Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mengapa trauma memicu mimpi buruk? Pertanyaan ini kerap muncul di benak banyak orang, terutama bagi mereka yang pernah mengalami peristiwa traumatis. Ketika Anda mengalami trauma, kualitas tidur cenderung menurun, dan mimpi buruk menjadi lebih sering terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasan sederhana mengapa trauma memicu mimpi buruk adalah karena otak kesulitan memproses memori traumatis. Merujuk dari Khiron Clinics, berikut ini penjelasan selengkapnya.
Mengapa Trauma Memicu Mimpi Buruk?
Otak manusia memiliki beberapa bagian penting yang berperan dalam mengatur emosi, memproses memori, dan mendeteksi ancaman. Dua di antaranya adalah amigdala dan hipokampus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amigdala bertugas memproses rasa takut serta respons emosional, sedangkan hipokampus berfungsi mengatur dan mengontekstualisasikan memori. Ketika seseorang mengalami trauma, amigdala menjadi hiperaktif, membuat otak lebih peka terhadap ancaman yang dirasakan, bahkan saat sedang tidur.
Sementara itu, hipokampus sering kali kesulitan mengintegrasikan pengalaman traumatis dengan benar. Akibatnya, ingatan tentang peristiwa tersebut tersimpan dalam keadaan mentah dan tidak teratur.
Ketika Anda tidur, terutama selama fase tidur rapid eye movement (REM), yang ditandai dengan gerakan mata yang cepat dan mimpi, otak berupaya memproses memori yang belum terselesaikan ini. Namun, karena beban emosional yang berat, proses ini justru memicu munculnya mimpi buruk yang mengganggu.
Selain itu, mimpi buruk yang berulang dapat memperkuat intensitas emosional dari trauma itu sendiri. Alih-alih membantu menyelesaikan trauma, mimpi buruk malah menjaga sistem saraf dalam kondisi hipergairah. Hal ini membuat tubuh dan pikiran terus-menerus berada dalam keadaan siaga, mengganggu kualitas tidur secara keseluruhan.
Penelitian menunjukkan adanya hubungan erat antara post-traumatic stress disorder (PTSD) dan frekuensi mimpi buruk yang tinggi. Sekitar 70-90 persen penderita PTSD melaporkan mengalami mimpi buruk berulang, dibandingkan dengan hanya sekitar 5 persen pada populasi umum.
Mimpi buruk ini kerap mengulang aspek trauma, baik dalam bentuk harfiah maupun simbolis. Gangguan tidur yang terjadi secara terus-menerus ini tidak hanya memperburuk kualitas tidur, tetapi juga meningkatkan kecemasan di siang hari, sehingga mempersulit proses pemulihan dari trauma.
Penjelasan Ilmiah atas Konektivitas Trauma dengan Tidur
Sistem saraf memegang peran penting dalam merespons trauma, terutama dalam kaitannya dengan pengaturan tidur. Ketika seseorang mengalami peristiwa traumatis, sistem saraf otonom (ANS) bisa menjadi tidak stabil, memicu kondisi hipergairah atau kewaspadaan berlebih. Keadaan ini membuat tubuh seolah terus-menerus berada dalam mode "melawan atau lari", sehingga sulit untuk merasa rileks dan mendapatkan tidur yang nyenyak.
Hipergairah ini sering kali berujung pada gangguan tidur seperti insomnia, sering terbangun di tengah malam, dan tidur yang gelisah. Selain itu, hipervigilan atau kewaspadaan berlebihan menyebabkan otak tetap siaga, bahkan saat tubuh berusaha beristirahat. Alih-alih memasuki fase tidur yang dalam, otak justru terus memindai lingkungan sekitarnya untuk mencari potensi ancaman yang sebenarnya tidak ada.
Siklus tidur REM, yang berperan penting dalam pemrosesan emosi dan konsolidasi memori, juga sangat terpengaruh oleh trauma. Pada penyintas trauma, fase ini cenderung mengalami gangguan berupa fragmentasi REM, yang menyebabkan munculnya mimpi buruk yang intens, kilas balik, hingga terbangun mendadak. Proses integrasi memori pun menjadi terhambat, mengakibatkan pengalaman traumatis kerap muncul dalam mimpi dengan cara yang mengganggu.
Seiring waktu, gangguan tidur yang berkelanjutan dan munculnya kembali trauma di malam hari dapat memperburuk gejala PTSD, meningkatkan kecemasan, serta mempersulit pengaturan emosi. Siklus ini membuat proses pemulihan menjadi lebih sulit karena tubuh dan pikiran terus terjebak dalam pola kewaspadaan yang berlebihan, bahkan saat seharusnya beristirahat.