Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Lihat Tanpa Alat Bantu, Begini Gerhana Matahari Bisa Merusak Mata

Hati-hati menikmati gerhana Matahari cincin, atau yang akan terlihat dari wilayah Indonesia sebagai gerhana matahari sebagian, Minggu 21 Juni 2020.

19 Juni 2020 | 14.30 WIB

Warga menggunakan kacamata matahari saat mengamati fenomena Gerhana Matahari Cincin (GMC) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 26 Desember 2019. Pengelola Taman Ismail Marzuki (TIM) menyediakan 13 teropong bintang untuk masyarakat menyaksikan fenomena Gerhana Matahari Cincin. TEMPO / Hilman Fathurrahman W
Perbesar
Warga menggunakan kacamata matahari saat mengamati fenomena Gerhana Matahari Cincin (GMC) di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis, 26 Desember 2019. Pengelola Taman Ismail Marzuki (TIM) menyediakan 13 teropong bintang untuk masyarakat menyaksikan fenomena Gerhana Matahari Cincin. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta - Gerhana Matahari cincin, atau yang akan terlihat dari wilayah Indonesia sebagai gerhana matahari sebagian, pada Minggu 21 Juni 2020, jangan sampai dilihat dengan mata telanjang. Mungkin tidak akan dirasa, tapi sinar matahari yang datang langsung itu bisa merusak retina.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Dampak atau peringatan itu seperti yang disampaikan Dalam rangkaian artikel yang terbit di JAMA Ophthalmology. Di sana disebutkan bahwa mengekspos mata telanjang ke sinar matahari menyebabkan retinopati matahari (retinopati fotik atau retinitis surya), yang melibatkan dua jenis kerusakan retina: luka bakar dan toksisitas fotokimia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

David Calkins dan Paul Sternberg dari The Vanderbilt Eye Institute di Nashville, Tennessee, Amerika Serikat, mencatat, sebagian besar sinar Matahari adalah radiasi inframerah dekat. Panjang gelombangnya yang 700 hingga 1.500 nanometer dapat menyebabkan panas dan efek membakar. “Karena mata kekurangan reseptor rasa sakit, kita dapat membakar fovea tanpa menyadarinya saat kita memandang Matahari,” tulis keduanya.

 

Gerhana matahari dalam fase cincin beberapa waktu lalu, dipotret dari Balikpapan, Kalimantan Timur. Kredit: Novi Abdi/Antara

 

Fovea adalah bagian depan dari retina yang bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan. Namun, para ahli mata juga mengkhawatirkan efek lainnya yakni toksisitas fotokimia. 'Tembakan' besar cahaya tampak dari Matahari akan diredam oleh bahan fotoaktif di mata untuk membentuk radikal bebas dan spesies oksigen reaktif. Hal itu termasuk protein heme, melanosom, lipofuscin, dan bahan kimia lainnya.

Yang hanya dirasa mungkin hanya gatal pada mata. Tapi, setelah dihasilkan, radikal bebas dan spesies oksigen reaktif dapat menyerang banyak jenis molekul dan memecah membran, yang menyebabkan kerusakan jaringan dan kematian sel. Khusus jaringan retina, dia tidak dapat beregenerasi lagi jika sudah dihancurkan.

Para penulis mengatakan bahwa penelitian terhadap 45 orang yang merusak mata mereka selama gerhana 1999 di Inggris mendukung dugaan bahwa toksisitas fotokimia sering menjadi penyebab kerusakan penglihatan pada retinopati matahari. Dalam kasus itu, sebagian besar kerusakan tidak permanen.

Sebanyak empat dari 45 yang melaporkan gejala yang menetap ketidaknyamanan dan masalah penglihatan setelah tujuh bulan. Tetapi, tentu saja, kerusakan yang tidak dapat diperbaiki lebih mungkin terjadi dengan eksposur yang lebih panjang dan besar.

Sebuah laporan kasus yang diterbitkan oleh Ta C. Chang dan Kara Cavuoto dari Bascom Palmer Eye Institute dari Universitas Miami merinci cedera yang berlangsung lama seperti itu pada seorang remaja perempuan berusia 12 tahun. Dia menderita kerusakan penglihatan parah setelah menatap Matahari penuh selama sekitar satu menit.

Para ahli mata mempresentasikan gambar retina yang rusak, salah satunya diperoleh dengan optical coherence tomography (OCT), semacam ultrasound mata yang menggunakan cahaya untuk membuat gambar jaringan cross-sectional. Gambar menunjukkan bintik-bintik terang di fovea di mana segmen fotoreseptor telah rusak.

Peneliti dari Pusat Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Rhorom Priyatikanto menyarankan mereka yang ingin menyaksikan fenomena gerhana matahari pada Minggu 21 Juni nanti menggunakan kamera lubang jarum, atau menggunakan kacamata las. Dua alat atau metode ini disebutnya yang paling aman.

Menurut Rhorom, kacamata hitam atau pun polaroid tidak disarankan untuk melihat Matahari langsung karena masih banyak cahaya yang melewatinya. Pun dengan melalui pantulan Matahari di air. Alasannya, saat Matahari ada pada ketinggian 45 derajat, daya pantul air sudah cukup tinggi sehingga akan menyilaukan.

Bahkan penggunaan plastik mika juga tidak disarankan. Sekalipun membuatnya lebih redup, Rhorom mengatakan plastik itu masih bisa ditembus spektrum sinar Matahari. "Kamera lubang jarum itu bisa jadi alternatif yang lebih aman," kata ahli bidang astronomi dan astrofisika itu saat dihubungi, Kamis malam, 18 Juni 2020.

JAMA OPHTHALMOLOGY | ARSTECHNICA

Zacharias Wuragil

Zacharias Wuragil

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus