Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Kisah Fajar, Anak Buruh Tani Sragen yang Mendapat Beasiswa LPDP di Swedia

Lahir sebagai anak buruh tani asal Sumberlawang, Sragen tak membuat Fajar Sidik Kelana berhenti belajar. Dia mendapat beasiswa LPDP di Swedia.

7 Februari 2022 | 13.43 WIB

Fajar Sidik penerima beasiswa LPDP di Swedia. Instagram
Perbesar
Fajar Sidik penerima beasiswa LPDP di Swedia. Instagram

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Lahir sebagai anak dari buruh tani asal Sumberlawang, Sragen, Jawa Tengah tak membuat Fajar Sidik Abdullah Kelana berhenti belajar. Pria berusia 27 tahun itu kini tengah menempuh pendidikan S2 di KTH Royal Institute of Technology Swedia jurusan Innovation Management and Product Development berkat beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600


Sejak kecil, Fajar hidup hanya bersama ibu dan kakaknya. Ayahnya meninggal beberapa hari setelah Fajar lahir. Ibunya mesti banting tulang membiayai hidup. Ibu Fajar hanya seorang buruh tani di Sragen. Lantaran penghasilannya tak cukup untuk menafkahi anaknya, ibunya memustuskan merantau ke Jakarta saat Fajar masih berusia 4 tahun.

 


Mereka menumpang di rumah saudaranya di wilayah Grogol, Jakarta Barat. Di Jakarta, ibu Fajar bekerja sebagai asisten rumah tangga. Ibunya juga pernah bekerja di pabrik kerupuk membantu membungkus kerupuk.

 


Keinginan untuk menyekolahkan anaknya begitu besar, namun ibunya tak memiliki uang. Fajar bahkan diremehkan oleh keluarga dan tetangganya bahwa mimpi untuk menyekolahkan anak terlalu tinggi. “Sempet diremehkan sama keluarga dan tetangga karena latar belakang ibu yang orang tua tunggal,” ujar Fajar kepada Tempo pada Ahad, 6 Februari 2022.

 


Berkat kesungguhan tekad ibunya, akhirnya Fajar bisa sekolah di Jakarta dengan beasiswa yang diberikan salah satu yayasan di Jakarta. Fajar menjadi anak asuh dan dibiayai hingga lulus Sekolah Menengah Atas dengan pertimbangan prestasinya yang cemerlang.

 

 

Namun, ketika kelas XI, beasiswanya sempat dicabut lantaran nilai Fajar anjlok karena terlalu aktif berorganisasi. Walhasil, ibunya mesti membiayai sekolahnya. Fajar sempat tak bisa mengambil ijazahnya lantaran menunggak biaya sekolah selama tiga bulan. “Waktu itu akhirnya ada Bundo, salah satu guru saya yang ternyata membayarkan uang sekolah sehingga ijazah bisa saya ambil,” ujarnya.

 

 

Memiliki keinginan kuat untuk melanjutkan sekolah, Fajar kembali belajar sungguh-sungguh untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri. Dia pun berhasil masuk ke Universitas Gadjah Mada jurusan teknik mesin melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri seleksi tulis.

 

 

Fajar nyaris tak bisa melanjutkan sekolah karena biaya uang pangkal yang besar, sekalipun kampus sudah memberikan keringanan. Awalnya biaya masuk Rp 40 juta, namun menjadi Rp 10 juta setelah Fajar mengurus bantuan keringanan. Dia pun berinisiatif untuk meminta bantuan pada yayasan yang dulu pernah membiayainya sekolah. “Akhirnya diberikan bantuan untuk membayar biaya tersebut,” katanya.

 


Sehari-hari selama menjalani hidup sebagai mahasiswa, Fajar mesti mengencangkan ikat pinggang. Uang kiriman dari ibunya diirit-irit. Ibunya masih banting tulang untuk membiayai kuliahnya dengan bekerja sebagai asisten rumah tangga hingga membantu tetangga membuat makanan untuk hajatan. "Makan seadanya. Liat kawan yang suka wisata kuliner enggak bisa ikutan karena mesti ngirit," katanya.

 

 

Selama menjadi mahasiswa, Fajar aktif di berbagai kegiatan dan proyek. Fajar membuat Banoo, inovasi teknologi perikanan yang merupakan alat microbubble generator untuk budi daya ikan. Banoo dapat menghasilkan gelembung udara ukuran mikron di dalam air yang mampu meningkatkan dissolved oxygen di dalam air. Banoo terintegrasi dengan IoT water quality sensor sehingga beroperasi secara otomatis. Alat ini bisa meningkatkan produktivitas budi daya perikanan hingga 40 persen.

 



Banoo tercipta karena motivasi Fajar yang ingin membantu pertanian di wilayahnya, terlebih latar belakang keluarganya yang merupakan keluarga petani. Karyanya membawa Fajar memenangi sejumlah penghargaan di antaranya Mata Garuda Prize 2021 Kategori Science & Technology yang diadakan oleh LPDP dan Thought For Food Innovation Challenge 2020 di Belanda.


 

Fajar juga dipercaya oleh dosennya untuk memegang sejumlah proyek. Sejak menjelang lulus S1, dia sudah bisa sedikit menghasilkan uang dan mengirimkan uang kepada ibunya. Usai lulus, Fajar memutuskan meneruskan S2. Dia pun belajar dan bertanya ke seniornya hingga akhirnya mendapatkan beasiswa LPDP dan berangkat pada 2020.

 

 

 

 

Keberangkatannya sebelumnya sempat ditunda lantaran dia masih menyelesaikan sejumlah proyek. Saat ini, Fajar ditemani istrinya masih bersekolah di Swedia menyelesaikan S2 dari LPDP. Dia bertekad untuk kembali ke Indonesia untuk memajukan daerahnya di sektor pertanian. “Latar belakang saya sebagai anak dari petani dan memiliki orang tua tunggal justru menjadi penyemangat saya. Dari situ juga saya belajar jangan pernah memandang rendah orang dan belajar menghargai satu sama lain,” katanya.

 

 

 

 

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus