Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Jejaring Merapat untuk Gutteres

Jerat hukum untuk Eurico Gutteres merapat. Selain menghadapi tuduhan melawan aparat keamanan dan pelanggaran hak asasi, kasus kepemilikan senjata secara ilegal dibuka kembali.

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mata Eurico Gutteres merah berkacakaca. Didekapnya satu-satu rekannya yang mengunjunginya pekan lalu di ruang tahanan Mabes Polri, di daerah Kebayoran, Jakarta. Pemimpin milisi Aitarak Timor Timur ini terbit harunya karena tangis para penjenguknya. Kamar tahanan yang dilengkapi penyejuk udara, kulkas penuh minuman ringan dan buah-buahan, serta dua pesawat televisi ini pun lantas sesak dengan isak.

Rasa haru Gutteres sontak berubah jadi geram, usai Suhardi, pengacaranya, membisikkan isi surat Sergio de Mello dari UNTAET—penguasa negara Timor Timur bentukan Perserikatan Bangsa Bangsa—kepada pemerintah Indonesia. Dalam suratnya, de Mello meminta Gutteres dibawa ke Timor untuk diadili karena kejahatan kemanusiaan. ''Saya tak akan pernah tunduk kepada UNTAET," kata Gutteres kepada TEMPO di ruang tahanannya.

Pria berusia 27 tahun ini menyebut dirinya tak ada urusan dengan badan PBB tersebut. Gutteres ditahan petugas Polri awal Oktober ini, karena dituduh menghasut anak buahnya melawan aparat saat penyerahan senjata milik milisi prointegrasi di Kupang, September lalu.

Kalaupun pemerintah Indonesia setuju dengan permintaan UNTAET, kehadiran bapak tiga anak ini di kursi terdakwa di Timor tampaknya masih butuh waktu. Soalnya, Gutteres punya banyak ''urusan" yang belum selesai di sini. Antara lain, ia mengajukan gugatan praperadilan kepada polisi, yang dianggapnya melakukan penahanan tidak sah.

Menurut Suhardi, penahanan yang dilakukan pada awal Oktober itu tidak dilengkapi surat perintah penangkapan dan tidak fair. Saat itu, Gutteres diminta datang ke Mabes Polri oleh seorang polisi yang sudah akrab dengannya sejak di Timor untuk ''ngobrol". Ternyata ia ditahan. ''Itu penculikan," kata Suhardi.

Sementara itu, tudingan kliennya melanggar Pasal 160 KUHP—menghasut melawan aparat—dinilai Suhardi janggal. Pasal tersebut dinilainya pasar karet, yang sebangun dengan pasal haatzai artikelen. Suhardi menyebut diseretnya kliennya ini lebih karena unsur politik. Tandanya, Gutteres ditangkap hanya tiga hari usai Presiden Abdurrahman Wahid bicara tentang hal tersebut di luar negeri.

Polisi sendiri terlihat tenang menghadapi gugatan praperadilan yang dijadwalkan akan digelar pekan ini. Kepala Dinas Penerangan Polri, Senior Superintenden Saleh Saaf, menyebut penangkapan itu sesuai dengan prosedur. ''Tapi, kalau mau menggugat, silakan saja, kita tunggu di pengadilan," kata Saleh.

Unsur politik memang kental dalam kasus ini. Pemerintah saat ini terlihat sangat berkepentingan agar Gutteres tetap dalam tahanan. Salah satu indikasinya, awal bulan ini Pengadilan Tinggi Nusatenggara Timur telah memerintahkan Pengadilan Negeri Kupang agar segera membuka kembali kasus kepemilikan dan penggunaan senjata oleh Gutteres. Kasus ini bermula dari aksi penembakan yang dilakukan Gutteres terhadap sebuah mobil sitaan dari Timor Timur yang kebetulan dikendarai aparat polisi setempat.

Pada putusan sela Juli lalu, majelis hakim PN Kupang menolak dakwaan jaksa karena dianggap kabur, berkaitan dengan status Gutteres, apakah sebagai orang sipil atau militer. Dalam dakwaan, Gutteres disebut sebagai mahasiswa. Namun, di persidangan Gutteres pernah datang dengan atribut militer. Menurut majelis hakim saat itu, bila Gutteres militer yang mempertahankan wilayah Indonesia, kepemilikan senjata itu bisa dianggap legal.

Lantas kenapa pengadilan tinggi baru sekarang membuka lagi kasus ini padahal jaksa sudah mengajukan perlawanan (verzet) Agustus lalu? Dantje J. Selsily, Panitera Muda Pidana Pengadilan Tinggi, menyatakan hal ini berkaitan dengan berkas hasil persidangan dari Pengadilan Negeri Kupang, yang baru diterima pihaknya 2 Oktober lalu. Apakah ada unsur campur tangan Mahkamah Agung? ''Tak ada bentuk perintah apa pun dari MA," kata Direktur Pidana MA, Djoko Sarwoko, kepada Rommy Fibri dari TEMPO.

Gutteres sendiri tertawa mendengar kabar pembukaan kasus kepemilikan senjata ini. ''Saya heran, saya ini membela harga diri bangsa saya, memperjuangkan Merah Putih tetap berkibar. Tapi, kok, saya malahan yang dituduh melanggar HAM?" kata Gutteres. Menurut laki-laki yang juga aktif di organisasi Banteng Muda Indonesia ini—onderbouw PDI Perjuangan—sepak terjangnya sudah direstui pemerintah pada waktu itu.

Meskipun kini merasa diperlakukan tidak adil, ia mengaku siap menjalani hukuman bila itu bisa membuat Indonesia lepas dari tekanan dunia. Tentu saja untuk menghilangkan tekanan itu, bukan hanya Gutteres yang harus menanggung.

Yusi A. Pareanom, Darmawan Sepriyossa, dan Ronald Amapiran (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus