Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Timur tengah pasca-khomeini

Kepemimpinan iran pasca-khomeini menghadapi tugas berat. perundingan perdamaian dengan irak berjalan terlalu seret. peta politik timur tengah secara keseluruhan tidak akan banyak berubah dalam tempo dekat.

17 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPENINGGAL Ayatullah Khomeini, pertanyaan yang sering muncul adalah bagaimana situasi kawasan Teluk dan Timur Tengah nanti. Menjadi lebih stabil atau makin labilkah? Sejauh manakah ilham revolusi Islam Iran 1979 masih dapat mempengaruhi negara-negara tetangganya? Lalu, masih dapatkah api revolusi itu menimbulkan ancaman ledakan sosial politik di negara-negara Teluk? Bagaimana bentuk suksesi kepemimpinan Iran nanti? Siapa yang bakal tampil? Kelompok berhaluan moderat atau kelompok bergaris keras? Pertanyaan semacam ini sangat wajar dikemukakan sesudah Khomeini meninggalkan panggung revolusi Iran untuk selama-lamanya. Jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan di atas sangat bergantung pada satu soal, bagaimana rakyat dan para pemimpin Iran memperlakukan warisan ideologis atau legacy yang ditinggalkan Khomeini. Ada beberapa warisan Khomeini yang telah mengubah wajah Iran menjadi sama sekali berbeda dengan Iran di zaman Syah. Ayatullah yang spartan itu telah mengembalikan rasa percaya diri bangsa Iran yang hampir sirna pada zaman Syah. Selama seperempat abad kekuasaannya, Syah seolah-olah menggadaikan negerinya ke Amerika. Terutama antara 1972 dan 1978, elite pada struktur kekuasaan masing-masing negara sudah menyatu, sementara CIA dan Savak juga sudah saling melakukan penetrasi. Iran seakan-akan tidak dapat tegak berdiri tanpa ditopang Amerika. Kenyataan pahit inilah yang dijebol oleh revolusi Iran 1979. Mengenai hubungan Iran dengan dunia luar, semboyan ideologis paling populer di Iran setelah revolusi 1979 adalah "bukan Timur dan bukan Barat, hanyalah Republik Islam" (nah syarq, nan gharb, faqat jumhuri-i Islami). Dalam kerangka konseptual Khomeini, semboyan atau katakanlah doktrin tersebut tidak sama dengan konsep netralitas gerakan nonblok yang tidak memihak baik ke Barat maupun ke Timur. Menurut sang Ayatullah, tidak ada di duna ini negara nonblok. Di samping itu, dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet, dianggap sebagai pemain tidak sah yang telah mendominasi (tahmil) sistem internasional. Karena itu, sistem internasional yang ada harus diubah menjadi tempat yang nyaman bagi negara-negara tertindas (mustadh'afin). Caranya? Membangun tata-dunia baru yang Islami dengan memasyarakatkan sistem nilai baru berdasarkan keadilan. Keperkasaan militer dua negara adidaya tidak perlu ditakuti karena bisa dilawan dengan senjata keyakinan. Dominasi Amerika sebagai "Setan Besar" dan Uni Soviet sebagai "Setan Sedang" dapat dipatahkan oleh Dunia Islam dengan senjata ideologi. Berdasarkan pandangan global Khomeini seperti ini, tidak mengherankan bila politik luar negeri Teheran sering terasa menantang Washington dan Moskow. Pandangan regional Khomeini ternyata cukup konsisten. Ia menentang hubungan yang begitu akrab negara-negara Teluk dengan Moskow atau Washington. Irak yang cenderung ke Soviet, Arab Saudi yang mesra dengan Amerika, dan negara-negara Arab lainnya di Teluk yang setia melayani kepentingan negara-negara adidaya, oleh Khomeini dijuluki sebagai "Setan Kecil". Untuk membebaskan negara-negara Teluk dari cengkeraman negara adidaya, diajukan kemudian doktrin ekspor revolusi. Revolusi Iran akan lebih berhasil bila dapat ditularkan ke berbagai negara yang masih belum bebas dari pengaruh Amerika dan Soviet. Watak populis revolusi Iran tidak saja menggetarkan negara-negara Arab monarki yang berbentuk kerajaan, kesultanan, dan keemiran, tetapi juga negara republik seperti Irak. Untuk menjawab tantangan revolusioner Iran itu, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Uni Emirat Arab (terdiri atas Abu Dhabi, Dubai, Syarjah, Ajman, Umm al-Qawayn, Fujeirah, dan Ras al Khaimah) dan Arab Saudi mendirikan Dewan Kerja Sama Teluk. Sementara itu, Khomeini punya ambisi untuk memerangi Israel. Ia menganggap Israel anak jadah Setan Besar. Amerika adalah godfather dari dua anak kembar Zionisme dan imperialisme Amerika. Di balik retorika anti-Israel, kebanyakan pemimpin revolusi Iran memang bersikap tidak mungkin berkompromi dengan Israel suatu sikap yang jauh berbeda dengan sikap Syah yang membangun aliansi Teheran - Tel Aviv. Posisi baru yang diambil Iran sejak 1979 itu menimbulkan guncangan bagi status quo Timur Tengah. Perang Iran-Irak adalah salah satu bukti memuncaknya konflik di antara kekuatan-kekuatan yang menginginkan perubahan dan yang menentang perubahan. Oleh sementara orang, perang tersebut dilihat sebagai adu kekuatan antara Pax Iranica dan Pan-Arab. Khomeini kini telah tiada. Posisi kepemimpinannya barangkali akan digantikan oleh para tokoh puncak Majlis-i Khibrigan atau Dewan Para Ahli. Para tokoh itu kemungkinan besar akan terdiri atas Abdul Karim Mussavi Ardebili, (Ketua Mahkamah Agung) Ali Akbar Rafsanjani, dan Mehdi Karubi (Ketua dan wakil ketua parlemen), Mir Hussein Moussavi (perdana menteri), dan Ali Khameini (presiden). Dugaan terkuat sekarang, pada pemilihan presiden Agustus nanti, Rafsanjani akan keluar sebagai pemenang mutlak. Di samping itu, besar kemungkinan konstitusi yang sekarang akan diubah untuk mengurangi kekuasaan parlemen yang terlalu besar, supaya presiden baru nanti dapat mengambil inisiatif lebih leluasa. Menurut Bani Sadr, dengan konstitusi yang ada pemerintah Iran tidak dapat memerintah rakyatnya. Kepemimpinan Iran pasca-Khomeini menghadapi tugas berat. Perundingan perdamaian dengan Irak berjalan terlalu seret. Masih ada sekitar 100 ribu tawanan perang yang harus diselesaikan, di samping pembicaraan garis perbatasan dua negara yang sangat rumit. Warisan Khomeini dalam banyak hal pasti akan diteruskan oleh para pemimpin Iran. Namun, Kantor Ekspor Revolusi sudah dibubarkan Rafsanjani dan ini merupakan pertanda perubahan orientasi politik luar negeri Iran yang lebih luwes dan realistis. Peta Timur Tengah secara keseluruhan tidak akan banyak berubah dalam tempo dekat ini. Libanon, dan khususnya Beirut, sebagai kota perbanditan dan pemerasan, seperti kata seorang ahli, tetap saja ruwet. Intifadah atau perlawanan Palestina di Tepi Barat dan Gaza tetap saja panas dan belum terlihat titik terang. Kabul dan Jalalabad di Afghanistan juga masih dihantui perang saudara yang lebih gawat karena belum ditemukan rekonsiliasi antara Najibullah dan kaum mujahidin. Tetapi kawasan Teluk sendiri, sejak berhentinya Perang Iran-Irak, sudah mulai pulih. Bila perdamaian Teluk sudah benar-benar mantap, yang jelas konfik Iran-Irak, sebagai satu komplikasi bagi penyelesaian masalah Pokok Timur Tengah, adalah masih bercokolnya Israel di wilayah Palestina. Masalah pokok ini belum terpecahkan, dan Khomeini kini telah pergi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus