SAMPAH bukan lagi masalah, bahkan bisa menjadi berkah. Dua orang dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya, Gerry Corres de Vries dan Achmad Sadik, belum lama ini membuktikannya. Melampaui proses penelitian sejak 1997, mereka berhasil mengembangkan teknologi untuk mendaur ulang sampah menjadi berbagai produk berguna, dari pupuk kompos, briket arang, bahan eternit, mebel, plywood, cetakan pintu, batu bata, asbes putih, sampai lem.
Ide merekayasa aneka produk dari sampah itu berawal dari sebuah lomba penelitian untuk pengabdian masyarakat yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1997. Gerry, yang memperoleh gelar master di bidang epistemologi dan kesehatan lingkungan di Swedia, berhasrat mengembangkan teknologi daur ulang sampah yang sederhana dan bisa diterapkan secara murah di masyarakat.
Namun, Gerry, yang sekarang sedang mengerjakan tesis doktornya, membatasi obyek penelitiannya hanya pada sampah organik, bukan sampah anorganik seperti bekas botol dan plastik. Sampah organik itu berasal dari sampah dapur rumah tangga dan sampah daun ataupun ranting. Sampah dapur diolahnya menjadi kompos atau pupuk tanaman. Sedangkan sampah yang lama membusuk, berupa daun dan ranting, dibuat menjadi briket arang.
Teknik pembuatan briketnya sederhana. Daun dan ranting cuma dibakar dalam sebuah drum besar yang sudah dimodifikasi. Setelah menghitam, tapi tak sampai gosong, bahan itu dihaluskan dengan blender. Hasil penghalusan seperti pasir ini kemudian dicampur dengan daun cemara yang mengandung terpentin dan batok kelapa. Hal ini dimaksudkan agar hasil briketnya bisa mudah dibakar dan tahan lama. "Tadi-nya kami menggunakan bahan campuran dari zat kimia tertentu, tapi mahal," ujar Gerry.
Hasil pencampuran itu lantas dicetak dengan alat pengepres sederhana berbentuk tabung-tabung kecil yang tingginya sekitar 10 sentimeter dengan diameter sekitar 5 sentimeter. Hasil cetakan itulah yang menjadi briket arang dan bisa mendidihkan seliter air selama 12 menit, lebih cepat dua menit ketimbang briket batu bara. Kelebihan lainnya, briket arang Gerry tak perlu direndam minyak tanah sebelum digunakan?seperti pada briket batu bara. Asapnya juga lebih sedikit.
Namun, briket Gerry masih menyisakan abu setelah digunakan. Di sinilah peran rekan Gerry, Sadik. Ia mencampur abu tersebut dengan zat kimia tertentu, untuk kemudian dicetak menjadi pelbagai bentuk sesuai dengan kebutuhan. "Bahan ini bisa menjadi bahan pengganti untuk pembuatan eternit, mebel, dan plywood," kata Sadik sambil memperlihatkan sepotong asbes putih hasil buatannya kepada Wahyu Dhyatmika dari TEMPO.
Agaknya, sinergi antara Gerry, peranakan Indo-Belanda, dan Sadik, asal Madura, cukup serasi. Mereka bisa menghasilkan teknologi sederhana untuk masyarakat. Peralatan yang digunakan pun ada di sekitar masyarakat. Untuk blender dalam proses pembuatan briket, misalnya, mereka menggunakan bekas mesin sepeda motor Honda sebagai penggeraknya. Sedangkan alat pencetak briket hanya berasal dari besi bekas rel kereta api.
Untuk memasyarakatkan teknologi praktis dan sederhana itu, bahkan Gerry sempat melatih segenap masyarakat di kawasan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup di Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, selama enam bulan. Apakah masyarakat akan menerapkan teknologi itu nantinya, tentu ini bukan lagi wewenang Gerry dan Sadik selaku peneliti.
Yang jelas, Gerry juga menghasilkan batu bata dari teknologi mendaur ulang sampah tadi. Sedangkan Sadik pun bisa membuat lem dari sampah tulang ayam. Memang, keduanya mengakui, mutu dan kekuatan pelbagai produk dari sampah itu masih perlu diuji dan disempurnakan lagi. Mungkin, "Tinggal mengatur komposisi kimiawi dan bahan dasarnya," ucap Sadik.
Toh, mereka merasa yakin bahwa aneka bahan bangunan dari hasil penelitian itu lebih murah ketimbang bahan serupa yang kini ada di pasaran. Soalnya, bahan dasarnya kan cuma sampah.
Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini