Tanah yang semakin sulit dan mahal menyebabkan orang di Jepang berpikir tentang kota bawah tanah. Usaha itu kini sedang dicoba. HARGA tanah di Tokyo memang bisa membuat orang geleng kepala. Coba, di kawasan permukiman yang biasanya agak di pinggiran, setiap meter sudah mencapai Rp 27 juta. Harga itu melonjak 10 kali untuk daerah perdagangan. Di Ginza, misalnya, sekarang harga itu hampir Rp 300 juta/m2. Sekadar pembanding harga tanah di "segi tiga emas" Jakarta, paling-paling Rp 5 juta/m2. Ke mana mencari tanah? Bagi Tokyo hanya ada dua pilihan: berkembang ke laut seperti konsep water-front atau lari ke bawah tanah mengikuti teori geo-front. Tampaknya, alternatif terakhir inilah yang sedang dicoba. Upaya memanfaatkan bawah tanah memang bukan baru, tapi masih memanfaatkan kedalaman terbatas. Jaringan kereta api bawah tanah Tokyo, misalnya, rata-rata sekitar 30 meter di bawah permukaan tanah. Maka, para penganut anjuran geo-front di Jepang menganggap wilayah bawah tanah, pada kedalaman 50 meter, sebagai daerah perawan, yang bisa disantap oleh para konglomerat yang lapar lahan. Perusahaan Tokyu Construction Co. Ltd. kini menjajaki kemungkinan membangun kota bawah tanah itu. Dengan proyek yang dinamakan geotrapolis, Tokyu merencanakan membangun tiga lantai kota bawah tanah, masing-masing luasnya 30 hektare, di bawah Tokyo. Sebagai persiapan, Tokyu kini tengah menggali tanah berukuran 6 x 10 meter di pinggiran kota Sagamihara, Provinsi Kanagawa, sebelah barat Tokyo. Penggalian selama dua tahun itu telah menghasilkan liang sedalam 36 meter, biaya yang dikeluarkan tak kurang dari 500 juta yen, atau sekitar Rp 7,5 milyar. Setelah sampai 50 meter, penggalian akan mengarah ke samping hingga mencapai luas 10 x 25 meter dan tingginya 10 meter. Di situlah nantinya dibangun rumah bawah tanah itu, yang ditargetkan selesai Agustus 1992. Lalu, enam karyawan perusahaan itu, pria dan wanita, berumur rata-rata 36 tahun, ditempatkan di bangunan itu delapan jam sehari, dalam masa satu tahun. "Mereka dijadikan tikus bawah tanah," ujar Kenzo Ochi, peneliti di TRC (Technological Research Center), badan riset di perusahaan itu, berseloroh. Kondisi fisik para sukarelawan itu, menurut Ochi-San, setiap hari diperiksa. Keluhannya, kalau ada, dicatat. "Secara rutin, denyut jantung dan pancaran gelombang otaknya akan diperiksa," tambah Ochi, 33 tahun. Penelitian itu tak hanya dikenakan terhadap para "tikus tanah" itu. Cuaca mikro setempat, suhu udara, kelembapan, dan kandungan oksigen juga akan diteliti. Lalu, menurut Ochi, tim ahli mereka bakal mengamati getaran sehari-hari di tempat itu, pengaruh gempa bumi, kondisi akustik, tekanan tanah, dan tekanan air. Sementara menunggu kedalaman 50 meter itu tercapai, tim ahli perusahaan ini telah membuat serangkaian uji coba pada lubang galiannya. Untuk mencari teknik penggalian yang andal, misalnya, menurut Ochi-san, pihaknya mempraktekkan tiga teknik sekaligus: NATM (New Austrain Tunneling Method), Shield Method, dan Top Method, yang asli hasil rekayasa Tokyu Construction Co. (TC Co.) sendiri. Sejauh ini, belum terdengar hasil evaluasi dari ketiga teknik penggalian itu. Sambil menggali, tim TC Co. itu rupanya juga mengukur daya dukung batuan sekeliling. Ini memang soal penting. Program geotrapolis itu menuntut daya dukung tanah yang tinggi. Daya tekan (compressive strength) tanah sekeliling disebut-sebut idealnya 30-70 kg f/cm2. Rupanya, persyaratan itu terpenuhi di Nagamihara. Di kedalaman lebih dari 20 meter, menurut Ochi-San, "Daya tekannya rata-rata 50 kg f/cm2." Kalau segala persyaratan teknis terpenuhi, dan tidak menimbulkan akibat buruk bagi manusia penghuninya, perusahaan itu berniat membangun proyek geotrapolis itu. Kota bawah tanah itu sendiri memang tak akan dipakai sebagai permukiman. Dua dari tiga lantai yang akan dibangun direncanakan sebagai stasiun kereta bawah tanah dengan segala fasilitasnya. Satu lantai lainnya untuk fasilitas olahraga, restoran, pusat perbelanjaan, dan hiburan. Di antara dunia luar dan kota bawah tanah itu, terdapat satu lantai lagi di kedalaman sekitar 20 meter. "Lantai ini sebagai transit antara dunia luar dan kota bawah tanah," ujar Kenichi Inoue, juru bicara perusahaan tadi. Pada atap lantai itu dibuat jendela-jendela agar sinar matahari bisa masuk. Di situ ditanami pohon-pohon penghias, dan tentu sebagai penyegar hawa pula. Lalu, angin tiruan ditiupkan agar suasana di situ mirip dunia luar. Menurut konsep geotrapolis, di atas kota bawah tanah itu akan dibangun gedung yang menjulang 70 m di atas tanah. Gedung ini bisa dimanfaatkan sebagai hotel, atau flat, perkantoran, pusat informasi, dan sarana bisnis lainnya. "Jika semuanya lancar, mungkin ide geotrapolis ini bisa terwujud tahun 2020 nanti," tambah Kenichi Inoue. Pada tahun itu memang sudah sulit dibayangkan harga tanah di Tokyo. Siapa pemilik tanah di kedalaman 50 meter itu? Perundangundangan Jepang belum mengaturnya. Namun, kini Pemerintah mulai memikirkannya. Dalam sebuah rancangan undang-undang yang dibuat Pemerintah Jepang, disebutkan bahwa tanah di kedalaman 50 meter bakal diklaim sebagai milik umum. Artinya, siapa saja boleh menggarap. Putut Trihusodo dan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini