SEORANG arsitek Mesir datang ke Amerika. Ia ditanya komentarnya
tentang kota New York. Ia pun menunjuk ke sebuah pohon, lalu
menjawab: "Pohon itu lebih bijaksana ketimbang manusia."
Hassan Fathy, sang arsitek, dengan cara itu ingin menunjukkan
perbandingan antara ciptaan Tuhan yang nampaknya bersahaja
dengan ciptaan manusia yang nampaknya mencengangkan. "Setiap
daun di pohon itu diletakkan di tempat ia dapat mengambil sinar
matahari, angin dan lain-lain. Dan bila saya berfikir tentang
New York, di mana tuan cuma meletakkan manusia yang satu di atas
yang lain, pohon itu lebih bijaksana."
Dan itulah salah satu dari kritik Fathy atas cara penyelesaian
Barat dalam menghadapi masalah pemukiman manusia Lebih tiga
puluh tahun yang lalu, di Mesir Fathy sudah tampil dengan
penyelesaian tersendiri. Di desa Gourna ia membangun sebuah
kampung baru bersama petani miskin -- dengan belajar dari teknik
yang dipakai di sebuah desa dekat Aswan, dan menggunakan bahan
setempat yang bersahaja. Hasilnya suatu Gourna Baru yang
artistik bersih, murah, dan tak terasa asing bagi orang desa di
situ: serentetan bangunan -- termasuk mesjid, pasar, teater,
sekolah dan gereja untuk kelompok Kristen -- yang dibangun
dengan partisipasi penduduk sendiri.
Proyek Gourna tak selesai. Ia terhambat keruwetan aparat
pemerintah Mesir waktu itu. Tapi Fathy mendokumentasikan
eksperimennya, yang kemudian terbit dalam bentuk buku yang
berjudul Gourna: Kisah Dua Desa. Buku ini di tahun 1974
diterbitkan kembali di Amerika dengan nama Architecture for the
Poor -- dan mendapat sambutan hangat. Di dalam tahun 70-an,
ketika masalah kemiskinan Dunia Ketiga begitu nampak, dan
perkara pemukiman serta lingkungan begitu ramai diprihatinkan
orang, karya Fathy hadir sebagai inspirasi.
Apa Itu Semangat Islam?
Bukan kebetulan pula jika nama Fathy tetap disebut-sebut pekan
lalu, dalam seminar yang diselenggarakan The Aga Khan Award for
Architecture di Hotel Hilton, Jakarta. Fathy sendiri tak bisa
datang, karena usianya yang lanjut. Tapi ia adalah satu dari 6
anggota Panitia Pengarah yang dipimpin Aga Khan IV sendiri.
Seorang Aga Khan memang jarang terdengar tertarik kepada masalah
arsitektur dan lingkungan. Tapi Aga Khan IV, 43 tahun, berbeda
dengan kakekkakeknya, bersekolah di Universitas Iarvard (lihat
Pokok & Tokoh). Ia banyak membangun kompleks perumahan, sekolah,
rumah sakit.
Suatu ketika ia merencanakan membangun sebuah rumah sakit di
Karachi, dan kepada perancangnya ia minta agar "Semangat Islam"
tercermin di sana. Tapi tentang itu timbullah diskusi. Rumah
sakit itu memang rampung, tapi jawaban belum memuaskan. Aga Khan
IV pun mendirikan suatu yayasan, The Aga Khan Award for
Architecture, untuk membangkitkan minat dan ikhtiar ke pemecahan
masalah lingkungan fisik yang sesuai bagi dunia Islam.
Seperti dikatakan Aga Khan IV sendiri, prioritas pertama
yayasannya memang sengaja diletakkan pada arsitektur. "Sebab
kami prihatin di masa depan nmti kita punya lingkungan fisik
yang tak ada sangkut-pautnya dengan sejarah kita,
latarbelakang, rakyat, keyakinan dan tradisi kita," kata Aga
Khan IV atas pertanyaan TEMPO pekan lalu. "Kita tengah
menghancurkan masa lalu kita dan kini kita banyak mengimpor,
atau membuat, masa depan tanpa memikirkan masa silam itu."
"Modernisasi" Mekah
Namun adakah masa lampau bisa sepenuhnya menjawab? Dalam
eksperimen Fathy di Gourna, pengalaman petani ribuan tahun itu
memang memecahkan soal. Masalahnya, adakah resep itu harus
berupa "resep Islam" -- setelah resep Barat dalam bidang
perumahan dan perencanaan kota lebih banyak menimbulkan
ketimpangan di Dunia Ketiga?
Bagi sebagian ahli yang ikut dalam seminar pertama Aga Khan di
Aiglemont, Perancis, (Jakarta adalah tempat seminar ke 3),
tradisi Islam nampaknya mengandung jawaban yang baik. Istilah
"arsitektur" memang istilah baru bai kamus muslim. Tapi seperti
kata Abuzeid Rageh, seorang arsitek Mesir bahasa Islam mengenal
kata 'umran yang berarti arsitektur, tapi juga berarti
perencanaan, sosiologi dan peradaban - sebagaimana dipergunakan
Ibn Khaldun dalam karyanya Muqaddimah. Itu saja menunjukkan
adanya satu konsep yang mengakui perkaitan lingkungan fisik
dengan pola kehidupan manusianya.
Sarjana Perancis Jacques Berque bahkan menyatakan betapa Qur'an
sendiri -- juga sejarah awal Islam -- cukup memberi inspirasi
tentang kehidupan urban. Berque menunjuk Medinah, al-Madina,
dari mana Islam sebagai masyarakat mekar, dan dari mana
"republik kenabian" bermula. Ahli tentang masyarakat muslimin
dari College de France ini kemudian melontarkan gagasan ke arah
sebuah model, sebuah madina di masa depan.
Madina untuk umat Islam memang harus sesuai dengan tradisi yang
dikenal umat Islam bukan lingkungan asing yang membikin orang
terkesima tapi tak merasa tenteram. Yang merepotkan ialah bahwa
banyak orang di negeri Islam kini membangun lingkungan fisiknya
dengan semangat menderu-deru seirama semburan petrodollar.
Istana para pangeran, juga sejumlah gedung penting negeri-negeri
Teluk di jazirah Arab, mengkilap seperti gigi emas besar-besar.
Rumah penduduk dan hotel dibangun tanpa sempat lagi merenungkan
perlunya harmoni antara bangunan, manusia dan alam. Semuanya
dibangun dari semangat zaman yang boros energi -- mobil, AC,
eskalator, semen.
Bahkan Mekah, kota suci, tak terlepas dari hal buruk itu.
Seorang arsitek kelahiran Mekah, Said Moussali, mengeluh. Bukan
karena rumah kelahirannya kena gusur daiam pembangunan kota,
tapi ia melihat betapa Mekah telah jadi korban konsep
"modernisasi" gaya tahun 50 dan 60-an ia dibangun untuk
memanjakan mobil, dan ia dipenuhi apartemen bertingkat 15 --
yang cuma penuh waktu musim Haji.
Uraian Moussali disetujui oleh arsitek Iran Nader Ardalan, yang
menyatakan telah mendokumentasikan kota Mekah dan bangunan
sekitar Ka'bah: ia prihatin bahwa pusat sembahyang 800 juta
muslimin itu "kini tengah kehilangan tingkat keluhurannya."
Salah satu krisis terbesar yang kita hadapi, kata Ardalan, ialah
kenyataan bahwa "persis pusat suci Islam itu sendiri sedang
merosot dalam arti bentuk fisik serta kwalitasnya."
Jika keadaannya begitu, bagaimana tradisi dan filsafat Islam
bisa jadi alternatif yang meyakinkan?
Tapi keprihatinan memang selalu jadi thema besar dalam seminar
seperti ini Yayasan yang didirikan Aga Khan IV juga lahir dari
rasa risau dan tanda tanya. Tapi tanpa itu semua, tak mungkin
ada jawab. Meskipun masih lama. Setelah seminar ketiganya di
Jakarta, akan menyusul tiga seminar lagi di negeri lain.
Sumbangan pengalaman dan pemikiran dari para ahli di Indonesia
sendiri nampaknya belum banyak. Mungkin karena di sini para
pemikir belum sempat jadi matang, baik yang Islam atau pun yang
bukan, sementara klien para arsitek itu tetap harus dilayani.
Kekuatan pasar, kekuatan politik dari suatu selera dan sikap,
pada akhirnya sering leblh menentukan rusak atau baiknya suatu
lingkungan fisik. Meskipun akhirnya toh semua orang ikut
terkena. Sekurang-kurangnya "tiap gedung yang buruk merupakan
suatu penghinaan bagi orang yang lewat di depannya," seperti
kata Hassan Fathy.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini