DIAM-diam ada yang berulang tahun: Pertapaan Rawaseneng, di
Temanggung, Jawa Tengah, 1 April lalu. Ini satu-satunya
pertapaan Gereja Katolik di Indonesia - dari satu ordo
(tarekat) yang para anggotanya memang hanya bertapa. Namanya:
Ordo Trappist. Jumlah mereka pun hanya sedikit sekarang ini 30
rahib dan calon rahib, termasuk empat yang berkebangsaan
Belanda.
Terletak antara Gunung Sindoro dan Gunung Ungaran, 527 meter di
atas muka laut, kompleks 20 ha itu dikelilingi lembah. Dua buah
jalan tanpa aspal, sepanjang 6 km dari Kecamatan Kandangan,
menuntun orang ke sana. Dan dari tempat sayup-sayup itulah
terdengar suara lonceng secara teratur, sejak pukul 03.00
dinihari sampai 9 00 malam. Lonceng itu menandai tiap
perpindahan dalam acara rutin mereka setiap hari.
Puku103.00 itu mereka bangun, dan seperempat jam kemudian
memulai ibadatpertama. Berikutnya acara ibadat, doa pribadi,
"bacaan suci", pelajaran dan studi. perayaan ekaristi, dan
khusus hari Minggu "doa pemeriksaan batin", memakan sekitar 9,5
jam sehari.
Seperti juga anggota biara kuno, mereka pun mencukupi hidup
sendiri. "Tak ada bantuan dari luar," kata Rama Frans
Harjawiyata, 52 tahun, pemimpin (istilahnya: abas) pertapaan
itu. Memang, tak ada lagi sekarang rahib yang secara bergilir
ditugasi berkeliling minta sedekah, sebagai konsekuensi kaul
mereka untuk hidup melarat. Di Rawaseneng itu mereka memiliki
180 ha perkebunan kopi, cengkih, dan buah-buahan, plus 112 ekor
sapi perah ditambah 50 ekor babi.
Daging-daging itu bukan untuk mereka, sebab para rahib tersebut
hanya makan sayur-sayuran. Melainkan untuk keperluan biara,
setelah dijual ke Semarang, misalnya di samping memberi upah
lebih dari 100 KK dari sekitar situ yang memelihara ternak dan
menggarap tanah biara yang luas itu. (Di Rawaseneng sendiri
terdapat 90 KK Katolik dan 110 KK Islam, menrut Lurah Hardjo
Hadisumarto).
"Kita tidak bisa berdoa kalau perut lapar," kata Frans lagi.
Karena itu semua rahib di situ juga bekerja - di ladang,
peternakan, atau perpustakaan biara yang punya 5.000 buku itu,
misalnya. Jumlah jam kerja seluruhnya 4,5 jam sehari - kecuali
agaknya untuk yang lanjut usia. (Usia para rahib 21-82 tahun).
Dan hanya itulah tugas mereka. Para pengikut De Rance' yang
memimpin Biara La Trappe 1664-1700 itu (yang mendasarkan diri
pada Ordo Sisteriensis dari St. Bernardus - 1221 - yang
mengangkut semangat pertapaan St. Benedictus, 480), bukanlah
para pengasuh umat. Bukan pemimpin Jemaat di gereJa, atau
pekerja sosial - meski bisa saja mereka "dibon" untuk mengajar
misalnya. Mereka khusus berdoa.
Memang, mereka tidak pernah tinggal di gua seperti Benedictus.
Tapi para rohaniawan ini, meski sekarang hidup di gedung
berlistrik (dengan generator sendiri), tetap tidur di dipan kayu
beralas tikar. Makan di piring seng, minum dengan cawan seng.
Sedang berbicara, dalam teori, dibatasi. Tak ada pesawat TV
bahkan radio. Hanya di ruang dan kamar tamu sebuah tape
recorder, kulkas, gelas dan piring porselin, serta tempat tidur
berkasur pakai kelambu, disediakan. "Memang berat," kata Romo
DavidBue, 42 tahun, rahib asal Flores yang bertugas sebagai
Humas. "Kalau tidak, tidak akan 150 orang minggat dari sini"
dihitung sejak biara itu berdiri, 30 tahun lalu.
Dan memang itulah usia biara sampai 1 April lalu. Berdiri pada
1953, waktu itu masih merupakan cabang biaya di Tilburg,
Nederland. Baru lima tahun kemudian diberi status otonom,
danApril 1978 ditingkatkan menjadi ke,abasan. Frans Harjawiyata
pun dipanggil pulang dari Pertapaan Tilburg itu untuk menjadi
abas pertama.
Adapun pemilihan tempat Rawaseneng tentunya karena, selain
cocok, tempat itu bekas sekolah pertanian asuhan Bruder Budi
Mulia, lengkap dengan asrama, gereja dan perkebunan, yang
terikuat dibumihanguskan rakyat di tengah kekacauan "aksi
polisionil" Belanda 1948. Tapi penunjukan empat di Jawa Tengah
juga cocok: Di sini kita mengenal istilah nyepi, mtih, dan
sebagainya," kata Rama Frans pula.
Dan terbukti, pengunjung umat Katolik banyak sekali - untuk
melakukan retret perenungan sementara. Dalam setahun, menurut
Rama Oomen, 67 tahun, salah seorang tokoh pendiri berkebangsaan
Belanda yang tetap di situ, tercatat 22.000 orang datang untuk
1-3 hari. Mereka dikenai pembayaran Rp 2.500 per hari, lengkap
ongkos makan seadanya. Penerimaan umat buat retret itu sesuai
dengan kebijaksanaan baru setelah Konsili Vatikan II 1965. Sejak
itu prinsip pertapaan, setelah merumuskan diri kembali, adalah:
"terpisah, tapi terbuka," ujar Frans.
Rahib yang telah membiara 32 tahun itu juga menuturkan arti
pertapaan. "Gereja," katanya, "belum lengkap kalau belum ada
biara seperti ini Kadang-kadang, tanpa disadari, kami ini
mewakili masyarakat."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini