Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Gempa Sumedang Jawa Barat yang terjadi pada Minggu, 31 Januari 2024 membuka babak baru bagi keilmuan dan penelitian kegempaan di Indonesia. Gempa di Sumedang memunculkan pelbagai fakta yang sebelumnya tampak kabur. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggelar webinar untuk mengupas tuntas Gempa Sumedang bermagnitudo M4,8 tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Webinar tersebut dihadiri berbagai pakar dalam hal geologi dan kegempaan. Kepala Pusat Gempa Bumi BMKG, Daryono menyampaikan, gempa di Sumedang pada akhir Januari 2024 terjadi secara berulang dan menimbulkan dampak kerusakan. Gempa ini berjenis kerak dangkal atau shallow crustal earthquake.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gempa di Sumedang dipicu oleh sesar aktif yang seluruh pelepasan energinya terkonsentrasi pada wilayah lokal. Hal tersebutlah yang menyebabkan gempa Sumedang memberi dampak kerusakan yang besar, walaupun skala magnitudonya tergolong kecil. "Lebih dari 149 bangunan rumah rusak," kata Daryono, Kamis 11 Januari 2024.
Daryono menjelaskan, gempa berjenis kerak dangkal yang terjadi di Sumedang berada di zona tanah lunak dan tebal. Kondisi ini memicu resonansi yang berujung ke amplifikasi atau penguatan gelombang gempa, sehingga walaupun gempanya dangkal bisa merusak dan mematikan.
Fenomena serupa juga pernah dirasakan di gempa Cianjur pada 2022 lalu, lebih dari 600 orang meninggal dunia. Daryono juga mencontohkan ke gempa Yogyakarta di tahun 2006, lebih dari 6000 orang meninggal dunia. Terjadinya gempa jenis kerak dangkal di Sumedang, menurut Daryono menjadi pelajaran penting bagi Indonesia untuk melakukan mitigasi konkrit dan perwujudan bangunan dengan struktur yang kuat.
Para ahli turut memperkirakan gempa Sumedang dipicu oleh aktivitas sesar aktif, Daryono sepakat dengan pandangan tersebut. Walakin hingga kini belum bisa dipastikan lokasi dan sesar aktif yang menyebabkan gempa Sumedang.
Lebih lanjut, Daryono menduga gempa Sumedang adalah perulangan atau aktivitas yang sama dengan bencana gempa 14 Agustus 1955 lampau. Gempa Sumedang memberi pesan agar para peneliti dan masyarakat tidak melupakan sejarah kegempaan di masa lalu, khususnya di daerah yang pernah terjadi gempa seperti Sumedang.
Daryono merujuk kepada konsep return period dalam seismologi, istilah ini diartikan pula dengan periode perulangan gempa. "Gempa yang pernah terjadi di suatu tempat, satu saat akan terjadi lagi," ujar Daryono. Ia mengimbau supaya tidak melupakan sejarah kegempaan di daerah masing-masing.
Selain itu, konsep return period dikatakan Daryono turut memberi dampak positif, terutama mengenai mitigasi dan penanggulangan bencana di daerah yang ada di Indonesia. Para pejabat terkait bisa berkaca dengan kegempaan di masa lampau, bagaimana dampak risikonya juga harus sejalan dalam hal kesiapsiagaan dan mitigasinya.
"Periode ulang gempa memberi pesan kepada kita akan pentingnya kesiapsiagaan atau preparedness terhadap bencana gempa bumi yang mungkin terjadi di masa yang akan datang," kata Daryono.
Sementara itu, Dosen Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Gayatri Indah Marliyani mengatakan gempa Sumedang disebabkan oleh aktivitas sesar aktif. Kendati demikian belum bisa digambarkan secara detail sesar aktif mana yang menjadi penyebabnya.
Berdasarkan catatan yang dimiliki Gayatri perihal kegempaan di Pulau Jawa semisal di gempa Sumedang, ia menilai keberadaan sesar aktif masih sulit untuk dipetakan dengan metode konvensional. Sebab itu pula masih banyak analisis atau kemunculan istilah sesar aktif, setelah terjadinya gempa atau bencana.
Selain itu menurut Gayatri, identifikasi parameter sesar aktif juga memerlukan pendekatan multidisiplin, misalnya dari keilmuan geologi, geodesi, geofisika dan seismologi. "Gempa Sumedang berasal dari sesar di darat, adanya kerusakan signifikan berkaitan dengan kedalaman gempa dangkal dan episenternya dekat dengan area padat penduduk," ujar Gayatri.
Gayatri menyampaikan bahwa sesar aktif secara terminologi diartikan sebagai sesar yang menyebabkan deformasi paling tidak satu kali dalam kurun waktu 50 ribu tahun, serta memiliki sejarah 500 ribu tahun yang lalu.
Berkaca dari gempa Sumedang yang sulit dideteksi di mana akvitas sesar aktifnya, menurut Gayatri juga hal yang lumrah dengan mempertimbangkan kondisi tanah di Indonesia.Walau sudah banyak metode untuk mendapatkan kajian terkait sesar aktif, hal ini juga dibarengi dengan tantangan yang besar dalam pengujiannya.
Tantangan studi sesar aktif di Indonesia salah satunya adalah lokasi yang rawan gempa dan curah hujan tinggi di wilayah itu. "Jika gempa meninggalkan jejak dalam beberapa meter, lalu tiba-tiba hujan maka jejak atau bukti ini akan tersapu dengan cepat. Makanya itu menjadi tantangan dan sulit untuk mengidentifikasinya," ujar Gayatri.
Ditambah lagi dengan area permukiman penduduk yang semakin ramai, lokasi-lokasi sesar aktif di masa lampau bahkan bisa terlupakan dan malah didirikan bangunan di atas tanah dengan potensi bahaya. Selain itu, tingginya aktivitas vulkanik juga membuat sedimen mengubur jejak sesar seperti batuan yang seharusnya bisa diteliti.
Pilihan Editor: Top 3 Tekno Berita Hari Ini: Menkeu Ingatkan Penerima Beasiswa LPDP untuk Pulang, Daya Tampung Jalur SNBP dan SNBT IPB
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.