Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Menerapkan Baby Method English, lembaga di Banyuwangi lolos Program Organisasi Penggerak.
Sejumlah lembaga menganggap ada institusi yang tak layak menerima dana hibah.
Yayasan Heka Leka di Ambon, yang menjangkau wilayah kepulauan, tak lolos Program Organisasi Penggerak.
SEKAT-sekat kaca memisahkan sejumlah ruangan di rumah toko yang digunakan American English Course (AEC) Perhotelan di Dusun Krajan, Desa Genteng Wetan, Kecamatan Genteng, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Di dalam bangunan seluas sekitar 200 meter persegi itu, terdapat kelas dengan daya tampung lebih-kurang 40 kursi. Ada juga ruang praktik yang ditata layaknya kamar hotel. “AEC merupakan anak lembaga dari Yayasan Nurhidayah,” kata Irawan, Kepala AEC sekaligus pembina Yayasan Nurhidayah, saat ditemui Tempo pada Rabu, 29 Juli lalu. Menurut Irawan, yayasan itu berfokus di program pendidikan bahasa Inggris, perhotelan, dan tata boga.
Nama Nurhidayah mencuat setelah yayasan itu lolos dalam Program Organisasi Penggerak yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Program itu bertujuan mengembangkan kompetensi guru dan kepala sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD), taman kanak-kanak, sekolah dasar, serta sekolah menengah pertama. Dari 4.464 lembaga yang mengajukan proposal, hanya 156 yang lolos. Mereka yang terpilih mendapat dana hibah dari Kementerian Pendidikan sesuai dengan kelasnya. Ada tiga kelas, yaitu Gajah, dengan bantuan maksimal Rp 20 miliar; Macan, senilai Rp 5 miliar; dan Kijang, sebesar Rp 1 miliar per tahun.
Saat mengajukan proposal berjudul “Baby Method English”, Irawan menyodorkan anggaran Rp 1 miliar untuk pelatihan terhadap 100 SMP di tiga kabupaten, yaitu Banyuwangi, Jember, dan Lumajang. Proposal ini masuk kategori Kijang. Namun, ketika Kementerian Pendidikan mengumumkan lembaga yang lolos, proposal Irawan naik kelas menjadi Gajah. Irawan tak menyangka bakal mendapat duit hingga Rp 20 miliar untuk menggelar pelatihan. Dia menduga hal itu lantaran proposalnya menarik serta metode yang digunakan unik dan tak membosankan.
Menurut Irawan, seperti namanya, Baby Method English merupakan pelatihan bahasa Inggris dengan metode bayi. Peserta hanya melihat, mendengar, dan menirukan seperti bayi belajar bahasa pertama kali dengan ibunya. “Tidak ada satu pun bayi yang gagal belajar bahasa dengan orang tuanya. Itu kami jadikan metode untuk belajar bahasa Inggris,” kata Irawan. Materi program ini diberikan secara online melalui video dan rekaman suara.
Dalam video yang diunggah pada 25 April lalu di akun YouTube “AEC Genteng”, Irawan terlihat mengajarkan metode tersebut. Menganggap dirinya sebagai ibu dan peserta sebagai bayi, ia mencontohkan cara mengucapkan dia laki-laki dan dia perempuan dalam bahasa Inggris. “Bahasa Inggrisnya he and she. Kalau orang sana kebanyakan digabung, ya. Hinsi... he and she. Hinsi,” ujar Irawan.
Sejumlah lembaga mempertanyakan metode bayi tersebut. Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah Kasiyarno menilai proposal Nurhidayah tak semestinya lolos lantaran programnya tak jelas. Ketua Dewan Pengawas Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti juga mempersoalkan materi pelatihan Nurhidayah. Retno menilai metode untuk bayi tidak cocok digunakan buat guru dan kepala sekolah.
Irawan membantah tudingan bahwa metode yang digunakannya tak jelas. Apalagi, kata dia, proposal yang diajukannya pada Maret lalu telah diverifikasi SMERU Research Institute. Pada Juni lalu, lembaga itu datang ke kantor AEC dan mengecek semua persyaratan, seperti legalitas badan hukum serta laporan keuangan. “Dicek dari pagi sampai malam. Jadi jangan dibilang kami ini abal-abal,” ujarnya. Irawan lalu menunjukkan akreditasi yang didapat AEC dari Dinas Pendidikan dan Tenaga Kerja Banyuwangi. Juga sertifikat juara kedua lembaga berprestasi dalam Banyuwangi Education Award 2019.
Peneliti senior SMERU Research Institute, Daniel Suryadarma, enggan berkomentar tentang hasil verifikasi yang digelar lembaganya terhadap proposal yang diajukan calon peserta. “Saya tak berhak memberikan keterangan. Tanyakan ke Kementerian Pendidikan,” tuturnya. Sedangkan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Iwan Syahril mengatakan Yayasan Nurhidayah bisa masuk kategori Gajah karena programnya diajukan untuk lebih dari 100 sekolah. “Pengajuan biaya bisa sampai maksimal Rp 20 miliar, meski tidak harus sebesar itu,” ujarnya.
Iwan mengklaim pemerintah tak sembarangan mengevaluasi proposal dan rekam jejak calon peserta. Evaluasi dan penelusuran itu, kata dia, dilakukan SMERU Research Institute. Iwan juga mengklaim Kementerian Pendidikan tak melakukan intervensi terhadap SMERU yang menguntungkan lembaga tertentu.
Bukan hanya Nurhidayah, sejumlah peserta lain yang lolos mendapat sorotan. Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah Kasiyarno menilai ada sejumlah organisasi setingkat bimbingan belajar atau paguyuban yang lolos Program Organisasi Penggerak. Enggan menyebut nama institusi yang dimaksud, Kasiyarno menilai lembaga-lembaga itu juga tak memiliki rekam jejak di bidang pendidikan.
Penilaian senada disampaikan Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Arifin Junaidi. Dia menyayangkan Kementerian Pendidikan meloloskan sejumlah lembaga yang tak memiliki sekolah sendiri. Arifin membandingkan lembaga-lembaga itu dengan NU dan Muhammadiyah, yang memiliki riwayat panjang di bidang pendidikan.
Ketua Bidang Pendidikan Masyarakat Profesional Nahdlatul Ulama Circle Ahmad Rizali menilai, dari ribuan lembaga yang dinyatakan tak lolos, sebagian justru layak menerima dana hibah. Dia mencontohkan Yayasan Heka Leka, yang berbasis di Ambon. Berdiri sejak 2011, organisasi nirlaba ini berfokus pada sektor pendidikan. Yayasan tersebut menerima hibah dari Kedutaan Selandia Baru melalui program New Zealand Head of Embassy Fund periode 2019-2020.
Pendiri Yayasan Heka Leka, Stanley Ferdinandus, tak mengetahui alasan lembaganya tak lolos Program Organisasi Penggerak. Stanley mengajukan proposal senilai Rp 8 miliar yang akan digunakan untuk meningkatkan pendidikan anak usia dini dengan sasaran awal 30 taman kanak-kanak dan PAUD. Anggaran itu cukup besar karena programnya menjangkau daerah kepulauan.
Stanley mengetahui kabar bahwa lembaganya tak lolos dari kawannya yang menjadi konsultan di Kementerian Pendidikan pada pertengahan Juli lalu. “Tak ada pemberitahuan apa pun dari Kementerian Pendidikan,” katanya. Meski Heka Leka tak lolos, Stanley tak mempersoalkan masalah itu. Dia berharap Kementerian Pendidikan bisa memperbaiki sistem seleksi program serupa sehingga lembaga yang terpilih benar-benar kredibel memberikan pelatihan.
DEVY ERNIS, DAVID PRIYASIDHARTA (BANYUWANGI)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo