Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Bertapa, tapi bukan di gua

Pertapaan rawaseneng, temanggung (jateng), merupakan satu-satunya pertapaan gereja katolik di indonesia, berulang tahun. (ag)

16 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-diam ada yang berulang tahun: Pertapaan Rawaseneng, di Temanggung, Jawa Tengah, 1 April lalu. Ini satu-satunya pertapaan Gereja Katolik di Indonesia - dari satu ordo (tarekat) yang para anggotanya memang hanya bertapa. Namanya: Ordo Trappist. Jumlah mereka pun hanya sedikit sekarang ini 30 rahib dan calon rahib, termasuk empat yang berkebangsaan Belanda. Terletak antara Gunung Sindoro dan Gunung Ungaran, 527 meter di atas muka laut, kompleks 20 ha itu dikelilingi lembah. Dua buah jalan tanpa aspal, sepanjang 6 km dari Kecamatan Kandangan, menuntun orang ke sana. Dan dari tempat sayup-sayup itulah terdengar suara lonceng secara teratur, sejak pukul 03.00 dinihari sampai 9 00 malam. Lonceng itu menandai tiap perpindahan dalam acara rutin mereka setiap hari. Puku103.00 itu mereka bangun, dan seperempat jam kemudian memulai ibadatpertama. Berikutnya acara ibadat, doa pribadi, "bacaan suci", pelajaran dan studi. perayaan ekaristi, dan khusus hari Minggu "doa pemeriksaan batin", memakan sekitar 9,5 jam sehari. Seperti juga anggota biara kuno, mereka pun mencukupi hidup sendiri. "Tak ada bantuan dari luar," kata Rama Frans Harjawiyata, 52 tahun, pemimpin (istilahnya: abas) pertapaan itu. Memang, tak ada lagi sekarang rahib yang secara bergilir ditugasi berkeliling minta sedekah, sebagai konsekuensi kaul mereka untuk hidup melarat. Di Rawaseneng itu mereka memiliki 180 ha perkebunan kopi, cengkih, dan buah-buahan, plus 112 ekor sapi perah ditambah 50 ekor babi. Daging-daging itu bukan untuk mereka, sebab para rahib tersebut hanya makan sayur-sayuran. Melainkan untuk keperluan biara, setelah dijual ke Semarang, misalnya di samping memberi upah lebih dari 100 KK dari sekitar situ yang memelihara ternak dan menggarap tanah biara yang luas itu. (Di Rawaseneng sendiri terdapat 90 KK Katolik dan 110 KK Islam, menrut Lurah Hardjo Hadisumarto). "Kita tidak bisa berdoa kalau perut lapar," kata Frans lagi. Karena itu semua rahib di situ juga bekerja - di ladang, peternakan, atau perpustakaan biara yang punya 5.000 buku itu, misalnya. Jumlah jam kerja seluruhnya 4,5 jam sehari - kecuali agaknya untuk yang lanjut usia. (Usia para rahib 21-82 tahun). Dan hanya itulah tugas mereka. Para pengikut De Rance' yang memimpin Biara La Trappe 1664-1700 itu (yang mendasarkan diri pada Ordo Sisteriensis dari St. Bernardus - 1221 - yang mengangkut semangat pertapaan St. Benedictus, 480), bukanlah para pengasuh umat. Bukan pemimpin Jemaat di gereJa, atau pekerja sosial - meski bisa saja mereka "dibon" untuk mengajar misalnya. Mereka khusus berdoa. Memang, mereka tidak pernah tinggal di gua seperti Benedictus. Tapi para rohaniawan ini, meski sekarang hidup di gedung berlistrik (dengan generator sendiri), tetap tidur di dipan kayu beralas tikar. Makan di piring seng, minum dengan cawan seng. Sedang berbicara, dalam teori, dibatasi. Tak ada pesawat TV bahkan radio. Hanya di ruang dan kamar tamu sebuah tape recorder, kulkas, gelas dan piring porselin, serta tempat tidur berkasur pakai kelambu, disediakan. "Memang berat," kata Romo DavidBue, 42 tahun, rahib asal Flores yang bertugas sebagai Humas. "Kalau tidak, tidak akan 150 orang minggat dari sini" dihitung sejak biara itu berdiri, 30 tahun lalu. Dan memang itulah usia biara sampai 1 April lalu. Berdiri pada 1953, waktu itu masih merupakan cabang biaya di Tilburg, Nederland. Baru lima tahun kemudian diberi status otonom, danApril 1978 ditingkatkan menjadi ke,abasan. Frans Harjawiyata pun dipanggil pulang dari Pertapaan Tilburg itu untuk menjadi abas pertama. Adapun pemilihan tempat Rawaseneng tentunya karena, selain cocok, tempat itu bekas sekolah pertanian asuhan Bruder Budi Mulia, lengkap dengan asrama, gereja dan perkebunan, yang terikuat dibumihanguskan rakyat di tengah kekacauan "aksi polisionil" Belanda 1948. Tapi penunjukan empat di Jawa Tengah juga cocok: Di sini kita mengenal istilah nyepi, mtih, dan sebagainya," kata Rama Frans pula. Dan terbukti, pengunjung umat Katolik banyak sekali - untuk melakukan retret perenungan sementara. Dalam setahun, menurut Rama Oomen, 67 tahun, salah seorang tokoh pendiri berkebangsaan Belanda yang tetap di situ, tercatat 22.000 orang datang untuk 1-3 hari. Mereka dikenai pembayaran Rp 2.500 per hari, lengkap ongkos makan seadanya. Penerimaan umat buat retret itu sesuai dengan kebijaksanaan baru setelah Konsili Vatikan II 1965. Sejak itu prinsip pertapaan, setelah merumuskan diri kembali, adalah: "terpisah, tapi terbuka," ujar Frans. Rahib yang telah membiara 32 tahun itu juga menuturkan arti pertapaan. "Gereja," katanya, "belum lengkap kalau belum ada biara seperti ini Kadang-kadang, tanpa disadari, kami ini mewakili masyarakat."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus