Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Merintis Koloni Manusia Mars

Penelitian untuk memahami cara berkembang biak mamalia di luar angkasa menuai sukses. Sperma beku pangkal kehidupan

7 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ELON Musk, pendiri SpaceX, punya ambisi besar: membawa manusia ke Mars. Tidak sekadar datang, melakukan penelitian, lalu pulang, tapi juga membuat kehidupan baru di sana. Proyek ini rencananya dimulai dalam satu dekade mendatang.

Musk meyakini suatu hari nanti planet merah itu bakal menjadi rumah baru bagi umat manusia. "Secara teoretis, proyek Musk itu bisa terjadi walau hal ini tak akan mudah dilaksanakan," ucap Bobby Braun, mantan kepala teknologi di Badan Antariksa Amerika Serikat atau NASA yang sekarang mengajar di Georgia Technology University, Juli lalu. Braun percaya Musk sudah memperhitungkan segala kemungkinan.

Tapi Musk dan Braun melewatkan satu hal. Dari berbagai studi yang ada, manusia akan kesulitan memiliki keturunan di luar bumi. Penyebabnya, sperma dalam kondisi normal tak bisa bertahan hidup di luar angkasa. Setidaknya gen sperma akan rusak ketika berada di ruang hampa udara. Artinya, manusia tak akan bisa berkembang biak di Mars.

"Memang sejauh ini belum ada studi secara mendalam apakah alat reproduksi manusia di luar angkasa dapat berfungsi dengan baik. Tapi, dari berbagai percobaan yang dilakukan, sepertinya akan sulit," ucap Kris Lehnhardt, ahli kesehatan di lingkungan ekstrem dari George Washington University.

Mimpi Musk "didengar" National Academy of Sciences. Pada akhir Juni lalu, secercah harapan datang dari laporan yang dipublikasikan lembaga tersebut. Laporan itu menyebutkan hewan mamalia dapat berkembang biak di luar angkasa. Padahal beberapa studi sebelumnya menyatakan sebaliknya. Yang menjadi obyek penelitian kali ini adalah sampel sperma tikus.

Sperma yang diambil dari beberapa tikus dibawa terbang ke luar angkasa dan dibiarkan di sana selama sekitar sembilan bulan. Sperma dibawa dalam keadaan kering dan dibekukan. Selama penelitian, sperma berada dalam kondisi gravitasi nol dan terpapar radiasi tinggi. Hasilnya, setelah kembali dibawa ke bumi, sperma itu ternyata mampu menghasilkan anak tikus yang sehat tanpa cacat.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan sperma hewan mamalia, yang mirip dengan manusia, mampu bertahan di luar angkasa dengan sentuhan rekayasa teknologi. Laporan studi penelitian di National Academy of Sciences itu memberi jalan keluar dari masalah yang selama ini dianggap misterius. "Hasil studi yang menggembirakan dan memberi prospek bagus," kata Joe Tash dari University of Kansas Medical Center.

Di bumi, semua makhluk hidup dapat berkembang biak normal karena adanya gaya tarik gravitasi bumi. Selain itu, mereka terlindungi dari medan magnetik dan paparan energi tinggi partikel kosmik yang berseliweran di jagat raya. Sedangkan di luar angkasa, semisal di bulan atau di Mars, tingkat radiasinya sangat tinggi.

Sebelumnya, para ilmuwan sudah mempelajari apakah mahkluk hidup mampu berkembang biak di luar angkasa. Mereka membawa tikus, ikan, kadal, dan bulu babi ke orbit bumi. Hasilnya beragam. Tikus tak bisa menghasilkan keturunan selama percobaan yang berlangsung di satelit Cosmos Rusia 1129. Begitu juga bulu babi. Sebaliknya, ikan, lalat buah, dan cacing pita mampu berkembang biak.

Setelah mempelajari hasil percobaan tersebut, ahli biologi asal Jepang, Teruhiko Wakayama, tertarik melakukan rekayasa pada sperma tikus. "Hanya ada beberapa studi tentang reproduksi mamalia di luar angkasa dan kebanyakan menunjukkan hasil mengecewakan," ucap Wakayama dari University of Yamanashi, Jepang.

Wakayama, ahli reproduksi hewan peliharaan, sebelumnya sukses menghasilkan anak tikus sehat dan normal dari sperma kering dibekukan di bumi. Namun, ketika ia memasukkan sperma tersebut ke ruang tanpa gravitasi di laboratorium, hasil yang didapat jauh dari harapan. Banyak anak tikus yang lahir cacat dan akhirnya mati.

"Kami akhirnya memutuskan melakukan uji coba sesungguhnya di luar angkasa," kata Wakayama, yang pernah ingin menjadi astronaut. Ia dan timnya lantas melakukan eksperimen bernama Space Pup. Tujuan penelitian: melihat pengaruh kondisi luar angkasa terhadap sperma tikus yang sudah dikeringkan dan dibekukan.

Setelah mengambil contoh sperma dari beberapa tikus sehat, Wakayama dan tim mengeringkan dan membekukan contoh sperma tersebut untuk dibawa ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pada Agustus 2013. Dengan cara dikeringkan dan dibekukan, menurut Wakayama, gen sperma menjadi lebih stabil meski dibawa berkeliling orbit bumi di luar stasiun beberapa hari.

Setelah itu, sperma tersebut disimpan dalam ruang penyimpan bersuhu minus 95 derajat Celsius di modul Jepang, bagian dari Stasiun Luar Angkasa Internasional, selama 288 hari atau sekitar sembilan bulan. Selama dalam kotak penyimpanan, para peneliti mengamati dan mencatat variasi tingkat radiasi yang diterima sperma. Paparan radiasi ternyata 100 kali lebih tinggi ketimbang di permukaan bumi.

"Paparan sinar radiasi yang diterima sperma itu belum seberapa bila dibandingkan dengan radiasi yang bakal kita terima saat melewati sabuk radiasi Van Allen," ucap Joe Tash. Sabuk radiasi Van Allen merupakan dua sabuk partikel bermuatan di sekitar bumi yang menggantung karena adanya medan magnet bumi. Ketika melewati sabuk radiasi Van Allen, sinar radiasi jauh lebih tinggi lagi.

Pada Mei 2014, sperma kering yang dibekukan tersebut kembali dibawa ke bumi dengan roket milik SpaceX. Wakayama dan timnya lantas melakukan berbagai penelitian lanjutan untuk mengetahui kondisi sperma tersebut. Hasilnya, genetic material-dikenal dengan deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA)-pada kepala sperma rusak akibat terkena radiasi tinggi.

Kabar baiknya, kerusakan tersebut tak terlalu parah. Wakayama lalu menyuntikkan sperma tersebut ke sel telur dan menanamkan sel telur yang sudah dibuahi itu dalam rahim tikus betina. Hasilnya, lahir anak tikus dalam kondisi sehat dan normal tanpa cacat. Pola genetik anak tikus tersebut, diamati sebelum lahir, tak jauh berbeda dengan anak tikus yang lahir dari sperma kering dibekukan yang ada di bumi.

Setelah anak-anak tikus tersebut dewasa, mereka lantas dikawinkan. Anak-anak tikus hasil perkawinan tersebut ternyata juga tumbuh sehat dan normal. Menurut Wakayama, hasil penelitian membuktikan bahwa tak ada masalah dengan kesuburan sperma yang berada di luar angkasa sejauh sperma tersebut dikeringkan dan dibekukan.

Temuan itu diharapkan mampu menguak pertanyaan yang selama ini menjadi misteri: apakah manusia yang hidup lama di luar angkasa dapat melahirkan bayi normal dan sehat? "Jawaban itu yang harus kita cari selanjutnya," kata Kris Lehnhardt. "Sebab, selama ini studi tentang reproduksi manusia di luar angkasa belum pernah dilakukan secara mendetail."

Lebih lanjut Lehnhardt mengatakan konsep sperma kering yang dibekukan pada dasarnya menghentikan metabolisme sperma. Saat sperma dikeringkan dan dibekukan, pertumbuhan tak terjadi dan masa hidup sperma juga berhenti. "Dengan cara itu, mereka berhasil meminimalkan kerusakan akibat radiasi pada sperma," ucapnya.

Setelah berhasil dengan uji coba sperma, Wakayama dan tim akan mengirim telur tikus yang sudah dibuahi untuk dibawa ke Stasiun Luar Angkasa Internasional tahun depan. Mereka ingin melihat apakah telur tersebut dapat tumbuh normal menjadi blastosis, yakni struktur yang terbentuk pada tahap awal gestasi vertebrata yang mengandung ratusan sel baru.

Menurut Wakayama, bila teknologi mengenai penyimpanan sperma kering yang dibekukan semakin sempurna, termasuk teknologi telur yang telah dibuahi di luar angkasa semakin canggih, bukan tak mungkin suatu saat akan ada bank sperma dari segala jenis makhluk hidup di bumi. "Bila terjadi sesuatu dengan bumi, akan ada kehidupan baru di luar bumi ini," katanya.

Firman Atmakusuma (the Independent, Nasa, Sciencemag)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus