TAK seperti masa Orde Baru, MPR sekarang tak cuma muncul sekali dalam lima tahun. Bahkan tahun 2001 ini lembaga tertinggi negara itu akan dua kali unjuk gigi, mungkin dalam waktu hampir bersamaan pada Agustus 2001, yakni dalam peristiwa sidang istimewa dan sidang tahunan. Dua acara penting itu diperkirakan akan menelan biaya masing-masing Rp 20 miliar, sehingga totalnya sekitar Rp 40 miliar.
Pada saat kondisi perekonomian belum kunjung membaik sekarang ini, tentu dana Rp 40 miliar tergolong besar. Tak mengherankan bila sebagian masyarakat berpendapat agar dua acara MPR itu digabung biar irit. Atau cukup satu acara, yakni Sidang Istimewa MPR. "Kalau sudah ada sidang istimewa, mestinya sidang tahunan tak perlu ada. Itu kan penghamburan uang negara," kata ahli hukum tata negara di Universitas Padjadjaran, Bandung, Sri Soemantri.
Anggota Panitia Ad Hoc I di Badan Pekerja MPR, Baharuddin Aritonang, mengaku sempat mengusulkan agar sidang istimewa dan sidang tahunan MPR digabung. Tapi, katanya, usul itu ditolak oleh koleganya di MPR. Alasannya, selain teknis pelaksanaan dua sidang yang digabungkan itu amat susah, juga jenis acara dan dasar hukum kedua sidang itu berbeda.
Sidang Istimewa MPR dilakukan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor III Tahun 1978. Sedangkan sidang tahunan MPR didasarkan pada Ketetapan MPR Nomor IV Tahun 1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Ketetapan MPR Nomor I Tahun 2000 tentang Tata Tertib MPR.
Kalau demikian, dana besar tadi akankah seimbang dengan hasil bagus dari dua acara MPR? Sidang Istimewa MPR jelas agendanya adalah meminta pertanggungjawaban presiden, sebagai kelanjutan dari proses memorandum (peringatan) I dan II dari DPR. Sedangkan sidang tahunan MPR, selain akan diisi dengan kegiatan lanjutan mengamandemen UUD 1945, juga meminta laporan pelaksanaan GBHN dari lima lembaga tinggi negara, yaitu presiden, DPR, Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
Tak bisa dimungkiri, amandemen UUD 1945 tentu sangat penting. Sebab, konstitusi sebagai desain utama negara yang dibuat semasa perang dan terburu-buru itu banyak mengandung lubang serius dan konseptual. UUD 1945 antara lain memberikan kekuasaan amat besar kepada presiden. Sistem tata negara dalam UUD 1945 juga tak jelas: presidensial ataukah parlementer. Bahkan pengisian anggota MPR sebagai manifestasi kedaulatan rakyat tak ada dalam UUD 1945.
Persoalannya, bagaimana dengan agenda laporan pelaksanaan GBHN oleh lembaga tinggi negara, terutama presiden, bila dihubungkan dengan acara Sidang Istimewa MPR. Bila pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid ditolak dalam Sidang Istimewa MPR, lantas ia diberhentikan oleh MPR dan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri diangkat sebagai presiden.
Katakanlah kondisi itu terjadi. Bagaimana mungkin Megawati yang baru dalam hitungan hari, bahkan mungkin jam, menjadi presiden diharuskan memberikan laporan pelaksanaan GBHN. Padahal, Megawati baru akan menjalankan GBHN untuk sisa masa tugas dari presiden sebelumnya.
Menurut Sri Soemantri, bila kejadiannya seperti itu, tentu Megawati tak perlu menyampaikan laporan pelaksanaan GBHN kepada MPR. Dengan kalimat lain, tak ada acara laporan presiden pada sidang tahunan MPR. "Lha wong, Megawati belum menjalankan apa-apa," ujar Sri Soemantri.
Sebaliknya, andaikanlah pula pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid diterima oleh MPR dalam sidang istimewa. Berarti, Presiden Abdurrahman dinilai tak melanggar GBHN oleh MPR, sehingga bisa dikukuhkan kembali kedudukannya sebagai presiden. Kalau dianggap tak melanggar GBHN, untuk apa pula Presiden diminta membuat laporan pelaksanaan GBHN?
Masih ada lagi persoalan, yakni bagaimana mengatur urutan acara sidang tahunan dan sidang istimewa agar pertanggungjawaban presiden di sidang istimewa lebih dulu ketimbang laporan pelaksanaan GBHN oleh presiden di sidang tahunan.
Agaknya, masalah hubungan antara presiden dan MPR bisa menjadi tegas bila soal impeachment (pemecatan presiden oleh MPR) ada dalam amandemen UUD 1945. Kalau begini, tak perlu ada sidang tahunan MPR, khususnya untuk acara laporan pelaksanaan GBHN oleh presiden kepada MPR. Sebab, begitu presiden dianggap melanggar GBHN, DPR setiap saat bisa mengusulkan MPR untuk bersidang istimewa. Itu pun tak perlu lagi dengan proses memorandum DPR, yang memakan waktu empat bulan.
Hps., Ahmad Taufik, Hendriko L. Wiremmer, dan Adi Mawardi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini