Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Trias Agata Roni, salah satu guru penggerak di SMA Yayasan Pendidikan Kristen (YPK) Diaspora Kotaraja, Jayapura, Provinsi Papua, menceritakan pengalamannya ketika mengajar di kelas. Dia menyadari salah satu kendala dalam kegiatan pembelajaran di kelas Bahasa Inggris adalah kelas terasa membosankan atau sedikit monoton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum menjadi guru penggerak, perempuan kelahiran 5 Mei 1990 itu melihat dirinya sebagai seorang guru yang galak. Ketika mengajar, dia merasa anak-anak tidak tertarik dan tidak antusias belajar, malah cenderung pasif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru yang mengajar di kelas XI dan XII itu juga merasa suasana kelas tidak hidup dan membosankan sehingga anak tidak aktif bertanya dan berbagi saat pelajaran berlangsung serta cenderung malas belajar. Dalam proses refleksi diri, ia bangkit dan mulai berpikir tentang perubahan yang harus segera dilakukan untuk menghidupkan proses belajar mengajar.
"Belajar mengajar tidak bisa hanya berlangsung begitu saja seumpama hanya melewati waktu, namun harus berkesan mendalam dalam kegiatan pembelajaran siswa, membuat siswa aktif serta mewadahi pengembangan potensi dan mengembangkan kemampuan siswa," ujarnya.
Alasan Ikut Guru Penggerak
Pada suatu hari, ia membaca informasi dalam jaringan mengenai guru penggerak dan tertarik mengikutinya. Selama sembilan bulan, melalui program Guru Penggerak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi ia bisa banyak belajar baik dari proyek mandiri, pelatihan dari para pengajar maupun dari rekan sejawat guru penggerak.
Trias mengikuti pelatihan dalam jaringan, lokakarya, konferensi, dan pendampingan. Selain mengembangkan kompetensi diri, ia juga memiliki pengalaman belajar mandiri dan kelompok terbimbing, terstruktur, dan menyenangkan, serta pengalaman belajar bersama dengan rekan guru lainnya.
Guru penggerak adalah pemimpin pembelajaran yang mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, aktif dan proaktif dalam mengembangkan pendidik lainnya untuk mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada murid, serta menjadi teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila.
"Harapannya setelah menjadi guru penggerak dapat tips, cara-cara membuat pembelajaran di kelas itu menarik," kata lulusan sarjana dari Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura itu.
Ketika mengikuti program Guru Penggerak, ia mendapatkan pelatihan yang memadai yang bisa mengakselerasi kemampuan mengajarnya dan memiliki komunitas untuk saling belajar, mengingatkan dan bertukar informasi tentang cara mengajar yang menciptakan antusiasme dan membangkitkan keaktifan siswa.
Guru honorer yang mengajar di SMA YPK Diaspora Kotaraja sejak 2015 itu berupaya menjadi guru yang bisa memberikan keleluasan bagi siswa berkarya dan mengembangkan potensi diri lewat aktivitas dan materi pembelajaran yang menarik.
Siswa Jadi Lebih Antusias Belajar
Salah satu materi dalam program Guru Penggerak yang berkesan bagi Trias adalah terkait pembelajaran sosial emosional. Trias menyukai materi tersebut karena bisa mengetahui bagaimana guru dapat membantu anak kembali tertarik dan aktif dalam proses pembelajaran.
Mengajar dengan metode ceramah sejak awal membuka kegiatan pembelajaran tidaklah ampuh membangkitkan antusiasme belajar. Menurut Trias, tantangannya sekarang adalah bagaimana mendapat minat anak dulu untuk lebih jauh terlibat dalam proses pembelajaran, sebelum memberikan materi pelajaran.
Dalam praktiknya, ketika masuk kelas untuk mengajar, ia terlebih dulu menanyakan perasaan anak, dan tidak langsung "berceramah" menyampaikan materi pelajaran.Dirinya juga rutin mempersiapkan dan melakukan permainan menarik untuk membangkitkan antusiasme dan semangat anak didik sebelum kelas dimulai.
"Bagaimana perasaan kamu sekarang?" merupakan salah satu kalimat pembuka kelas yang menarik perhatian siswa yang disampaikan Trias.
Kemudian, para siswa diajak bermain seperti berbicara dalam Bahasa Inggris yang dikemas sederhana namun menyenangkan. Dalam permainan itu, siswa diminta untuk membuat kepanjangan dari awalan huruf dari tiap huruf di nama panggilan mereka. Kepanjangan nama tersebut harus menggambarkan karakter yang dimiliki siswa.
Misalnya, seorang siswa bernama Fera, maka kepanjangan yang bisa dibuat adalah fun, energetic, responsible dan active. Tanpa disadari, sekalipun mereka bermain, sesungguhnya siswa sudah masuk ke dalam proses pembelajaran.
Di tengah kesibukannya, Trias terus berupaya menemukan dan menciptakan hal-hal baru untuk membangun suasana di kelas belajar. Ia rajin mencari teknik, metode, bentuk kegiatan, dan permainan untuk memperkaya metode dan tekniknya membangkitkan antusiasme siswa di kelas.
Selain mencari informasi lewat dunia maya dan berkarya mandiri, praktik baik mengajar dan ide permainan dapat diperoleh dari komunitas guru penggerak seangkatan.
"Saya minta masukan di komunitas angkatan pertama tentang bagaimana kalau anak rasa bosan. Bagaimana "ice breaker" yang bagus-bagus. Kami saling memberikan masukan seandainya kita nggak bisa dapatkan hal baru dan menarik," tuturnya.
Pembelajaran Berdiferensiasi
Untuk mengakomodasi pengembangan diri siswa berdasarkan kesiapan belajar, minat dan potensinya, Trias melakukan pembelajaran berdiferensiasi, yakni pembelajaran yang memberi keleluasaan pada siswa untuk meningkatkan potensi dirinya sesuai dengan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar siswa.
Pembelajaran berdiferensiasi tidak hanya berfokus pada produk pembelajaran, tapi juga fokus pada proses dan konten/materi. Salah satu diferensiasi yang dilakukannya adalah produk dari tugas akhir siswa. Tugas akhir siswa tidak harus seragam, tapi bisa berbeda-beda satu sama lain sesuai dengan karakter dan potensi siswa. Beragam tugas itu justru membuat anak aktif dan bergairah belajar.
Siswa yang suka bernyanyi dapat membuat tugas akhir dengan menulis lirik lagu berbahasa Inggris dan langsung menyanyikannya di depan teman-teman sekelasnya. Siswa lain bisa mengemas tugas akhir dalam bentuk tulisan, tarian, kerajinan tangan atau video, bahkan bisa menggunakan platform media sosial.
Dengan memperhatikan gaya belajar dan karakter serta potensi siswa, Trias mengaku anak menjadi lebih berani berbicara sekalipun belum sepenuhnya benar saat menggunakan Bahasa Inggris. Menurut dia, yang penting adalah anak aktif dan percaya diri dulu baru nanti kesalahan yang ditemui dapat diperbaiki.
Kegiatan Belajar Jadi Lebih Menyenangkan
Seorang siswi kelas X3 SMA YPK Diaspora Amelia Demena mengaku merasa senang dan aktif saat belajar di sekolah. Permainan yang dibawakan sebelum kelas belajar dimulai, dirasa mampu menghidupkan suasana belajar.
Ia juga senang belajar dengan menggunakan internet sehingga banyak sumber belajar bisa diakses dengan cepat. "Sebelum masuk 'mood' kita dibuat 'happy' (senang). Guru ajarkan kita berdoa, memberi salam pakai Bahasa Inggris. Sebelum belajar ada permainan," ujarnya.
Kegiatan belajar Bahasa Inggris juga beragam dan memanfaatkan berbagai media pembelajaran seperti menonton film, presentasi, dan bercerita. "Lebih percaya diri, lebih paham, guru tidak terlalu menekan. Guru mengerti, kita mengerti," katanya.
Demikian pula dengan siswa kelas X1 di SMA YPK Diaspora Frits Yosefus Dorinya, yang mengaku senang dengan pembelajaran berbasis proyek seperti belajar dengan mengamati lingkungan sekitar, membuat pupuk enzim dari buah-buahan, dan membuat makanan papeda.
Model belajar tersebut bersifat aplikatif dan berguna bagi kehidupan. "Pembelajaran itu lebih paham, lebih kreatif," ujar Frits.
Pendidikan guru penggerak dan pembelajaran berdiferensiasi diharapkan dapat membawa perubahan nyata dalam kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan dan meningkatkan kemampuan para siswa sesuai dengan potensi dan kebutuhan belajar mereka.