Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Belum jelas betul apa hasil upaya lobi tersebut. Yang pasti, Presiden Abdurrahman mengaku tidak memberikan janji apa pun. Sementara itu, pelan tapi pasti, jerat hukum terus mengurung Tommy dari segala penjuru. Dua hari setelah pertemuan itu, ketika beredar kabar bahwa pengusaha berusia 38 tahun ini ditolak permohonan visanya di Kedutaan Italia, pihak Kejaksaan Agung mengajukan permohonan cekal kepada Direktorat Jenderal Imigrasi, yang langsung melaksanakannya.
Kebijakan pencekalan ini telah membuat gusar tim penasihat hukum bos kelompok Humpuss itu. Isu rencana kaburnya Tommy ke luar negeri dianggap sebagai "fitnah kejam terhadap klien kami," kata Nudirman Munir, anggota tim tersebut. Namun, pihak penuntut umum rupanya tak peduli. Rabu pekan lalu, misalnya, tim Kejaksaan Agung malah turun ke lapangan, menyita tiga helikopter BO 105 di hanggar sewaan PT Gatari Hutama Air Service di Bandar Udara Halim Perdanakusuma (lihat halaman 29).
Penyitaan itu merupakan bagian dari penyidikan kasus korupsi di Departemen Kehutanan yang melibatkan PT Gatari, perusahaan jasa penerbangan milik Tommy. Penelusuran perkara yang diduga sedikitnya merugikan pemerintah Rp 23,3 miliar ini telah menyeret Kabul Riswanto dan Soejono Soerjo sebagai tersangka. Yang pertama adalah Direktur Utama PT Gatari, sedangkan yang kedua adalah bekas Sekretaris Jenderal Departemen Kehutanan. Memang Tommy baru diperiksa sebagai saksi, tapi kemungkinan komisaris utama perusahaan transportasi udara ini dijadikan tersangka masih terbuka lebar.
Kalaupun penggemar olahraga balap mobil ini mampu mempertahankan posisinya sebagai saksi, masih ada sederet perkara lain yang dapat dimanfaatkan Kejaksaan Agung untuk membawanya ke balik jeruji besi. Ia, antara lain, berpotensi menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pada proyek mobil nasional ataupun Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh.
Adalah ancaman hukum yang berlapis-lapis ini, menurut seorang pengacara Tommy, yang membuat pihak Cendana berkesimpulan perlu mengadakan pendekatan kepada Presiden Abdurrahman dan Wakil Presiden Megawatisetidaknya agar pelaksanaan hukuman penjara 18 bulan dan denda sekitar Rp 30 miliar yang dijatuhkan kepada putra kesayangan mantan presiden Soeharto ini dapat ditangguhkan selama mungkin.
Salah satu cara untuk mencapai tujuan ini adalah memperlambat proses permintaan grasi yang telah diajukanupaya yang kelihatannya sulit berhasil karena pengadilan negeri dan kejaksaan ternyata telah bekerja cepat sehingga berkas grasi itu telah diterima Mahkamah Agung pada 5 Oktober lalu. Di lembaga hukum tertinggi ini pun kelihatannya berkas akan diproses segera. "Seminggu sampai sebulan saja," janji Djoko Sarwoko, Direktur Pidana MA. Setelah itu, bola keputusan akan bergulir ke Kantor Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, sebelum sampai ke Istana Negara. Menteri Yusril menyatakan keseluruhan proses itu diperkirakan akan memakan waktu 2-3 bulan.
Pernyataan anggota kabinet dari Partai Bulan Bintang ini dianggap Nudirman Munir sebagai bukti adanya tekanan politik. "Lazimnya, permohonan grasi itu baru memperoleh keputusan lebih dari setahun kemudian," katanya. Apalagi Presiden Abdurrahman Wahid memang telah membuat pernyataan lisan akan menolak permohonan grasi itu kendati belum menerima pertimbangan Mahkamah Agung. Namun, tudingan ini ditampik pihak MA. "Untuk perkara yang menyangkut kepentingan publik, selalu diberikan prioritas dan diperiksa sebulan setelah berkas diterima," kata Djoko Sarwoko kepada Rommy Fibri dari TEMPO.
Walhasil, pelaksanaan hukuman penjara bagi Hutomo Mandala Putra hanyalah soal waktu belaka, kecuali jikaentah dengan jalan apaTommy dapat melunakkan hati Gus Dur hingga memberikan pengampunan kepadanya. Suatu hal yang, tampaknya, hanya mungkin terjadi bila Tommy betul-betul mengaku salah, bertobat, dan menyumbangkan harta pribadinya kepada negara.
Bambang Harymurti, Andari Karina Anom, Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo