Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Qur'an indonesia, antara bombay...

Qur'an indonesia akan distandarisasikan, ide untuk ini diilhami oleh qur'an braille. (ag)

14 April 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENTUK tulisan Quran, di Indonesia, akan menjadi seragam. Rabu dua pekan lalu keluar Keputusan Menteri Agama tentang "Penetapan Mushaf Al Quran Standar". Selama ini mushaf (baca: mus-haf buku Quran) yang beredar di kalangan kita cukup beragam, dalam model tulisan. Yang paling populer adalah yang disebut mushaf Bombay, lalu mushaf Mesir. Walaupun demikian, yang esensial di sini sebenarnya bukan soal bentuk. Seperti dituturkan K.H. Amin Nashir, salah seorang ulama Quran yang terlibat dalam usaha standardisasi ini, perbedaan yang menyolok terutama terletak pada tanda baca. Pada mushaf terbitan Arab (Mesir, tapi juga Arab Saudi, Libanon, bahkan Turki) sangat sering tak dijumpai tanda mati (sukun) pada akhir ayat. Bagi orang Arab, itu sudah terpahami dengan sendirinya. Tapi bagi kita, lain. Sementara itu, mushaf Bombay sangat penuh tanda baca - 12 jenis - sehingga, untuk mengurangi kemungkinan kebingungan orang kita, tanda-tanda itu dikurangi menjadi hanya tujuh buah. Bahwa perbedaan bisa mempengaruhi cara membaca - setidaknya bagi yang baru mengeja - bisa dilihat dari, misalnya, pemakaian huruf Arab zai. Selama ini, perletakan huruf itu berarti: boleh berhenti membaca tapi lebih baik terus. Di sebagian mushaf lain, di tempat zai itu diletakkan huruf-huruf shad-lam-ya (shilii). Artinya: terus saja. Dan bagaimana dengan di mushaf standar? . . . Coret. Juga dalam usaha menghilangkan kemungkinan salah baca, bila tulisan ana diputuskan untuk dilengkapi dengan sebuah tanda. Dalam semua mushaf, ana (artinya: aku) selalu ditulis dengan na panjang: anaaa. Tapi di negeri mana pun orang akan membacanya pendek. Maka, diberilah sebuah tanda di dekat alif (huruf yang selalu dipakai memanjangkan vokal a) yang memberitahu tak dipakainya huruf itu. Pengubahan seperti itu bukan perkara kecil. Pertama, huruf-huruf Quran sendiri sudah baku. Ia merupakan pengembangan - tanpa mengubah prinsip - dari huru-huruf dalam naskah yang ditulis kembali dengan "ejaan baru" pada masa Khalifah Usman, tahun 25-30 Hijri. Warisan Usman itu bisa dilihat pada, misalnya, kata sholaah (salat) yang dipertahankan sampai kini. Di situ tidak terdapat huruf alif sebagai pemanjang bunyi la, melainkan huruf wau. Singkatnya, tulisan Quran tidak sama dengan tulisan Arab biasa. Tapi itu mengenai huruf. Mengenai tanda-tanda di luar huruf, terutama waqaf (tanda berhenti) yang bermacam ragam itu, ada keuntungan: mereka diciptakan pada masa yang lebih belakang. Dan tanda-tanda itulah yang kemudian menjadi begitu beragam. Memang, semua mushaf yang diterbitkan di Indonesia tak bisa lolos sebelum mendapat tanda tashih (tas-hih, pengesahan koreksian) dari Departemen Agama. Lembaga tashih itu sendiri - nama resminya: Lajnah Pentashih Mushaf Al Quran - dibentuk pada 1957 di bawah Menteri Agama K.H.M. Iljas, dua tahun sesudah kejadian yang banyak diingat orang ini: pembakaran beberapa ribu mushaf cetakan Bombay di Lapangan Banteng, persis pada hari Idulfitri, karena mengandung beberapa kesalahan. Tapi pembentukan lajnah tashih tidak dengan sendirinya melenyapkan kesemrawutan, meski tidak selalu berarti kesalahan. Apalagi anggota lajnah, dalam masa 27 tahun, sudah berganti-ganti, seperti dinyatakan H. Sawabi Ihsan M.A., ketuanya. Dengan kata lain, kerja mentashih Quran itu tak punya pedoman yang jelas benar. Itulah sebabnya diadakan Musyawarah Kerja Alim Ulama Ahli Al Quran, dari para kiai spesialis bidang itu di seluruh Indonesia, yang secara nasional bersidang setahun sekali - sejak 1974. Muker pertamanya dulu mencatat 88 ulama peserta. Dan pada Muker ke-10 akhir Maret lalu, selama dua hari di Masjid Istiqlal, Jakarta - pesertanya tinggal 40 . Memang ada yang berhalangan hadir, seperti K.H. Ali Ma'sum, tokoh NU yang memimpin pesantren Quran di Yogya. Tapi sembilan ulama dicatat sudah berpulang - antara lain K.H. Rahmatullah Siddiq, K.H. Iskandar Idris, dan Buya Hamka. Toh tugas itu rampung juga, syukurlah setelah membahas, menurut Sawabi, "seribu lima ratus halaman makalah dalam sepuluh tahun." Bulan Februari tahun lalu, dari Muker IX, Menteri Agama Alamsjah pun menerima tiga kopi induk yang siap, yang penulisan bakunya dikerjakan oleh Ustad Ahmad Syadli selama empat tahun - khattat alias kaligrafer yang kemudian meninggal sepuluh hari setelah menyelesaikannya. Toh naskah itu, yang sebelumnya lelah diteliti berbagai pihak di luar Muker, belum disiarkan. Diberi tenggang waktu setahun sampai pada Muker silam, untuk memberi kesempatan pada kemungkinan penemuan kesalahan, yang ternyata tak dijumpai. Yang diselesaikan para ulama itu sebenarnya tiga macam mushaf. Pertama, Utsmani (bersandar pada huruf naskah Utsman dulu), yaitu naskah "Quran biasa". Kedua, Mushaf Bahriyah, khusus untuk para hafizh, penghafal Quran. Ketiga, mushaf Braille, untuk para tunanetra (Lihat: Box). Seluruh penerbitan Quran di Indonesia mulai sekarang akan berkiblat ke situ - "ke mushaf Indonesia sendiri", seperti dikatakan Amin Nashir. Menurut Kiai Amin pula yang pertama kali mencita-citakan "Quran Indonesia" itu sebetulnya H.O.S. Tjokroaminoto, yang terkenal nasionalis itu. Kemudian, Menteri Agama Mukti Ali dulu berpesan agar tulisan yang dipakai tidak terlalu gendut seperti yang model Bombay dan tak terlalu kurus seperti yang Mesir - meskipun, setelah jadi, rasanya bentuk hurufnya seperti pada mushaf model Beirut. Mushaf itu akan dicetak sejumlah 500.000 dalam waktu dekat. Kepada para penerbit (di Indonesia dicetak sekitar 2,5 juta mushaf setiap tahun, dan jumlah itu masih di bawah kebutuhan) diberikan tenggang waktu dua tahun untuk "menyesuaikan diri". Mereka boleh tinggal mengkopi master yang tersimpan di Departemen Agama, boleh pula membuat tulisan baru, asalkan dalam penempatan tanda-tanda persis sama dengan pakem standar. "Tapi itu khusus untuk terbitan kita sendiri," kata Sawabi Ihsan. Mushaf impor, yang jumlahnya tak banyak, cukup bisa dibubuhi "keterangan pemakaian" - untuk menghindarkan pembaca dari kemungkinan kekeliruan kemudian diberi tanda izin beredar dari Lajnah Tashih. Lajnal itu sendiri masih akan tetap bekerja sebagai pengawas. Menteri Munawir Sjadzali dalam sambutannya pada Muker lalu yang diberikan oleh Kepala Badan Litbang Departemen Agama atas namanya menuturkan reaksi positif dari pihak-pihak resmi di Malaysia Singapura, dan Pakistan, yang didapat Menteri dari kunjungannya ke negeri-negeri itu belum lama ini. Malaysia dan Singapura sendiri mengirimkan wakil-wakilnya dalam Muker itu. Sedangkan Pakistan, dikatakan Menteri, dalam suatu undang-undang 1973 sudah mencantumkan perlunya Quran standar untuk menghindari kesalahan. Toh sekarang usaha itu, di sana, baru dimulai. Hasil Indonesia ini juga diharapkan bisa diperkenalkan kepada umat Islam di Brunei dan Filipina - Sawabi Ihsan sendiri dalam Muker ini membacakan prasaran Menuju Penyeragaman Al Quran di Kawasan Asia. Katanya, kepada TEMPO, para ulama di Muangthai juga memberi sambutan baik. Lalu Muker menyarankan kepada Menteri Agama agar mushaf standar itu ditempatkan pula di Masjidil Haram di Mekah dan Masjid Nabawi di Madinah. Sedangkan mereka sendiri berniat menerjemahkan lima buku rujukan yang mereka buat - antara lain tentang indeks waqaf, indeks perbedaan penulisan Utsmani dan Bahriyah, dan pedoman mentashih mushaf Quran - ke bahasa-bahasa Arab dan Inggris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus