Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mencari Madina, Bersama Aga khan

Seminar internasional yang disponsori Aga Khan di hotel Hilton Jakarta, Hassan Fathy satu dari 6 anggota panitia pengarah. Kritiknya atas cara penyelesaian dalam menghadapi pemukiman manusia. (ilt)

7 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG arsitek Mesir datang ke Amerika. Ia ditanya komentarnya tentang kota New York. Ia pun menunjuk ke sebuah pohon, lalu menjawab: "Pohon itu lebih bijaksana ketimbang manusia." Hassan Fathy, sang arsitek, dengan cara itu ingin menunjukkan perbandingan antara ciptaan Tuhan yang nampaknya bersahaja dengan ciptaan manusia yang nampaknya mencengangkan. "Setiap daun di pohon itu diletakkan di tempat ia dapat mengambil sinar matahari, angin dan lain-lain. Dan bila saya berfikir tentang New York, di mana tuan cuma meletakkan manusia yang satu di atas yang lain, pohon itu lebih bijaksana." Dan itulah salah satu dari kritik Fathy atas cara penyelesaian Barat dalam menghadapi masalah pemukiman manusia Lebih tiga puluh tahun yang lalu, di Mesir Fathy sudah tampil dengan penyelesaian tersendiri. Di desa Gourna ia membangun sebuah kampung baru bersama petani miskin -- dengan belajar dari teknik yang dipakai di sebuah desa dekat Aswan, dan menggunakan bahan setempat yang bersahaja. Hasilnya suatu Gourna Baru yang artistik bersih, murah, dan tak terasa asing bagi orang desa di situ: serentetan bangunan -- termasuk mesjid, pasar, teater, sekolah dan gereja untuk kelompok Kristen -- yang dibangun dengan partisipasi penduduk sendiri. Proyek Gourna tak selesai. Ia terhambat keruwetan aparat pemerintah Mesir waktu itu. Tapi Fathy mendokumentasikan eksperimennya, yang kemudian terbit dalam bentuk buku yang berjudul Gourna: Kisah Dua Desa. Buku ini di tahun 1974 diterbitkan kembali di Amerika dengan nama Architecture for the Poor -- dan mendapat sambutan hangat. Di dalam tahun 70-an, ketika masalah kemiskinan Dunia Ketiga begitu nampak, dan perkara pemukiman serta lingkungan begitu ramai diprihatinkan orang, karya Fathy hadir sebagai inspirasi. Apa Itu Semangat Islam? Bukan kebetulan pula jika nama Fathy tetap disebut-sebut pekan lalu, dalam seminar yang diselenggarakan The Aga Khan Award for Architecture di Hotel Hilton, Jakarta. Fathy sendiri tak bisa datang, karena usianya yang lanjut. Tapi ia adalah satu dari 6 anggota Panitia Pengarah yang dipimpin Aga Khan IV sendiri. Seorang Aga Khan memang jarang terdengar tertarik kepada masalah arsitektur dan lingkungan. Tapi Aga Khan IV, 43 tahun, berbeda dengan kakekkakeknya, bersekolah di Universitas Iarvard (lihat Pokok & Tokoh). Ia banyak membangun kompleks perumahan, sekolah, rumah sakit. Suatu ketika ia merencanakan membangun sebuah rumah sakit di Karachi, dan kepada perancangnya ia minta agar "Semangat Islam" tercermin di sana. Tapi tentang itu timbullah diskusi. Rumah sakit itu memang rampung, tapi jawaban belum memuaskan. Aga Khan IV pun mendirikan suatu yayasan, The Aga Khan Award for Architecture, untuk membangkitkan minat dan ikhtiar ke pemecahan masalah lingkungan fisik yang sesuai bagi dunia Islam. Seperti dikatakan Aga Khan IV sendiri, prioritas pertama yayasannya memang sengaja diletakkan pada arsitektur. "Sebab kami prihatin di masa depan nmti kita punya lingkungan fisik yang tak ada sangkut-pautnya dengan sejarah kita, latarbelakang, rakyat, keyakinan dan tradisi kita," kata Aga Khan IV atas pertanyaan TEMPO pekan lalu. "Kita tengah menghancurkan masa lalu kita dan kini kita banyak mengimpor, atau membuat, masa depan tanpa memikirkan masa silam itu." "Modernisasi" Mekah Namun adakah masa lampau bisa sepenuhnya menjawab? Dalam eksperimen Fathy di Gourna, pengalaman petani ribuan tahun itu memang memecahkan soal. Masalahnya, adakah resep itu harus berupa "resep Islam" -- setelah resep Barat dalam bidang perumahan dan perencanaan kota lebih banyak menimbulkan ketimpangan di Dunia Ketiga? Bagi sebagian ahli yang ikut dalam seminar pertama Aga Khan di Aiglemont, Perancis, (Jakarta adalah tempat seminar ke 3), tradisi Islam nampaknya mengandung jawaban yang baik. Istilah "arsitektur" memang istilah baru bai kamus muslim. Tapi seperti kata Abuzeid Rageh, seorang arsitek Mesir bahasa Islam mengenal kata 'umran yang berarti arsitektur, tapi juga berarti perencanaan, sosiologi dan peradaban - sebagaimana dipergunakan Ibn Khaldun dalam karyanya Muqaddimah. Itu saja menunjukkan adanya satu konsep yang mengakui perkaitan lingkungan fisik dengan pola kehidupan manusianya. Sarjana Perancis Jacques Berque bahkan menyatakan betapa Qur'an sendiri -- juga sejarah awal Islam -- cukup memberi inspirasi tentang kehidupan urban. Berque menunjuk Medinah, al-Madina, dari mana Islam sebagai masyarakat mekar, dan dari mana "republik kenabian" bermula. Ahli tentang masyarakat muslimin dari College de France ini kemudian melontarkan gagasan ke arah sebuah model, sebuah madina di masa depan. Madina untuk umat Islam memang harus sesuai dengan tradisi yang dikenal umat Islam bukan lingkungan asing yang membikin orang terkesima tapi tak merasa tenteram. Yang merepotkan ialah bahwa banyak orang di negeri Islam kini membangun lingkungan fisiknya dengan semangat menderu-deru seirama semburan petrodollar. Istana para pangeran, juga sejumlah gedung penting negeri-negeri Teluk di jazirah Arab, mengkilap seperti gigi emas besar-besar. Rumah penduduk dan hotel dibangun tanpa sempat lagi merenungkan perlunya harmoni antara bangunan, manusia dan alam. Semuanya dibangun dari semangat zaman yang boros energi -- mobil, AC, eskalator, semen. Bahkan Mekah, kota suci, tak terlepas dari hal buruk itu. Seorang arsitek kelahiran Mekah, Said Moussali, mengeluh. Bukan karena rumah kelahirannya kena gusur daiam pembangunan kota, tapi ia melihat betapa Mekah telah jadi korban konsep "modernisasi" gaya tahun 50 dan 60-an ia dibangun untuk memanjakan mobil, dan ia dipenuhi apartemen bertingkat 15 -- yang cuma penuh waktu musim Haji. Uraian Moussali disetujui oleh arsitek Iran Nader Ardalan, yang menyatakan telah mendokumentasikan kota Mekah dan bangunan sekitar Ka'bah: ia prihatin bahwa pusat sembahyang 800 juta muslimin itu "kini tengah kehilangan tingkat keluhurannya." Salah satu krisis terbesar yang kita hadapi, kata Ardalan, ialah kenyataan bahwa "persis pusat suci Islam itu sendiri sedang merosot dalam arti bentuk fisik serta kwalitasnya." Jika keadaannya begitu, bagaimana tradisi dan filsafat Islam bisa jadi alternatif yang meyakinkan? Tapi keprihatinan memang selalu jadi thema besar dalam seminar seperti ini Yayasan yang didirikan Aga Khan IV juga lahir dari rasa risau dan tanda tanya. Tapi tanpa itu semua, tak mungkin ada jawab. Meskipun masih lama. Setelah seminar ketiganya di Jakarta, akan menyusul tiga seminar lagi di negeri lain. Sumbangan pengalaman dan pemikiran dari para ahli di Indonesia sendiri nampaknya belum banyak. Mungkin karena di sini para pemikir belum sempat jadi matang, baik yang Islam atau pun yang bukan, sementara klien para arsitek itu tetap harus dilayani. Kekuatan pasar, kekuatan politik dari suatu selera dan sikap, pada akhirnya sering leblh menentukan rusak atau baiknya suatu lingkungan fisik. Meskipun akhirnya toh semua orang ikut terkena. Sekurang-kurangnya "tiap gedung yang buruk merupakan suatu penghinaan bagi orang yang lewat di depannya," seperti kata Hassan Fathy.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus