Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HERCULE POIROT berkata: "Biarkan sel-sel kelabu di dalam batok kepala bekerja." Tokoh detektif berotak cemerlang dalam novel-novel Agatha Christie itu memang selalu membanggakan hasil kerja sel-sel kelabu di kepalanya untuk memecahkan kerumitan kasus pembunuhan. Poirot sangat bangga dengan kemampuan sel-sel kelabunya, karena dengan hanya duduk di dalam rumah saja, Poirot bisa menyelesaikan kasus-kasus kompleks.
Sementara Poirot adalah penikmat kerja otak, Arvid Carlsson, Paul Greengard, dan Eric Kandel adalah ilmuwan peneliti cara kerja sel-sel kelabu. Dan setelah puluhan tahun melakukan penelitian, mereka bersama-sama memperoleh penghargaan Nobel Bidang Kesehatan Tahun 2000, dan memperoleh hadiah US$ 915 ribu.
Penghargaan prestisius itu diberikan karena mereka mampu menguak misteri sel-sel kelabu, yaitu bagaimana sel-sel itu mengirimkan pesan satu sama lain, atau disebut "slow synaptic transmission". Transmisi seperti itu antara lain berfungsi mengatur bagaimana kita bicara dan bagaimana otot bekerja. Penemuan itu bisa menjadi dasar untuk mengembangkan obat-obat bagi penderita Parkinson, Alzheimer, dan penyakit-penyakit lain yang menyerang saraf di otak.
Sebenarnya, satu ilmuwan Swedia dan dua warga negara Amerika Serikat itu melakukan penelitian sendiri-sendiri. Benang merah yang menghubungkan kerja mereka adalah bagaimana sel-sel otak bekerja dengan normal, sehingga mereka bisa tahu persis kapan otak manusia mengalami salah fungsi (disorder). "Riset itu merupakan lompatan jauh ke depan dalam pemahaman sebab-sebab kerusakan saraf otak dan mental (psychiatrics)," kata Dr. Story Landis dari National Institute of Neurological Disorder and Stroke.
Carlsson, dari Universitas Goteborg, Swedia, memulai riset tentang cairan kimiawi di dalam otak, yaitu dopamine, pada 1950-an. Pada masa Carlsson mengawali riset, oleh para ilmuwan dopamine hanya dianggap sebagai zat yang tidak penting di dalam otak. Tapi, berkat ketekunannya dalam mengenali dopamine, riset Carlsson berjasa pada pengembangan jenis obat untuk penyakit kerusakan fungsi otak, seperti obat antidepresi, Prozac. Lebih jauh, riset laki-laki 77 tahun itu juga difokuskan pada cara kerja obat-obatan itu, khususnya tentang cara kerja obat antipsychotic untuk schizophrenia (salah satu penyakit yang menyangkut fungsi otak).
Greengard mendapat penghargaan karena risetnya yang menunjukkan bagaimana sel-sel otak bereaksi terhadap dopamine (suatu jenis zat pembawa pesan di otak) dan pembawa pesan kimiawi lainnya. Profesor 74 tahun dari Universitas Rockefeller itu menunjukkan bahwa sel-sel otak bereaksi melalui sebuah reaksi kimia yang disebut protein phosphorylation. Dengan riset tentang reaksi itu selama puluhan tahun, Greengard mampu membuktikan bagaimana tepatnya sel-sel otak bereaksi terhadap jenis obat-obatan yang langsung berpengaruh terhadap otak, misalnya bagaimana obat bisa menimbulkan efek seperti ketenangan dan halusinasi.
Sementara itu, Kandel dari Universitas Columbia memiliki kontribusi penting dalam riset tentang biologi ingatan, yang menunjukkan pentingnya perubahan-perubahan pada synapsetempat pesan-pesan kimiawi tersampaikan antara satu sel otak dan sel otak yang lain. Kandel, 70 tahun, yang melakukan riset itu sejak 1960-an, pada intinya memiliki ketertarikan mirip dengan Greengard, yaitu meneliti reaksi kimiawi di dalam otak.
Menurut Tim Bliss, kepala penelitian ilmu-ilmu saraf di National Institute for Medical Research, London, penelitian Kandel itu nantinya bisa berguna untuk pengobatan Alzheimer atau penyakit-penyakit hilangnya daya ingat. "Kandel berhasil melakukan identifikasi bagian fisik otak yang berfungsi untuk belajar dan mengingat," kata Bliss.
Bidang riset tentang sel-sel kelabu ini sebenarnya merupakan bidang yang "kering" dibandingkan dengan riset kanker, jantung, dan AIDS. "Kita melakukan hal ini bertahun-tahun tanpa kompetisi, sehingga orang menganggap kita gila," kata Greengard. Hal itu masuk akal karena meneliti otak manusia berarti berusaha memahami kerja 100 miliar sel saraf (binatang mamalia biasanya hanya punya puluhan ribu sel saraf otak). Poirot pun tak mungkin mampu membayangkan bagaimana sel-sel kelabu di kepalanya bekerja. Detektif berkumis unik itu hanya bisa menikmati keajaibannya.
Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo