Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Asal Omong, Bayar Miliaran

Suripto menuding Abdurrahman Wahid bohong. Ginandjar menuduh Chatibul Umam memfitnahnya. Tergugat bisa dihukum miliaran rupiah?

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGGUGAT orang yang asal ngomong agaknya menjadi mode buat sebagian bekas pejabat. Bahkan, yang digugat tak tanggung-tanggung, yakni Presiden Abdurrahman Wahid. Itulah yang dilakukan mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Suripto, Senin pekan lalu, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Boleh jadi aksi hukum Suripto, yang dilakukannya setelah tak menjabat lagi, akan menjadi pukulan telak buat Presiden Abdurrahman, yang dikenal gampang berbicara sesukanya. Rupanya, Suripto memerkarakan ucapan Abdurrahman ketika minta agar Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nurmahmudi, pada akhir 1999, mendepaknya dari Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Waktu itu, Abdurrahman mengemukakan tiga alasan untuk mencopot Suripto. Pertama, Suripto diinformasikan akan melakukan makar. Kedua, bekas intel di Badan Koordinasi Intelijen Negara itu menyelundupkan kayu ke luar negeri. Ketiga, Suripto membantu Tommy Soeharto kabur dengan helikopter Depar-temen Kehutanan dan Perkebunan. Nurmahmudi lantas mengecek cerita Abdurrahman. Ternyata, omongan Abdurrahman tak benar. Toh, omongan itu telanjur beredar di media masa. Tentu saja Suripto merasa berita dari cerita Abdurrahman itu telah mencemarkan nama baiknya, juga membuat keluarganya tertekan. "Omongan Gus Dur itu fitnah dan bohong semua," ujar kuasa hukum Suripto, Masiga Bugis. Akibatnya, Suripto pun menggugat Abdurrahman. Ia menuntut ganti rugi Rp 3,75 miliar dari sang Presiden, sebesar kekayaan Abdurrahman yang diumumkan oleh Komisi Penyelidik Kekayaan Penyelenggara Negara. Untuk memperkuat tuntutan, Suripto menyiapkan Nurmahmudi sebagai saksi. Sampai pekan lalu, belum jelas bagaimana tanggapan Presiden atas gugatan Suripto. Rencananya, Senin pekan ini, pihak Kejaksaan Agung selaku pengacara negara yang mewakili Presiden akan menyampaikan jawaban mereka. Tak berbeda dengan Suripto, Wakil Ketua MPR dari Golkar, Ginandjar Kartasasmita, juga menggugat pejabat negara, dalam hal ini Chatibul Umam Wiranu, anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Melalui gugatan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu, Ginandjar, yang dikenal karibnya dengan panggilan Jonie, menuntut Chatibul membayar ganti rugi Rp 1 miliar dan membuat pernyataan maaf di media massa. Menurut gugatan Ginandjar, Chatibul di sela sidang paripurna DPR, 31 Mei 2001, menyatakan kepada sebuah stasiun televisi swasta tentang indikasi Ginandjar meng-mark-up perjanjian antara Caltex dan Pertamina. Diduga, Ginandjar memperoleh Rp 550 miliar dari perjanjian itu. Sidang paripurna DPR itu akhirnya berujung dengan permintaan DPR agar MPR bersidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Tapi bukan soal hasil sidang DPR lagi yang membuat Jonie berang, melainkan pernyataan Chatibul tadi. "Ucapan Chatibul bohong," kata Mohamad Assegaf, kuasa hukum Ginandjar. Namun, Chatibul tampaknya tenang-tenang saja menanggapi gugatan Ginandjar. "Sebagai anggota DPR, saya kan juga menyandang tugas untuk memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme," ujar Wakil Sekretaris Jenderal Partai Kebangkitan Bangsa itu. Kendati demikian, Chatibul menganggap ucapannya bukan menuduh Ginandjar melakukan korupsi, melainkan hanya menduga kemungkinan Ginandjar melakukan korupsi ketika menjadi Menteri Pertambangan dan Energi. Mungkinkah Ginandjar dan Suripto menang? Yang jelas, sebelumnya, mantan Menteri Pertambangan dan Energi I.B. Sudjana telah memanen kemenangan dari gugatan pencemaran nama baik di pengadilan. Ia memenangi ganti rugi Rp 10 miliar dari pengacara Ginandjar, Muchyar Yara, dan ganti rugi Rp 1 miliar dari pengusaha Fadel Muhamad. Muchyar digugat lantaran acap menyebut Sudjana sebagai menteri boneka. Sedangkan Fadel dituntut karena menuding Sudjana telah mengambil alih secara tidak sah saham Fadel di proyek listrik swasta Patuha. Adakah gugatan pencemaran nama baik seperti di atas akan kian banyak, apalagi setelah Sidang Istimewa MPR pada Agustus 2001? Hendriko L. Wiremmer, Setiyardi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus