirkan dalam waktu dekat. Bahkan, menurut Marsekal Madya James A. Abrahamson, bekas pimpinan program perang bintang yang pensiun Februari silam, proyek ranjau udara itu bisa menghemat pengeluaran pemerintah AS Rp 43 trilyun. Ini jika dibandingkan dengan konsep lama, yang mengandalkan peluru-peluru kendali berlaser, senapan laser dari darat ke udara, dan rudal-rudal konvensional, untuk mencegat rudal penyerang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini