Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peristiwa hari tanpa bayangan di Indonesia yang bergulir sejak 21 Februari hingga 4 Maret lalu bisa digunakan untuk mengukur keliling bumi. Tanpa harus benar-benar berkeliling bumi, alat untuk mengukurnya begitu sederhana, yaitu sebatang tongkat yang ditancapkan ke tanah. Ditambah sedikit imajinasi, pengukur lalu menghitung jarak lingkaran bumi dengan persamaan matematika dasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota komunitas astronomi Langit Selatan Bandung, Aldino Adry Baskoro, mengatakan penemu metode itu adalah Eratosthenes. Ilmuwan kelahiran Libya yang hidup sekitar 276-196 sebelum Masehi itu merupakan pengelola Perpustakaan Besar Alexandria di Mesir. Pengukuran diameter bumi Eratosthenes menjadi sebuah warisan luar biasa bagi dunia astronomi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa asumsinya dalam pengukuran ini adalah bentuk bumi seperti bola yang sempurna, sinar matahari yang datang ke dua kota arah sinarnya sama-sama sejajar, serta jarak dua kota berada pada satu garis bujur yang sama.
Kini, menurut Aldino, ide pengukuran Eratosthenes digunakan sebagai cara belajar. Dia pernah mempraktikkannya bersama para siswa ketika terjadi musim hari tanpa bayangan di Indonesia yang waktunya dua kali dalam setahun.
Dari metode Eratosthenes itu, yang perlu ditentukan terlebih dulu adalah tempat spesial hari tanpa bayangan. "Kalau di Indonesia, tempat spesial itu di garis khatulistiwa," kata lulusan Astronomi ITB itu, Jumat pekan lalu. Tempat yang dilintasi garis ekuator itu, di antaranya, adalah Bonjol, sebuah kota kecamatan di Pasaman, Sumatera Barat, serta Kota Pontianak, Kalimantan Barat.
Hari tanpa bayangan di Pontianak, menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), akan terjadi pada 20 Maret mendatang sekitar pukul 11.50 WIB. Hari tanpa bayangan terjadi saat posisi matahari tepat berada di atas kepala, sehingga bayangan benda tegak tidak akan muncul karena menyatu dengan bendanya.
Setelah menentukan kota spesialnya, misalnya Pontianak, pengukur kemudian mencari kota atau daerah kedua yang tidak mengalami hari tanpa bayangan pada 20 Maret, tapi segaris dengan bujur. Garis bujur Pontianak ada pada rentang 109° 16’ 25"-109° 23’ 04" BT. Kota yang memenuhi syarat seperti itu di Jawa adalah Pemalang, Jawa Tengah, yang rentang garis bujurnya 109° 17’ 30"-109° 40’ 30" BT.
Pengukuran di Pemalang ditentukan pada 20 Maret pukul 11.50 WIB sesuai dengan momen hari tanpa bayangan di Pontianak. Kemudian, kata Aldino, tegakkan tongkat sepanjang 1 meter di permukaan datar, lalu ukur jarak dari tongkat ke bayangan benda untuk menemukan sudut yang terbentuk. Caranya adalah dengan menggunakan hubungan tangen atau perbandingan antara panjang bayangan dan tinggi tongkat.
Hasil perbandingan yang didapat adalah nilai tangen sudutnya. Untuk mendapatkan besar sudutnya, pengukur bisa menggunakan tabel trigonometri. Setelah itu, pengukur menghitung jarak Pontianak-Pemalang dengan garis lurus.
Data yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam rumus persamaan Eratosthenes. Sudut bayangan dengan tongkat dibagi 360 (derajat), sama dengan jarak Pontianak-Semarang dibagi keliling bumi. Pengukuran yang benar, kata Aldino, akan mendapatkan jarak keliling bumi pada angka 40 ribuan kilometer. "Lokasi pengukuran dengan kota mana pun dengan metode seperti itu akan sama hasilnya karena bumi diasumsikan bulat sempurna," ujarnya. ANWAR SISWADI | FIRMAN ATMAKUSUMA
Mengukur Keliling Bumi dengan Metode Eratosthenes
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo