PERISTIWA pembelotan hampir semua saksi dan terdakwa dalam proses persidangan kasus Marsinah di Pengadilan Surabaya menimbulkan reaksi keras dari para praktisi dan teoretisi hukum (legal community). Pembelotan di sini diartikan sebagai pencabutan keterangan yang bersangkutan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), karena mengaku tak tahan terhadap tekanan dan siksaan sewaktu diperiksa dalam penyidikan. Reaksi keras tersebut wajar, karena kesadaran hukum para warga negara sudah semakin meningkat sebagai salah satu hasil pembangunan, khususnya dalam pendidikan politik. Tanpa mengesampingkan asas praduga tak bersalah (presumption of innosence), di kalangan hukum hal tersebut sangat menarik perhatian. Di samping memenuhi rumusan Pasal 422 KUHP (pemerasan pengakuan) dan jiwa KUHAP (profesionalisme dalam sistem peradilan pidana), maka juga bertolak belakang dengan konvensi internasional yang sudah diratifikasi Indonesia yakni: Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (1984). Membaca pemberitaan mass media tentang dakwaan penyiksaan terhadap para pelaku dan saksi tersebut cukup membuat bulu kuduk kita berdiri semua. Apabila benar, itu harus segera diselesaikan secara hukum, agar di kemudian hari tak terjadi lagi -- tanpa memandang bulu siapa yang melakukannya. Dalam kategori gradasi pelanggaran hak-hak asasi manusia, penyiksaan dalam proses penyidikan tersebut termasuk kategori pelanggaran yang menjijikkan (gross violation). Termasuk kategori ini antara lain adalah: penahanan yang tidak sah (unlawful detention), pelanggaran terhadap asas peradilan yang adil (fair trial), penyiksaan (torture), dan pelbagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia dalam kaitannya dengan kehidupan kemerdekaan dan keamanan manusia (life, liberty and security of person). Reaksi keras tersebut pada dasarnya mengarah pada siapa yang berwenang untuk meluruskan jalannya peradilan pidana itu. Meluruskan mempunyai pelbagai dimensi makna, yang bersumber pada hakikat untuk tidak menyudutkan salah satu instansi atau pihak-pihak tertentu, melainkan mencakup pelbagai usaha untuk menempatkan masalahnya secara proporsional berdasarkan kebenaran formal dan materiil (bukan kebenaran formal semata- mata atas dasar BAP). Pemikiran-pemikiran di atas untuk menghindari terjadinya kesesatan peradilan (miscarriage of justice) yang dapat menimbulkan kerusakan sosial (social damages) yang sulit diperbaiki. Sejumlah pengamat hukum mendesak agar Mahkamah Agung segera menghentikan persidangan kasus Marsinah, untuk menghindari kesesatan dan kerusakan tersebut. Penghentian persidangan di atas jangan diartikan secara sempit dan bersifat langsung, sebab apabila demikian jelas tidak akan mempunyai dasar hukum yang kuat. Berdasar Pasal 18 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985, kekuasaan Mahkamah Agung terbatas pada memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa tentang kewenangan mengadili dan permohonan peninjauan kembali. Pemahaman terhadap istilah penghentian persidangan yang bersifat sempit dan langsung tersebut, di samping tak ada landasan hukumnya, juga akan bertentangan dengan asas kebebasan peradilan yang dijamin oleh UUD 1945. Secara internasional akan bertolak belakang dengan instrumen internasional yaitu Basic Principles on the Independence of the Judiciary yang sudah disahkan (endorsed) oleh Sidang Umum PBB pada tahun 1985. Sebaliknya apabila istilah tersebut diartikan secara luas dan tidak langsung, maka akan muncul dimensi-dimensi positif dari sistem peradilan pidana. Hal ini didasarkan pada Pasal 37 UU No. 14 Th. 1985 yang menegaskan bahwa Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga Tinggi Negara yang lain. Kewenangan tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengaktualisasikan Pasal 1 UU No. 11/Drt/1954 yang pada dasarnya menegaskan bahwa Mahkamah Agung, atas permintaan Menteri Kehakiman, secara tertulis dapat memberikan nasihat kepada Presiden agar memberikan abolisi (penghentian penuntutan) terhadap orang-orang yang didakwa telah melakukan tindak pidana, atas kepentingan negara. Dalam kasus Marsinah tersebut kepentingan perlindungan tegaknya hukum dan keadilan di negara hukum jelas sangat relevan dengan kepentingan negara sebagai badan hukum (unlawful gathering of evidences). Dengan demikian makna penghentian per-sidangan melalui prosedur abolisi. Jadi bersifat tidak langsung. Dalam rangka ini, komisi pencari fakta harus bekerja cepat dan apabila hasilnya positif, dapat dijadikan landasan Mahkamah Agung untuk mengusulkan abolisi kepada Presiden. Abolisi sendiri hasil akhirnya adalah penghentian penuntutan yang bermakna pula sebagai penghentian persidangan. Terlepas dari hal-hal di atas, para ahli hukum pidana di Indonesia saat ini sangat mendambakan beberapa hal. Pertama, adalah kebenaran para penegak hukum untuk tidak berpikir semata-mata yuridis-normatif, tapi berusaha keras untuk mencari kebenaran materiil. Kedua, berkembangnya yurisprudensi dalam bidang hukum acara (misalnya saja keberanian hakim untuk menolak BAP yang tak meyakinkan dan dirumuskan secara tidak sah), dalam rangka mengisi kekosongan-kekosongan pengaturan dalam KUHAP. Ketiga, mantapnya perlindungan hak asasi manusia dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). Keempat, pemanfaatan lembaga-lembaga fatwa Mahkamah Agung dan Mahkejapol untuk menggalakkan keberanian para hakim untuk mengembangkan kebijakan peradilan pidana (judicial discretion) yang dapat menjaga keseimbangan antara ketertiban umum (public order) dan hak-hak individual (individual rights). Termasuk di sini keberanian hakim untuk membebaskan para terdakwa apabila ia tak yakin terhadap kebenaran alat-alat bukti yang diajukan di pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini