Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Memutus Petaka Limbah Berwarna

Peneliti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengembangkan pengolah limbah cair berwarna. Alat ini bisa mengurai limbah tekstil lebih cepat.

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETAKA itu datang di kaki Gunung Lawu, Jawa Tengah. Ketika hari mulai mekar, Kliwon Darmo Pranoto tertegun di depan sumurnya. Muka lelaki itu tiba-tiba keruh. Ia kaget karena tak ada lagi air bening di sumurnya. Semuanya berubah menjadi kuning kemerah-merahan. Baunya pun anyir. ”Jika dipakai mandi terasa licin seperti mengandung minyak,” kata Kliwon, Ketua RW 05 Desa Sawahan.

Kondisi air seperti itu tak hanya menimpa sumur Kliwon, tapi juga puluhan sumur lain di Desa Sawahan dan Sembungan, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Airnya menguning. Beberapa penduduk ada yang nekat memakai air kuning itu. Akibatnya, terasa gatal-gatal di sekujur tubuh. Penduduk pun cemas.

Sudah bertahun-tahun warga mandi dan mencuci dengan air sumur di wilayah tadi, tak pernah mereka mengalami musibah seperti itu. Mereka kebingungan mencari air bersih. Mau beralih ke air ledeng, mereka tak mampu bayar. ”Warga di sini kebanyakan dari golongan miskin,” ujar Kliwon memberi alasan.

Tudingan pun tertuju pada pabrik tekstil yang mengepung desa. Bukan apa-apa. Karanganyar memang sentra pabrik tekstil berkapasitas besar. Ternyata tudingan tak salah bidik. Berdasarkan pengujian laboratorium Balai Riset Standardisasi Industri dan Perdagangan di Semarang, ada kesamaan kandungan bahan kimia antara empat sumur warga dan sumur pabrik tekstil. Hal itu diakui pula oleh Sartono, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Karanganyar.

Cerita warga yang terkena imbas limbah tekstil sebenarnya bukan hal baru. Datanglah ke pinggiran Bandung, Jawa Barat, di sekitar daerah Rancaekek. Di sana, air got tiap hari berganti-ganti warna. Hari ini ungu, besok merah, lusa menjadi hijau. Selama ini memang banyak pabrik tekstil yang membuang limbah cairnya, yang kaya warna dan tak mengalami pengolahan, langsung ke saluran irigasi umum. Inilah biang petaka.

”Zat warna itu membuat ekosistem perairan terganggu dan mengancam kesehatan masyarakat,” kata Junani Kartawirya, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta. Pewarna tekstil itu, menurut Junani, bisa meracuni lingkungan karena umumnya ikatan kimianya berasal dari senyawa organik yang berantai panjang dan berbentuk tak linier. Senyawa model ini sulit dipecah ikatannya, sehingga sulit terurai.

Rudi Nugroho, peneliti pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sependapat dengan Junani. Menurut dia, sifat warna dari bahan kimia ditentukan dari ikatannya. ”Jika ikatan kimianya sudah terpotong-potong, maka warna limbah akan hilang,” kata pria yang menyelesaikan doktor Teknik Kimia dari Universitas Oita, Kyusu, Jepang, itu.

Salah satu contoh senyawa yang ada pada zat warna adalah senyawa azo dyes. Masalahnya, kata Rudi, senyawa organik tersebut, jika diurai dengan proses biologi, bisa butuh waktu berhari-hari. Akibatnya, limbah dalam reaktor penampungan mengendap lama.

Persoalan itulah yang mendorong Rudi bersama tiga rekannya dari Kelompok Teknologi Pengelolaan Air Bersih dan Limbah Cair BPPT mencari akal untuk menghilangkan warna limbah tekstil. Dari studi literatur yang dimulai pada Februari 2004, dipilihlah proses oksidasi tingkat lanjut atau Advanced Oxidation Process (AOPs). Oksidasi adalah proses menambahkan oksigen.

Oksidator (sumber oksigen) yang digunakan adalah hidrogen peroksida dan ozon. Pertimbangannya, reaksi dua oksidator tersebut menghasilkan radikal hidroksil (OH). Radikal aktif inilah yang akan berperan memotong senyawa organik yang ada pada limbah.

Sebagai permulaan, Rudi bersama koleganya melakukan uji skala laboratorium. Caranya dengan memasukkan limbah tekstil ke dalam tabung gelas yang sudah berisi hidrogen peroksida dan dialiri ozon melalui diffuser. Adapun limbah cair yang diuji berasal dari industri pencelupan celana jins yang ada di daerah Sukabumi Udik, Jakarta Barat. ”Dalam hitungan menit, warna limbah sudah hilang,” katanya.

Hasil tersebut memompa tim BPPT untuk membuat prototipe penghilang warna limbah. Pekerjaan yang dimulai pertengahan Juli 2004 itu menghabiskan waktu satu bulan. Hasilnya, rangkaian prototipe terdiri dari pembangkit ozon, kompresor udara, pengatur aliran udara (flow meter), dan penyebar ozon (diffuser).

Lalu pada Oktober 2004, Rudi bersama sejawatnya memboyong prototipe tersebut ke Laboratorium Balai Besar Kimia dan Kemasan milik Departemen Perindustrian dan Perdagangan di Pasar Rebo, Jakarta. Di tempat inilah uji coba skala pilot dilakukan. Adapun sampel yang diuji berasal dari limbah batik yang ada di kawasan industri Jababeka, Cikarang, Bekasi.

Konsentrasi limbah yang diuji sekitar 2500 PtCo (Platinum Cobalt). PtCo merupakan indikator penunjuk intensitas warna. Namun, setelah lima jam diproses memakai teknologi AOPs, air limbah tak lagi pekat. Konsentrasinya pun turun menjadi 1200 PtCo. Rudi gembira. ”Hilangnya warna menunjukkan bahwa pengolah limbah berhasil memutus ikatan kimia limbah.”

Hasil pengujian juga menunjukkan bahwa angka chemical oxygen demand atau COD (jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengurai limbah) sedikit berkurang. COD adalah salah satu indikator yang harus dipenuhi agar limbah berada di bawah standar mutu yang ditetapkan. Meski begitu, demi memenuhi persyaratan, limbah tekstil tadi masih harus diolah lagi, sebab aplikasi teknolo gi AOPs lebih dikhususkan untuk menghilangkan warna air limbah, bukan memperbaiki angka COD.

Meski demikian, bukan berarti prototipe yang sudah menghabiskan total biaya Rp 80 juta itu tak ada gunanya. Buktinya, ikatan kimia yang terputus membuat sifat racun air limbah berkurang. Alhasil, limbah menjadi lebih mudah diurai pada proses biologi selanjutnya.

Kisah sedap tadi membuat Rudi dan rekan-rekannya mulai menjajaki kerja sama dengan industri. Salah satunya adalah pengelola kawasan Jababeka. Mereka akan menjajal pada skala yang lebih besar, yakni reaktor berkapasitas limbah 10 meter kubik per hari.

Gayung bersambut. ”Tujuannya agar kami yakin bahwa sistem dan teknologi yang dikembangkan BPPT tidak salah,” kata Sumartono, Manajer Waste Water Treatment Plant Jababeka. Rencana itu akan mulai dicoba tahun depan.

Untuk pengolahan limbah itu, tim BPPT cuma memungut biaya operasional Rp 4.300 per meter kubik limbah. Harga itu, kata Rudi, bisa lebih murah lagi bila diterapkan pada skala lebih besar. Rudi yakin teknologi rancangannya akan banyak membantu kalangan industri mengurangi petaka di sekitar pabrik seperti yang dialami Kliwon dan warga Desa Sawahan dan Sembungan.

Yandhrie Arvian, Anas Syahirul (Karanganyar)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus