Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Kisah Putri Zulzali dari Dibully hingga Menjadi Guru Penggerak

Kisah Putri Zulzali mengikuti program Guru Penggerak di Mataran, Nusa Tenggara Barat. Simak kisahnya di sini.

13 Desember 2022 | 09.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Putri Zulzali, Guru Penggerak Mataram

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menjadi Guru Penggerak, serangkaian proses Putri Zulzali lalui dengan penuh perjuangan. Pada awal 2021, perempuan 36 tahun ini sedang hamil besar ketika pendaftaran Guru Penggerak dibuka. Sempat ragu, akhirnya Putri mendaftar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena laptopnya rusak, Putri meminjam komputer jinjing kawannya yang juga guru di sekolah. Dia mencicil sejumlah persyaratan menjadi guru penggerak, dari esai hingga kelengkapan administrasi lain. Di tengah persiapan itu, Putri melahirkan anak keduanya pada Maret 2021. Selama beberapa hari, anak kedua Putri harus masuk ruang neonatal intensive care unit (NICU) karena penyakit kuning.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiba di rumah setelah anaknya keluar dari NICU, Putri mendapat pesan otomatis yang masuk ke telepon selulernya agar segera merampungkan syarat Guru Penggerak sebelum batas waktu berakhir pada hari itu, 13 Maret 2021. Sambil mengasuh bayinya, Putri mengetik esai yang belum selesai. “Sewaktu keluar dari NICU dan kembali ke rumah, saya pinjam laptop keponakan dan langsung menyelesaikan esai sebelum tenggat hari itu pukul 23.00 WIB,” ujarnya.

Perjuangan lulusan Universitas Mataram itu tak sia-sia. Putri pun terpilih dan mengikuti pendidikan Guru Penggerak selama sembilan bulan. Selama mengikuti pelatihan yang digelar daring dan luring, dia mendapat dukungan penuh dari sekolah.

Saat Putri meninggalkan kelas karena mengikuti pelatihan Guru Penggerak secara tatap muka, rekan sejawatnya, Ahmad Muharrar, dengan sigap menggantikan dia mengajar di kelas I. Ahmad juga meminjamkan laptopnya kepada Putri untuk mengikuti pelatihan tersebut. “Walau pendidikan Guru Penggerak panjang dan menyita waktu, Bu Putri tetap gigih dan bersemangat menyelesaikannya,” kata Ahmad, yang merupakan guru kelas V.

Kepala Sekolah Dasar Negeri 34 Cakranegara, Ni Nengah Murniati, mengatakan selalu mendukung Putri ataupun guru lain untuk mengembangkan kapasitas diri di luar. Dia menilai Putri termasuk guru kompeten yang metode belajarnya disukai siswa. “Saya selalu mendorong guru-guru untuk bisa mendapatkan lebih banyak ilmu di luar agar manfaatnya juga dirasakan siswa dan sekolah,” ujarnya.

Berbagi Pengalaman Lewat Komunitas Guru Penggerak

Lewat komunitas Guru Penggerak Mataram, Putri juga saling berbagi ilmu. Siti Zikriyah, bendahara komunitas tersebut yang juga guru SD Negeri 5 Ampenan, Mataram, mengatakan komunitasnya kerap mengadakan pertemuan untuk membahas sejumlah program dan ide atau inovasi pembelajaran. “Di sini kami juga punya ‘hardisk alias hari diskusi kita untuk merefleksikan lagi pembelajaran di kelas masing-masing,” ujarnya.

Siti mengatakan komunitasnya memberikan coaching clinic untuk para calon guru penggerak angkatan keenam. Mereka juga telah merancang program untuk studi banding berbagi pengalaman dengan guru penggerak di wilayah lain. “Saat ini kami rancang antarkabupaten. Harapannya bisa ke wilayah lain, bahkan antarpulau. Namun, karena butuh biaya, kami sudah mengajukan anggaran ke Dewan dan akan disalurkan melalui dinas pendidikan,” tuturnya.

Melalui komunitas Guru Penggerak, Siti mengenal Putri dan saling berbagi cara mengajar yang menyenangkan. Menurut Siti, Putri adalah sosok guru yang sabar dan tulus. “Dengan segala keterbatasan dia, kami justru belajar banyak dari Bu Putri. Keterbatasan itu menjadikan dia bergerak maju,” katanya.

Gap Year karena Tak Ada Biaya Kuliah

Lulus dari Madrasah Aliyah Pondok Pesantren Nurul Hakim, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, pada 2005, Putri tak pernah terpikir untuk melanjutkan kuliah. Kondisi ekonomi keluarganya serba pas-pasan.

Orang tua Putri hanya berjualan bahan-bahan es buah di Pasar Cakranegara, Mataram. Kondisi terberat dialami Putri ketika ayahnya meninggal dan kakak keduanya, Suraiya, mengalami kecelakaan sehingga membutuhkan biaya pengobatan. Putri yang merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara terpaksa menunda rencananya kuliah.

Suraiya mengatakan dia selalu memberikan dukungan kepada Putri agar tak pantang menyerah. Sebaliknya, ketika Suraiya mengalami kecelakaan sepeda motor, Putri berusaha memulihkan ingatan kakaknya yang kala itu divonis dokter mengalami amnesia. “Kami saling mendukung dan menyemangati,” ujar Suraiya.

Pernah Jadi Korban Bullying

Pada 2006, ibunda Putri meminta anak-anaknya patungan membiayai kuliah Putri. Dia akhirnya bisa kuliah di Universitas Mataram jurusan pendidikan guru sekolah dasar dengan mendapat beasiswa. Pengalaman waktu kecilnya membawanya menjadi seorang guru. Waktu duduk di sekolah dasar, Putri dibully oleh kawannya karena belum bisa membaca.

“Saya mengambil jurusan itu karena waktu kecil saya mengalami kesulitan belajar sampai dipanggil bodoh sama kawan. Dari situ saya mau bantu anak-anak supaya bisa belajar dengan baik,” katanya.

Lulus kuliah pada 2010, Putri sempat menganggur dua tahun. Tak ada sekolah yang menerima dia sebagai guru saat itu. Ketika itu, dia membantu ibunya berjualan. Sampai pada 2012, Putri diterima menjadi guru honorer di SD Negeri 34 Cakranegara.

Mayoritas siswa di sekolah itu beragama Hindu. Hanya ada satu-dua siswa muslim di kelas I dari total 28 siswa. Meski begitu, lingkungan sekolah amat menjunjung toleransi. “Saya ingin ilmu saya bisa mengalir kepada siapa pun,” ujarnya.

Gaji Kecil Tak Menyurutkan Semangat

Selama hampir sepuluh tahun mengajar, gaji Putri tak pernah lebih dari Rp 1 juta. “Awal honorer gaji Rp 250 ribu, naik bertahap pada 2021 jadi Rp 1 juta setelah ada kebijakan Mas Menteri (Nadiem Anwar Makarim), yakni dana Bantuan Operasional Sekolah bisa untuk gaji guru honorer,” tuturnya.

Guna menutup kebutuhan sehari-hari, Putri mengajar les privat di lembaga bimbingan belajar. Dia juga menjadi guru mengaji di SDN Model Mataram hingga 2018. “Dulu tiap hari berangkat pagi mengajar di SDN 34, siangnya di SDN Model, dan sorenya hingga malam mengajar privat,” katanya.

Dengan segala keterbatasan itu, Putri tak patah semangat. Kabar gembira menghampiri Putri pada awal 2022. Dia dinyatakan lulus seleksi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja. Gajinya naik menjadi Rp 3,7 juta. “Saya enggak pernah pikirkan gaji atau finansial. Saya jalani semua dengan niat ilmu kita bisa bermanfaat,” ujarnya.

Baca artikel selengkapnya di Majalah Tempo di sini

Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram http://tempo.co/. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.

Devy Ernis

Devy Ernis

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, kini staf redaksi di Desk Nasional majalah Tempo. Memimpin proyek edisi khusus perempuan berjudul "Momen Eureka! Perempuan Penemu" yang meraih penghargaan Piala Presiden 2019 dan bagian dari tim penulis artikel "Hanya Api Semata Api" yang memenangi Anugerah Jurnalistik Adinegoro 2020. Alumni Sastra Indonesia Universitas Padjajaran.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus